Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siapa Kau Rana?

31 Mei 2020   13:26 Diperbarui: 31 Mei 2020   13:30 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BUNGA RINDU

 

Rana dan Nara temannya yang datang pagi itu ternyata sudah membicarakan rencana-rencana selama aku dan Rana di Jepang. Aku sendiri tidak dilibatkan oleh mereka karena aku membebaskan Rana akan menghabiskan liburannya kemana saja selama di Jepang. 

Tujuanku sendiri hanya mencari tahu  sisi lain dari Rana. Setidaknya sambil mencari tahu tentang Rana, aku pastinya mengunjungi saudara-saudara ayah yang masih ada di Jepang. 

Saudara ayahku banyak tinggal di Tokyo ada adik ayah yang tinggal di kota kecil Hachioji Minamito jaraknya kurang lebuh 1 jam perjalanan dengan bus atau kalau naik MRT dari JR Tokyo harus melewati 11 stasiun belum lagi harus ganti koridor. Lusa kami akan ke Tokyo dan sudah kuperhitungkan waktu untuk silaturahmi.

Hari ini wisataku bersama kedua gadis cantik ini adalah ke danau terbesar kedua di Jepang. Danau Kasumiga-ura yang eksotis, sepanjang perjalanan birunya danau seperti melintasi tepian pantai. Mobil buatan Jepang yang dikemudikan gadis Jepang teman Rana melaju dengan kecepatan sedang. 

Sesekali aku melirik ke spion di depan menilik telisik wajah Nara. Nama yang sama, mengapa segala masa laluku selalu hadir. Rana duduk di samping Nara tak banyak yang dia lakukan sepertinya Rana meresapi angin Ibaraki kota tempatnya menghabiskan masa kecil. 

Kaca mobil sengaja dibuka oleh Rana sehingga semilir angin danau mengibaskan rambut hitam Rana. Aku sedikit terpesona melihat angin nakal mempermainkan rambut dan menyibak leher Rana yang jenjang. Ishhh.... Pikiran apa pula ini Lyan, pesona Rana semakin membelenguku.

"Kalau musim panas sekitar Juli-Agustus kalian akan melihat hamparan bunga lotus yang bermekaran di danau ini, indah sekali," 

Nara bercerita sambil memandang ke luar jendela. Kulihat Nara dan Rana sibuk berbincang, aku memandang ke danau yang banyak orang memancing di sebuah kapal. Tanganku segera menjangkau gawai dan mencari tahu tentang danau ini. Info singkat tentang danau ini terbentang di gawaiku. 

Danau Kasumiga-ura adalah sebuah danau antara prefektur Ibaraki dan Chiba. Danau ini memiliki lebar sekitar 220 km2 yang menempatkannya sebagai danau terluas kedua di Jepang. 

Di danau ini turis lokal atau turis mancanegara dapat menikmati aktivitas memancing, menaiki perahu, ski air, berlayar dan kapal wisata.

Danau Kasumiga-ura tak pernah sepi pengunjung walaupun kadang angin tak bersahabat seperti bulan Januari ini. Andai kami datang pada musim panas atau di hulan Juli pemandangan dari kapal penarik putih yang berlayar telah menjadi tradisi musim panas terasa lebih indah. 

Danau Kasumiga-ura yang berkilauan di bawah sinar matahari di atas perahu, jika perahu dikemudikan orang yang ahli dalam bermanuver kita  dapat  menikmati bentangan layar dan aksi hebatnya. Biaya naik kapal layar 1500-2000 yen untuk dewasa dan 750-1000 yen untuk anak-anak. 

Rata-rata kedalaman danau sekitar 4m dan dihuni oleh ikan kepala batu, ikan mas, goby, bluegill, dan ikan bass hitam. Ada lebih dari 150 jenis burung dan tanaman air juga, dan bahkan lebih banyak jenis burung bermigrasi di sini selama musim dingin, jadi aku masih berharap dapat menyaksikan spesies unggas tersebut karena hewan itu tidak peduli kapanpun kita berkunjung. Mereka akan menyenagkan para pengunjung dengan atraksi udara dan suara mereka. 

Aku lihat di sekeliling danau banyak rumah-rumah peristirahatan di bangun. Mereka mungkin menikmati alam danau yang sangat kaya walaupun angin dingin bulan Januari serasa menusuk tulang.

"Nah, kalau cuaca cerah, kita dapat melihat gunung Fuji," tiba-tiba Rana memutus lamunanku, "dulu aku sering sekali ke sini dengan kakekku menikmati musim panas sambil melihat gunung Fuji atau Mi Fuji-en kata penduduk setempat."

"Benar, aku pernah ikut yah Ran, kemudian kita ke taman hiburan air Kasumiga-ura Fureai Land dan  kamu hilang di tengah keramaian, ingat gak sampai kakekmu menangis," kata-kata Nara membuat Rana termenung dan memalingkan muka ke jendela. Aku sendiri tak tahu apa yang mereka perbincangkan. 

"Maaf, Ran aku jadi mengingatkanmu pada kakek," tangan Nara mengusap lembut bahu Rana. Kulihat Rana menoleh dan tersenyum. Senyum yang sekali lagi berhasil merontakan naluri lelakiku,

Akhirnya mobil mini car itu pun menepi di pinggir danau. Ada rumah klasik di pinggir danau dengan huruf kanji yang aku tidak paham. 

Ada beberapa mobil terparkir. Kami memasuki pelataran rumah tersebut yang ternyata sebuah restoran dengan ornament Jepang yang semua didominasi kayu berwarna coklat. 

Memasuki pintunya kami sudah disambut lonceng berwarna kuning dengan pita merah. Ada kursi dan meja yang ditempatkan di teras. Rasanya nyaman duduk sambil minum teh hangat sambil memandang danau yang luasnya tak terjangkau mata. 

Sayangnya salju mulai turun sedikit-sedikit kalau aku paksakan duduk di teras wahhh bisa mati kedinginan. Masuk ke dalam hangat menyapa wajah. Lemari penuh buku terpajang rapi. Meja-meja panjang yang terbuat dari kayu mendominasi keseluruhan ruangan. Tanganku menjangkau lemari terdekat, banyak buku-buku cerita di lemari itu yang tentunya berbahasa Jepang. Rupanya sang pemilik ingin mendekatkan pengunjung anak-anak dengan bacaan.

Samar-samar kudengar beberapa orang mengobrol dengan bahasa Indonesia, ternyata bukan hanya kami turis Indonesia disini beberapa juga datang dari berbagai negara. 

Nara menyapa mereka dengan bahasa Indonesia yang fasih yang disambut gelak tawa dan berujung pada foto bersama dan pastinya aku yang menjadi juru foto. 

Masih berlanjut dengan salah satu pria yang aku tahu dari tadi melirik Rana terus meminta no telepon Rana, yang dijawab Rana untuk melihat media sosialnya saja. Muslihat yang jitu yang pasti mereka tak menyangka sedang berhadapan dengan salah satu artis Indonesia.

 "Ayo kita berfoto disini" ajak Nara menarik tanganku juga Rana menuju sebuah tembok dibawah patung digital berbentuk Tokyo tower. Mataku menikmati ekspresi wajah Nara yang terlihat di dalam camera, kalau ia  Naraku, benar-benar tumbuh menjadi wanita yang cantik. Rasanya kok ada desir berbeda di hatiku. Ya, ampunnn Lyan belum selesai urusan hati dengan Nala kemudian kamu ikuti Rana, sekarang kamu memicingkan mata pada Nara.

 "Tulis nama kamu disini," kata Nara sambil memberikan sebuah kertas origami yang tebal berwarna biru dan spidol. Aku terdiam tak mengerti apa maksud Nara.

"Tulis namaku?" tanyaku polos karena kupikir kertas itu buat hiasan saja.

 "Iya, mulai hari ini kita adalah tiga orang sahabat ya,"  Rana menjelaskan padaku tanpa meminta pendapatku apakah aku setuju untuk menjalin persahabatan dengan Nara. Gadis ini kulihat tertunduk malu.

Aku lihat Nara menatapku dan Rana dengan senyum kecil. Rana menyerahkan spidolnya padaku. Aku pun menuliskan namaku dengan sedikit ukiran yang membuatnya terlihat indah. Rana dan Nara langsung menempelkan kertas origami itu ke tembok yang memang disiapkan pemilik restoran untuk semua orang yang singgah di restorannya. 

Kulihat banyak komentar-komentar lucu tertulis di kertas. Ada yang rindu opanya, ada yang ingin minum es di atas salju, da nada yang ingin makan semur jengkol, kalau ini pastinya orang Indonesia. Aku sendiri tak mengerti jalan pikiran Rana, sahabat? Apa itu yang aku inginkan? Apa itu juga yang Rana inginkan? Atau Nara yang baru saja aku kenal.

"Yuk waktunya makan siang" kedua gadis itu menghampiriku dengan senyum manisnya. "Pesan apapun yang kalian mau kecuali udang,"kataku sambil melihat menu yang ditulis dalam bahasa Jepang semua.

"Kamu juga gak suka udang?" tanya Nara padaku dengan mata yang mendelik.

"Aku tidak begitu suka udang, sudah lama berpisah dengan udang lebih tepatnya,"ucapku sekenanya. Dulu aku suka berbagai macam seafood hanya Nara yang alergi udang, aku sengaja tidak memesan udang Karena ingin tahu apakah ia betul Naraku yang alergi udang? Atau hanya gadis dengan nama yang sama. Entahlah begitu banyak misteriku singgah kini.

"Pas banget, aku dan Rana memang tidak suka udang juga," ucap Nara sambil menyerahkan menu kepada seorang pelayan .

"Benarkah? Wah kebetulan sekali, kamu alergi atau gimana?" tanyaku penasaran.

"Kami berdua alergi udang," ucap Rana mengagetkanku, dalam hati aku meracau karena pencarianku tidak tepat kali ini. Nara menganggukkan kepala persis Naraku jika membenarkan ucapan ibu atau ayah. Sebenarnya jauh di dalam diriku masih belum yakin kalau dia adalah Naraku. Terlalu banyak yang berubah dengannya, memang  waktu lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Entah apa yang terjadi padanya aku belum bisa membuka rahasiaku sekarang. Belum sampai ada bukti yang kuat kalau ia adalah Naraku. Aku menaruh perhatian yang ekstra padanya berharap dia adalah gadis kecil berkuncir kudaku.

Nara dan Rana memesan makanan dan aku dengan polosnya menyerahkan pilihan makan siang kami pada mereka. Untungnya Rana tahu seleraku ia memesan sup untukku. Semangkuk besar sup dengan kuah yang masih mengepul terhidang di atas meja. Tak lupa mangkuk-mangkuk kecil. 

Khas orang Jepang selalu makan dengan mangkuk dan sumpit dan hidangan yang kita pesanpun menjadi milik bersama. Hidangan yang dipesan Rana ini melibatkan kuah sup yang kental dengan shinku-soba (sejenis mi yang digunakan di ramen) dan kaldu yang terbuat dari daging dan seafood tanpa udang tentunya.

Selama ritual makan itu aku memperhatikan Nara, caranya makan, bagaimana ia mengelap tisu ke bibirnya yang basah. Aku hapal kebiasaan Naraku jadi aku ingin lebih memastikan semuanya. Aku luput memperhatikan Rana yang sesekali menyeka keringat yang membasahi dahinya. Kemudian membalik tisu bagian luar ia tekuk ke dalam.

"Ih... jorok kebiasaan dari kecilmu gak berubah yah Ran," kudengar Nara bergidik melihat Rana. Aku sendiri tak memperhatikan kelakuan Rana jadi hanya bisa tersenyum. Yang aku perhatikan justru Nara yang berulang kali minum teh ocha yang menurutku cukup pekat. Naraku tak suka ocha yang pekat atau terlalu banyak teh yang dituangkan.

"Bau, abang kalau ochanya terlalu pekat, aku ga suka," bibir Nara yang basah dan ceriwis menolak ocha yang aku berikan. Ia memintaku menambahkan air panas agar ocha yang diminumnya tak begitu pekat.

Ayo... Lyan apa yang kau pikirkan jelas sekali dia bukan Naramu. Jangan menghabiskan waktu dengan memikirkan orang lain. Lihat Rana kau datang ke sini dengan dia. Aku tertegun dan menatap Rana yang sedang sibuk dengan kepiting dan pemukul. Aku bantu dia memukul kepiting dan menyerahkan daging putihnya. Rana tersenyum dan menyuruh aku memukul lagi. Nara yang melihatnya tertawa senang. Kedua gadis Jepang yang berhasil mempengaruhi hatiku.

"Apa yang kamu perhatikan, Lyan," tiba-tiba Rana sudah ada di sebelahku. Sehabis membantu kedua gadis itu makan kepiting aku ke teras menyaksikan salju jatuh. Tanganku saling memeluk hawa dingin sudah merasuk ke dalam jaket. Pertanyaan Rana justru membuatku menjadi tambah dingin.

"Salju jatuh satu-satu mereka tahu kapan jatuh dan di mana harus jatuh," kata-kata meluncur dari mulutku. Mataku masih menatap ke tepi danau yang justru semakin ramai orang yang duduk di tepian danau. Mereka mungkin ingin merasakan angin dan salju danau mendinginkan hatinya.

"Semua ada masanya dan memang harus seperti itu," Rana terbatuk dan memasukkan tangannya ke saku cardigan panjangnya.

"Ayo, kita masuk minum ocha hangat lagi," ajakku pada Rana.

"Ocha yang dihidangkan aku tak suka, Ly," jawab Rana dengan lirih.

"Ah... yang penting panas, atau aku tanya susu vanilla yah, biar hangat badanmu," tanpa sengaja tanganku mengapit tangannya. Terasa dingin sekali tangan Rana dan dia tak membawa sarung tangan. Tetapi Rana tak mengubrisku. Aku tak memaksa mungkin ia perlu menenangkan diri denga suasana dingin. Nanti akan masuk juga kalau sudah terasa dingin, biasanya seperti itu waktu kami syuting di Lembang.

Belum sempat tanganku mengapai pintu restoran kudengar Rana berkata, cukup pelan tetapi terdengar seperti bom dengan mesin waktu.

"Aku suka ocha tapi tidak suka ocha yang pekat, baunya tidak enak," kakiku tertahan mendengar kata-kata Rana. Aku menoleh dan kulihat Rana siap berjalan ke arahku.

Ya... Tuhan apa lagi ini siapa sebenarnya kamu Rana?

Bersambung yah.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun