Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadhan, tentang Jiwa Raga yang Butuh Terapi

12 April 2021   15:48 Diperbarui: 12 April 2021   16:18 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JIKA Anda akan mendaki gunung, lalu diberi dua opsi pendakian. Pertama, menuntaskan pendakian dalam satu waktu tanpa jeda untuk buka tenda (istirahat). Kedua, mengalokasikan waktu istirahat di tengah perjalanan. 

Sebut saja obyek pendakian adalah Gunung Semeru yang dinobatkan sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa (3676 mdpl). Tentu tidak mudah jika proses pendakian katakanlah dari Pos Ranupane sampai puncak Mahameru bisa dituntaskan dalam satu waktu pendakian tanpa jeda istirahat.

Bukan hanya karena tingginya puncak, tetapi medan dan jalur pendakiannya juga cukup menantang --untuk tidak mengatakannya sulit. Tidak sedikit yang menyasar, atau lebih tragis lagi terjatuh ke jurang, semisal Blank 75 yang popular itu.

Dari cerita-cerita pengalaman pendakian selama ini, para pendaki yang nyasar seorang diri atau bahkan hilang dan jatuh ke jurang, penyebabnya seringkali karena dua hal.

Pertama, indisipliner dari kesepakatan awal, misal memisahkan diri dari rombongan. Kedua, sering juga karena memaksakan fisiknya untuk terus mendaki, merasa masih kuat di saat rombongan memilih istirahat. Keduanya tidak jarang dibumbui dengan cerita-cerita mistik yang menambah sensasi cerita aktivitas pendakian.

Dari dua gambaran tersebut, waktu istirahat menjadi amat vital dan bahkan menentukan kesuksesan sebuah aktivitas pendakian. Bagi mereka yang telah mengantongi jam terbang tinggi dalam soal naik gunung, perilaku sok-sokan karena merasa kuat dan sejenisnya bahkan cenderung dihindari guna mencegah petaka. Menyombongi alam adalah pantangan. Istirahat karena lelah adalah lumrah, jadi tak perlu gengsi.

Dalam konteks aktivitas mendaki gunung, kebutuhan istirahat setidaknya memiliki dua manfaat utama. Yang pertama sebagai upaya memulihkan baik fisik yang sudah kurang prima, maupun batin yang mungkin tak karuan karena dinamika selama pendakian. Kedua, tak kalah penting adalah refleksi dan evaluasi, baik sebagai tim (rombongan) maupun untuk setiap diri.

Sebagai sebuah tim, pimpinan rombongan bisa bersama-sama mengevaluasi, bagaimana kualitas pendakiannya, adakah standar operasional prosedur atau kaidah-kaidah pendakian yang dilanggar, adakah anggota tim yang mengalami masalah atau hambatan, dan lainnya. Dan yang tak kalah penting, di momen istirahat itulah sebagai sebuah tim mereka bisa merekatkan kembali hubungan satu sama lainnya yang bisa jadi sempat ada friksi-friksi kecil selama pendakian pertama.

Dari penjelasan singkat di atas, kira-kira opsi pendakian mana yang memiliki potensi sukses lebih tinggi? Tentu common sense kita menyepakati opsi kedua sebagai lebih baik dalam ikhtiar menjaga proses pendakian agar safety, aman dan nyaman. Begitulah kurang lebih salah satu makna penting puasa dalam kaitan dengan kualitas fisik (raga) maupun batin (jiwa).

Jiwa Raga yang Butuh Puasa

Puasa ibarat terapi tubuh, khususnya untuk organ pencernaan manusia. Bayangkan bagaimana selama 11 bulan organ pencernaan bekerja setiap harinya; mulut yang terus mengunyah, lambung yang terus bekerja menggiling makanan, usus besar, usus halus, hingga enzim yang dibutuhkan untuk proses pencernaan kimiawi. Tidakkah organ-organ itu lelah dan karenanya butuh "rekreasi" sejenak, diterapi selama satu bulan di Bulan Ramadhan. 

Saya tidak ingin membahasnya dalam sudut pandang biologis ataupun medis, karena tak memiliki kompetensi keilmuan. Tetapi gambaran sederhananya, seperti mesin motor atau mobil, yang punya masa lelah atau aus, sehingga butuh diservis agar prima kembali. Begitulah bayangan saya tentang bagaimana puasa berfungsi terhadap sistem pencernaan manusia.

Namun sejumlah hasil penelitian ternyata mengonfirmasi banyaknya manfaat kesehatan yang diperoleh orang yang berpuasa. Dilansir dari kompas.com tentang 7 manfaat puasa bagi kesehatan, puasa ternyata sangat bermanfaat bagi mereka yang bermasalah dengan gula darah (diabetes) karena bisa mengontrol kadar gula darah dalam tubuh[1]. 

Sebuah hasil studi yang melibatkan 10 penderita diabetes tipe 2 menunjukkan bagaimana puasa dalam rentang waktu tertentu dapat secara signifikan menurunkan kadar gula darah. Tidak hanya itu, sumber lain menyebutkan bagaimana puasa bisa mengurangi resistensi insulin, sehingga perpindahan glukosa dari aliran darah ke sel tubuh lebih efisien.

Berikutnya, puasa bisa mengurangi peradangan, sehingga kemampuan tubuh melawan infeksi meningkat. Hasil penelitian juga mencatat besarnya manfaat puasa untuk mengurangi risiko penyakit jantung. 

Kalau tekanan darah, kolesterol, diabetes selama ini diyakini sebagai pemicu utama penyakit jantung, maka tidakkah puasa mampu mengontrol itu semua? Hasil studi terhadap 110 orang dewasa dengan kelebihan berat badan menunjukkan bahwa puasa selama tiga minggu ternyata cukup signifikan menurunkan tekanan darah, kadar trigliserida, dan kolesterol jahat dalam darah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada hewan juga menunjukkan manfaat puasa bagi kesehatan otak serta mampu meningkatkan pembentukan sel saraf untuk meningkatkan fungsi kognitif. Dan yang tak kalah keren, puasa ternyata juga mampu meningkatkan hormon endorphin yang memperbaiki suasana hati kita menjadi lebih bahagia.

Nah, bicara bahagia tentu ini soal jiwa. Kembali lagi kepada 11 bulan sebelumnya, selain organ tubuh terutama pencernaan yang terus bekerja, lalu lalang aktivitas manusia juga tentu turut mempengaruhi kondisi psikis, sehingga suasana batin menjadi cerminan dari dinamika kejadian-kejadian keseharian. Kalau fisik kita bayangkan lelah terus bekerja Selma 11 bulan, tidakkah dengan jiwa manusia?

Selama 11 bulan, kita sibuk memenuhi keinginan demi keinginan, mengejar target demi target, aktivitas kerja, studi, mobilitas sosial, dan lainnya yang mungkin melelahkan batin. 

Bagi mereka yang berangkat kerja sejak pagi buta, saat anak-anaknya mungkin masih terlelap, lalu kembali ke rumah, anak-anaknya juga telah tidur, lalu di mana kehangatan keluarga akan tercipta, bagaimana kita mendapatkan quality time; me time maupun family time, jika aktivitas kesehariaan sedemikian menguras waktu, energi, dan pikiran. 

Maka ramadhan seringkali menjadi pengobat itu semua. Kalaupun masih sulit untuk berbuka puasa bersama di rumah, paling tidak ada momen makan sahur yang bisa merekatkan hubungan psikologis antar anggota keluaraga. Jadi, Allah seperti telah mendesain Bulan Ramadhan untuk me-recovery jiwa dan raga kita. Sungguh betapa mahal suasana saat berbuka ataau sahur bersama, tidak mudah menemukan padanannya di luar Ramadhan.

Jika Anda adalah seorang ayah muda yang memiliki anak kecil yang telah berpuasa, coba luangkan waktu di akhir pekan untuk ngabuburit menjelang berbuka puasa, berburu kuliner kesukaan anak atau aktivitas lainnya, bukankah itu sangat membahagiakan. Betapa Ramadhan seperti menyediakan suasana yang amat berkualitas untuk memperbaiki suasana hati. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun