Tempat makan kecil di samping terminal itu selalu harum dengan aroma burung setiap siang. Pardi muntah ketika tanpa sengaja menggigit sepotong jahe, yang dia kira adalah potongan daging dalam sayur berbumbu gelap. Dia mengutuki sayur tersebut.
Di balik tirai di ruangan belakang, harum opor daging tercium. Pardi mencondongkan tubuhnya ke depan, mengambil segelas air dari teko plastik, lalu berbalik menatap jalanan dan meminumnya.
Seorang pria setengah tua datang dari arah timur, berjalan pelan dengan tubuh lusuh dan baju compang-camping, baju tersebut hampir seperti lap ketimbang pakaian. Di bagian depan bajunya tertulis huruf kecil berwarna merah: "Indonesia Juara!"
Pria itu masuk ke tempat makan, dan Pardi menengok cepat, lalu kembali membalikkan tubuhnya ke arah makanan yang ada di depannya. Suara pria itu terdengar lirih, tidak jelas apa yang dia ucapkan. Namun, Pardi bisa melihat gerak tubuhnya---pria itu mengangkat tangan kanan yang kotor, penuh debu dan hitam di beberapa bagian.
Pardi cepat-cepat meraih potongan jahe yang tadi dia gigit dan menyodorkannya pelan ke arah tangan pria itu. "Bangsat!" teriak pria itu sambil melemparkan jahe itu. Pardi tertawa terbahak-bahak, sementara pria itu hanya terdiam, menggeleng-gelengkan kepala.
Pria itu adalah sahabat Pardi, biasa dipanggil "Mas." Setiap siang hingga sore, Mas selalu duduk di trotoar dekat taman. Matanya tidak melihat apa-apa, jika berada di trotoar dia akan menunduk dengan tangan terangkat setinggi kepalanya. Jika kelelahan, Mas akan membawa selembar kain dan meletakkannya di hadapannya.
"Lapar, Mas?" tanya Pardi.
Mas mengangguk. "Belum ke taman, karena lapar---langsung ke sini."
Pardi tertawa. "Nanti kamu antar saya, ya?"
"Boleh, tapi ini sekalian, kan?," Tanya Pardi. "Sekalian bayarin, gitu."
Mas terdiam, lalu meraih teko plastik atas tuntutan Pardi.