Mohon tunggu...
Paelani Setia
Paelani Setia Mohon Tunggu... Guru - Sosiologi

Suka Kajian Sosial dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menilik Konflik Pemerintah vs Isme-Isme di Indonesia

14 Agustus 2021   17:25 Diperbarui: 14 Agustus 2021   17:30 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gettyimages.com

Kemudian, berbicara soal RKUHP, belakangan muncul paham lain yang dipertentangkan dengan kebijakan kontroversial pemerintah. Seperti dikutip dari beberapa media, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, tak ingin negeri ini jadi terlalu liberal saat memasukkan pasal penghinaan Presiden ke dalam rencana revisi UU itu. 

Lantas liberisme juga musuh pemerintah?

Bagaimana dengan isme yang lain, yaitu komunisme? Paham yang satu ini sudah kadung jadi isu kampanye politik dan musuh pemerintah, seperti ketika Presiden Joko Widodo menyebut ingin "menggebuk" komunisme.

Meski di satu sisi ada kampanye terhadap Pancasila yang tentu saja sangat positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, banyak pihak merasa terlalu banyak momen ketika Pancasila dipertentangkan dengan label isme lain. Pemerintahan presiden Jokowi dan para pendengungnya seolah tengah menciptakan semacam "musuh" untuk dilawan. 

Istilahnya, enemy of the state. Konsep ini pernah diungkapkan misalnya oleh Jurgen Seifert dalam tulisannya Defining the Enemy of the State Political Policies of West Germany saat membahas kebijakan politik Jerman Barat tempo dulu. Ia menyebutkan bahwa dalam penentuan musuh dan teman negara, faktor politik domestik dan internasional jadi lebih penting ketimbang faktor sosial ekonomi. 

Lalu, ia juga menyebut kalau musuh sebagai pihak yang mempertanyakan struktur politik dan sosial masyarakat, maka kemudian pihak yang dapat dilabeli musuh negara bisa sangat fleksibel. Hal itu terjadi di Jerman Barat dimana terdapat redefinisi musuh seiring dengan pergantian pemerintahan. 

Konteks struktur politik yang disebut Seifert menjadi hal yang menarik. Pasalnya, dalam kadar tertentu muncul unsur yang mempertanyakan struktur politik ini dapat disetarakan sebagai "kritis". Hal ini tergambar misalnya saat Donald Trump memberikan label Enemy of the People kepada media, ketika ia menjabat sebagai presiden Amerika. 

Istilah itu ia gunakan untuk mengecap media dan jurnalis yang kritis kepadanya.

Sejauh ini, pemerintahan presiden Jokowi memang tak pernah memberi label resmi musuh negara kepada ragam isme yang mereka sebutkan, meski demikian tampak bahwa selalu ada isme yang dipertentangkan dengan pemerintah ketika mereka dikritik. 

Hal itu mungkin membuat orang merasa bahwa label ideologi itu berlaku kepada pihak yang kritis kepada pemerintah. Kondisi ini bisa saja dianggap serupa dengan Trump yang media yang mengkritiknya sebagai enemy of the people.

Anggapan semacam itu diungkapkan misalnya oleh Kate Grealy dari Australian National University. Ia menyoroti bagaimana label "radikal" mengalami politisasi. Dalam tulisannya di New Mandala dengan tajuk Politicising the label radical?, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun