Tiga dekade terakhir, isu etika lingkungan menjadi perhatian utama di kalangan akademisi dan aktivis. Fokus utamanya pada aspek relasi moral antara manusia dan lingkungan hidup, serta pentingnya nilai-nilai etis dalam mengelola dan menjaga keseimbangan alam demi kelangsungan hidup seluruh makhluk, bukan hanya manusia.
Salah satu sudut pandang dalam etika lingkungan yang sering diperdebatkan adalah antroposentrisme. Pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala nilai. Lingkungan hanya dipandang sejauh memberikan manfaat bagi kebutuhan manusia, terutama dari segi ekonomi. Pandangan ini cenderung mereduksi nilai lingkungan menjadi komoditas yang harus dieksploitasi, tanpa memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem.
Dominasi pandangan antroposentris inilah yang secara nyata telah mendorong kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif yang tak terkendali. Implikasinya tidak hanya bencana alam dan degradasi ekologis, tetapi juga kerugian moral dan material yang meluas pada tatanan sosial-ekologis.
Dalam konteks pandangan dan penolakan antroposentris, Kang Dedi Mulyadi (KDM) menampilkan sikap konsisten dan tegas terhadap isu lingkungan. Ia dikenal vokal menentang perubahan tata ruang tanpa pertimbangan etika lingkungan, alih fungsi lahan, serta kegiatan pertambangan yang berpotensi mempercepat kerusakan lingkungan di Jawa Barat.Â
Kepedulian KDM tidak hanya lewat pendekatan struktural, namun juga menyentuh akar budaya melalui pendekatan gerakan kultural yang melekat dalam berbagai pidatonya di ruang publik. Melalui narasi-narasi pencerahan, KDM menawarkan alternatif sebagai antitesa terhadap antroposentrisme dengan mendasarkan argumen pada pendekatan filosofis dan nilai-nilai historis budaya Sunda. Dalam pandangan tersebut, alam diposisikan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik, yang layak dihormati dan dilestarikan, bukan sekadar dimanfaatkan.
Sebagai informasi. Jelang debat publik ketiga calon Gubernur Jawa Barat, isu lingkungan sebenarnya sudah menjadi sorotan utama banyak kalangan, khususnya para aktivis. Harapan besar agar calon terpilih berani memberikan ruang strategis bagi kebijakan lingkungan yang berkeadilan. Salah satu bentuk dorongan atas isu tersebut dilakukan oleh Paguyuban Sunda Muda (PSM)--organisasi kaum muda Sunda pendukung KDM--saat itu PSM menginisiasi diskusi publik bertajuk "Siapa Bernyali Moratorium Tambang Jawa Barat?"Â
Diskusi ini bertujuan mengarahkan debat publik tidak hanya berkutat pada retorika, namun menyentuh rencana teknokratis konkret dalam merancang kebijakan lingkungan di Jawa Barat.
Langkah konkret diwujudkan dalam bentuk kolaborasi antara TNI, POLRI, Pemerintah Daerah, dan Kejaksaan, dalam pelaksanaan deklarasi Yayasan Badega Garuda Sakti yang digelar di alam terbuka, Purwakarta, pada 14 Juli 2025.Â
Acara tersebut ditandai dengan penanaman 300 pohon dari total 2.000 pohon yang telah disiapkan. Kegiatan ini menjadi simbol sekaligus starting point ajakan kesadaran kolektif untuk bergerak bersama memperbaiki kondisi lingkungan di Jawa Barat.