Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Recruiter | Talent Acquisition Specialist

Seorang Suami, Ayah, dan Recruiter di suatu perusahaan. Kopite, YNWA | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Gen Z Mampu Bekerja tapi Kesulitan saat Wawancara, Menjadi Paradoks Gen Z dalam Dunia Kerja

6 April 2025   17:15 Diperbarui: 7 April 2025   11:18 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gen Z. Sumber: freepik via Kompas.

Perlahan tapi pasti, dunia kerja mulai didominasi oleh gen z. Levelnya beragam di berbagai perusahaan. Mulai dari junior staf, senior, leader, bahkan hingga manager. Kemampuan gen z di dunia kerja memang tidak bisa dan tidak boleh disepelekan.

Sebagai generasi yang melek teknologi, gen z punya kemampuan adaptasi yang cukup baik jika dihadapkan dengan berbagai sistem, mengotak-atik ini dan itu, sampai berpikir kritis.

Hanya saja, generalisasi dari satu-dua contoh negatif yang ada di lingkungan kerja, masih menjadi batu sandungan bagi gen z sampai dengan saat ini. Sebab itu, gen z dianggap payah dan manja jika diberi kesempatan bekerja.

Sebagai rekruter dan selama menginterview kandidat gen z, jujur saja, saya tidak pernah termakan generalisasi tersebut. Sederhana saja, saya mesti profesional: menilai kandidat dari kemampuan yang mereka miliki, menyesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.

Namun, di sisi lain, gen z juga acap mengeluhkan hal yang itu-itu saja di berbagai media sosial. Entah di akun base, akun pribadi, atau community. Mengenai sulitnya lolos dari seleksi penerimaan karyawan, mulai dari interview, psikotes, sampai dengan interview tahap final.

Dinamika ini seakan menjadi anomali sekaligus paradoks di waktu yang sama bagi gen z. Sebetulnya, tidak ada masalah saat diberi kesempatan bekerja, tapi, kesulitan saat menghadapi seleksi yang wajib dilalui.

Berdasarkan pengalaman selama menginterview gen z, saya coba mengulik beberapa kendala yang sering kali dihadapi oleh gen z.

Pertama, kesulitan untuk menjelaskan tentang diri sendiri, termasuk kemampuan yang dimiliki

Nyaris di kebanyakan proses interview, hal pertama yang ingin diketahui oleh HRD tentu saja tentang diri si pelamar kerja. Wajar saja, namanya juga baru bertemu dan/atau baru kenal. Jadi, hal ini wajib ditanyakan sekaligus diketahui.

Nggak perlu rinci sekali sampai menjelaskan tentang silsilah keluarga. Bukan itu maksudnya, lho. Pelamar kerja, khususnya gen z, bisa menceritakan tentang siapa diri mereka melalui minat, kegiatan yang rutin dilakukan, termasuk kemampuan yang dimiliki. Akan sangat lebih baik jika masih berkaitan dengan posisi yang dilamar.

Kendalanya, gen z terkadang beranggapan pertanyaan yang diajukan HRD terkesan mengada-ada atau nggak penting. Padahal, di setiap pertanyaan dan dari jawaban yang diberikan, ada maksud dan tujuan yang ingin didapat.

Parahnya, sebagian gen z kesulitan untuk menceritakan siapa diri mereka secara verbal.

Saran saya untuk kendala tersebut, coba tuliskan lebih dulu tentang siapa diri kalian. Tulis, koreksi jika ada kekurangan, kemudian dibaca berkali-kali. Agar bisa tertanam di bawah alam bawah sadar dan secara perlahan bisa hafal di luar kepala.

Setidaknya, bisa menjadi opsi tambahan jika kalian punya cara tersendiri.

Kedua, terkadang lupa bahwa proses interview adalah persaingan untuk mendapat pekerjaan

Jika kalian mendapat kesempatan untuk interview, artinya kalian masih dalam proses seleksi. Dalam prosesnya, tentu HRD juga mengundang kandidat lain sebagai pembanding. Artinya, pelamar kerja wajib mengeluarkan sekaligus menyampaikan potensi terbaiknya. Sebab, persaingan sudah dimulai sejak awal.

Siapa yang bisa menguasai diri selama proses interview (meliputi rasa gerogi, tekanan, dlsb.), peluang untuk lanjut ke tahapan berikutnya cukup terbuka. FYI, sebagian HRD juga akan melihat bagaimana para kandidat mengatasi tekanan selama interview.

Apakah akan larut dalam situasi gerogi dan terbata-bata kemudian blank? Atau bisa menangkan diri dan melakukan brainstorming sebaik mungkin dengan HRD selama interview berlangsung?

Dalam hal ini, saya meyakini bahwa mental untuk dapat bersaing dengan kandidat lain perlu diasah. Agar bisa optimis dan tidak mudah drop selama mengikuti keseluruhan proses seleksi yang, acap menguras tenaga, waktu, emosi, dan biaya.

Sebelum menutup tulisan ini, saya tidak akan pernah bosan untuk mengingatkan bahwa, proses interview kerja itu sama halnya dengan mengobrol. Bedanya, pelamar kerja mengobrol dengan interviewer di suatu perusahaan.

Jadi, bahasa yang digunakan perlu disesuaikan. Nggak melulu harus formal atau baku, yang penting tepat sasaran dalam menjelaskan banyak pertanyaan yang diajukan oleh interviewer. Tentang siapa dirimu, pengalaman kerjamu, sampai dengan apa yang bisa kamu lakukan untuk perusahaan saat diterima bekerja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun