"Ada apa, pak?," si ibu terkejut. "kenapa?."
"Ah, Mati Bu."Â
"Apanya mati, pak?."
"Sungguh, Bu. Saya lupa bawa uang."
"Aduh... Pak Sudir! Pak Sudir!. Sampean ini bagaimana, pak. Masa mau makan lupa bawa uang. Aduh! Aduh!."
Pak Sudir senyum-senyum.Â
"Ya, tunggulah, Bu. Saya ambil uang dulu."
"Pak Sudir! Pak Sudir!, Sudah, makan dulu. Nanti saja bayarnya."
Sudir tersenyum, itu memang siasat dia. Pura-pura tidak membawa uang. Padahal dia memang dengan sengaja melakukan hal merugikan demikian.
Begitu terik siang itu, kepala Sudir yang pusing, makin bertambah pusing karena matahari menyengat tepat berada di atas kepalanya. Burung-burung bertengger di atap rumah warga, terbang, lantas menari-nari dia langit, bersahutan melantunkan suara-suara kicauan, lalu turun kembali ke atap rumah warga lain. Sudir berjalan pelan, sengaja. Langkah kecil-kecil dia lakukan. Istrinya pasti menunggu, menunggu di belikan lipstik, pikir Sudir.
Sudah dua tahun Sudir menikah, saat itu umur Sudir 25 tahun. Dia bertemu istrinya di salah satu jalan, di tikungan kedua menuju sungai, istrinya tengah duduk-duduk bersama sebayanya. di salah satu rumah, entah rumah siapa. Sudir yang saat itu berumur pas. Masih penuh. Menggebu-gebu. Seolah-olah sengaja di tuntun oleh malaikat untuk di pertemukan dengan calon istrinya di tikungan itu.