Mohon tunggu...
Aksal
Aksal Mohon Tunggu... Siswa

Siswa Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pardi

25 Mei 2025   08:50 Diperbarui: 25 Mei 2025   08:50 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pardi terlelap dalam doanya, dan saat ia terbangun, burung-burung langit sudah turun ke jalan, menyanyikan kicauan sederhana yang mampu membangunkan seseorang yang hampir mati, seperti halnya Mas.

Sudah entah berapa kali mereka mengutuki tempat ini---

---tapi toh mereka tak bisa mungkir. Di sinilah air hidup mereka mengalir: napas mereka, listrik untuk token yang tiap beberapa minggu atau bulan tiba-tiba menarik-narik baju mereka, merengek seperti anak kecil minta dibelikan sesuatu yang aneh, tapi pada akhirnya tetap menerangi malam mereka.

Para pengamen, sopir, dan penghuni terminal lainnya sering kali meludah sembarangan, di setiap sudut terminal. Bau burung dari pasar samping membuat dada mereka sesak, mata mereka perih, seolah-olah udara itu sendiri ingin menusuk balik. Udara yang tercemar, atau setidaknya hampir tak layak dihirup.

Hujan tak turun hampir dua bulan lamanya. Sudah berkali-kali mereka memohon kepada Tuhan, dengan segala cara yang bisa dibayangkan. Mereka memanggil ahli ilmu bumi, fisikawan, kimiawan, bahkan penyair dan filsuf. Sampai-sampai mereka menyebut dewa-dewa Yunani, juga Helena---perempuan cantik yang pernah memicu perang Troya. Semua itu tak membuahkan hasil. Akhirnya, yang tersisa hanya ketandusan panjang yang mereka nikmati dalam keputusasaan.

Pardi limbung saat bangun dari tidurnya. Mas, sahabat karib yang telah ia kenal puluhan tahun, tak tampak di sekitarnya. Kecemasan menyergap. Ia mencari ke segala arah---ke timur, ke pasar burung, bahkan ke taman---namun tak juga menemukannya. Hanya bekas darah kering yang tersisa. Pardi mondar-mandir, dan matanya mendadak perih.

Es teh itu, Mas tumpahkan, tanah terminal sudah benar-benar kering, apalagi terus menerus di injak oleh kendaraan-kendaraan, berupa angkutan, bus, dan kaki-kaki tukang pungut di terminal itu. Mas berlalu dari tempat tersebut. Melangkah kecil-kecil memegangi satu bus ke bus lain, atau angkutan ke angkutan lain. Dia berjalan menyusuri jalan ke timur, mempergunakan penciumannya. Sebab ke arah timur adalah pasar burung, di samping atau lebih tepatnya di seberang pasar burung adalah taman, maka dia akan ke tempat tersebut.

Sebuah gagasan aneh muncul di kepala Pardi, saat ia tengah menyuap nasi di tempat makannya yang biasa. Ia membayangkan Mas---yang sudah tua seperti itu---diculik oleh aparat.

Lalu dibunuh, jasadnya dibuang entah ke sungai, ke hutan, ke mana saja, asalkan tak ditemukan siapa pun. Tapi memangnya kenapa? Untuk apa menculik orang seperti Mas? pikir Pardi, gelisah.

"Pardi ke mana, Mas?" tanya si penjual burung, yang kemarin sempat melihat mereka bersama.

"Di terminal," jawab Mas singkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun