Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Merawat Naniura, Memperkuat Gastrodiplomasi Bangsa

26 September 2021   17:12 Diperbarui: 26 September 2021   17:59 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggulung daging ikan mas mentah, mendorongnya masuk ke mulut, memahnya pelan, menjadi tantangan berkuliner seru kali ya?  Ini mirip sekali melalap Sashimi ala Jepang?

Melimpahnya rempah yang dibuat dari bahan pertama, berupa air jeruk nipis, garam, parutan kunyit, menjadi perendam daging ikan mas lebih-dulu. 

Giliran bahan lainnya, berupa ulekan rempah cabai, andaliman (merica batak), lokia (bawang batak), batang kecombrang, kemiri, garam serta air, melumuri daging ikan mas tadi.

Sekira 45 menitan, setelah rempah kedua bahannya meresap ke sekujur tubuh ikan mas, melalapnya menciptakan kebahagian yang tiada tara euy!

Berpikir -sambil mengunyahnya pelan- seolah sajian ini mengcopy-paste sajian Sashimi, dengan selipan irisan daging ikan tuna itu ya? Tapi, bukan! Sajian ini merupakan sajian khas tradisonal Toba bernama Naniura, yang berbahan ikan mas segar.

Naniura, satu dari sekian banyak asset kebudayaan penting masyarakat di wilayah Toba, Samosir Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. 

Dimana sajian ini, biasanya akan hadir pada upacara sakral manuan ompu-ompu, yakni upacara penguburan orang tua yang sudah memiliki cucu. 

Lalu juga hadir pada upacara surung-surung, yang menjadi bekal besuk orang/kerabat yang sakit. Serta  hadir pada upacara paulak tukang, yakni pengungkapan rasa kebahagian kala berhasil membangun rumah sendiri.

Memang wajar sih, memandang dekat Danau Toba, kita pasti akan terkesima oleh wisata alam danau toba, sebagai sesuatu hal yang paling memikat kan? Terus seolah kita hanya diajak melahap keindahannya saja lewat aktifitas berfoto-foto ria di spot-spot andalan Danau Toba?

Tapi Naniura, seharusnya bisa menjadi produk wisata dong? Artinya, paket-paket kuliner khas Toba, sejatinya mampu menjadi pelengkap, dalam meresapi keindahan Danau Toba sebagai warisan dunia.

Eh, tapi yakinkah Naniura, mampu menjadi sajian ikonik DSP Toba? Sekaligus menjadi medium Gastrodiplomasi, yang berujung menggeliatkan wisata Danau Toba di masa mendatang ya?

Nah, sisi-sisi kuliner kadang --memang- sering terlupakan. Namun menurut saya, hal ini menjadi penting diobras, dalam peran menata pengembangan DSP Toba yang berkelanjutan, dan harus dimulai dari sisi ini. Gih, dibaca terus ya!

Jalur Rempah Nusantara, jalur Gastrodiplomasi Bangsa

Jangan ditanya seberapa kayanya Sumatra utara (Sumut) atas karunia keindahan alam dan keberagaman kebudayaan kehidupan multi-etnis masyarakatnya. 

Mari fokus  pada wilayah Tengah Sumut, tepatnya di daerah Danau Toba dengan suku Batak-nya, lantas di kepulauan bagian baratnya dengan komunitas suku Nias-nya.

Mensesapi pesona Danau Toba itu, pesona entitas suku dan budayanya sudah memamerkan wonderful Indonesia.  Lihat saja, mudahnya kita menyaksikan keunikan arsitektur bangunannya, sampai ritual-ritual kepercayaan serta keyakinan masyarakatnya yang masih melekat kuat di tengah arus deras kehidupan modern kini.

Heritage of Toba, --memang- sudah menyimpan banyak misteri yang pantas untuk disesapi ya? Termasuk interfensi jalur rempah Sumut masa silam, yang menjadikan aspirasi dan inspirasi bagi terciptanya beragam penyajian kuliner masyarakat adat Toba. 

Kekayaan rempah macam andaliman, Lokia bisalah menjadi ikon rempah unik, yang  awam dikenal umum, dan menjadi primadona pada akitvitas perdagangan masa lalu.

Menyaksikan kontribusi Labuhan Deli --misalnya- menjadi labuhan utama Sumut di abad 1814 Masehi, sudah menjadi saksi pertukaran budaya dan perdagangan komoditas lintas bangsa pada saat itu.  

Jalur Rempah masa silam inilah yang membuka tabir rahasia, atas kekayaan kuliner yang dimiliki Sumut, dalam menciptakan  sajian kuliner yang berkarakter rempah.

Kini, akses penting menuju Indonesia, dari sisi bagian barat sudah membentangkan jalur Pariwisata Sumut via Labuhan Belawan dan juga Bandara Kulalanamu.  

Akses itu lantas memudahkan kita untuk menjajal kreasi jalur rempah dalam sajian kuliner Toba dahulu-kala, yang dapat dinikmati kini. Apa saja itu?

ombus-ombus I https://www.indonesia.travel/
ombus-ombus I https://www.indonesia.travel/

Ombus-ombus, macam camilan  dari tepung beras, kelapa dan gula merah dan biasanya hadir melengkapi waktu pagi kita, selain menjadi sajian pada upacara kebudayaan lainnya. 

Arsik? Sajian yang menghidangkan ikan mas dalam balutan rempah bumbu kuningnya. Di Masyarakat Sumut, Arsik menjema menjadi simbol doa dan berkat pada prosesi pernikahan khas batak. Cita rasa Arsik, sangat berkrakter dengan kejutan rasa pedas dan asamnya merasuk sampai ke tulang-tulang ikannya.

Tuk-tuk? Ini sambal yang mengandung bahan khas, berupa andaliman yang dikenal dengan merica batak. Ulekan bahan sambalnya, terdiri atas bahan cabai merah keriting, cabai merah besar, bawang merah, bawang putih, kemiri, andaliman, juga jeruk nipis dan ada jua ikan asin. Duh pasti sedap!

Mi Gomak I https://www.indonesia.travel/
Mi Gomak I https://www.indonesia.travel/

Mi gomak, salah satu sajian mie dengan tekstur kenyal dan berukuran mirip dengan  Spagetthi. Sajiannya, dibedakan dalam bentuk kuah dan juga goreng. 

Rasanya sangat enak, dibalur dengan gurihnya bumbu santan dan tambahan andaliman, asam patikala, dan kecombrang. Ada lagi? Manuk napidar, manuk berarti ayam. Daging ayam diolah dengan kelapa parut dan andaliman, menjadikan rahasia kelezatannya..

Nah, 20 titik jalur rempah Nusantara, --salah satunya ada di Sumut- akan menjadi kata kunci dalam membuka jalur industri periwisata sesungguhnya kan? Menguatkan upaya-upaya Gastrodiplomasi, yakni gabungan diplomasi budaya dan kuliner, guna membangun dan meningkatkan citra bangsa

Dalam praktiknya banyak negara juga sukses menggelar Gastrodiplomasi? Seperti Thailand pada 2002 yang masif mengkampanyekan kuliner mereka yang bertajuk "Global Thai Programe" dengan pendirian banyak restoran ala Thailand di negara lain. 

Hal sama juga dilakukan Korea Selatan lewat tajuk Global Hansik di 2009 lalu. Dan juga negara jepang yang kampanye Gastrodiplomasi, bertajuk Shoku bunka kenkyQ suishin kondankai di 2005.

Nah, di Juli 2021 Indonesia juga mengumandangkan Gastrodiplomasinya, bertajuk Indonesia spice up the world, memperkuat industri kuliner dan kekayaan rempah RI. 

Nampaknya, Gastrodiplomasi kala itu ingin mengulangi tren apik, melejitnya menu rendang ala Sumatra sebagai makanan terlezat versi CNN di 2011.

Nah predikat DSP Toba, sekelebat sudah menjadikan celah harapan. Jika kuliner-kuliner Toba harusnya juga lebih massif menjamu gairah cita rasa, mengundang para wisatawan, menggeliatkan DSP Toba, menggapai tujuan Gastrodiplomasi.

Bagian ini bisalah kita anggap sebagai bagian hilir tujuan DSP Toba itu? Artinya sukses tidaknya produk  DSP Toba, akan tergantung dari bagian hulu DSP Toba? Dan bagian ini akan menjadi  hal serius dalam tulisan ini.

Merawat Ikan Mas, merawat Heritage of Toba? 

Sejarah Danau Toba --memang- mampu menularkan nilai pada ekosistem sekitarnya? Salah-satunya yakni fauna akuatik ikan mas yang --sejatinya- mampu berkembang sehat di sana. 

Dalam konteks budidaya perikanan, potensi Danau Toba menjadi ganda dan akhirnya tumpang tindih dengan kepentingan berkonteks industri pariwisata sendiri kan?

Bisa dikatakan, ikan mas sudah menjadi sandaran peran sosial-ekonomi masyarakat Toba. Hal itu sudah menjadi dilema untuk diurai?

Arsik I https://www.indonesia.travel/
Arsik I https://www.indonesia.travel/

Sajian Arsik --misalnya- yang menggunakan bahan ikan mas, sudah menjadi simbol karunia kehidupan masyarakat Batak. Kehadiran sajian ini bermakna penting dalam upacara adat batak, terutama mengenai makna jumlah angka-angka ganjil ikan arsiknya.

Satu ekor, diperuntukkan bagi pasangan yang baru menikah. Tiga ekor diperuntukan bagi pasangan yang baru menikah. Lima ekor diperuntukan bagi pasangan yang baru memiliki cucu. Tujuh ekor diperuntukkan bagi pemimpin bangsa Batak.

Keyakinan itu menjadikan tuntutan atas ketersediaan ikan mas yang --harusnya- berkembang dan dipetik langsung dalam ekosistem Danau Toba, guna melengkapi nilai sakral kuliner Arsik.

Namun yang terjadi, banyak fakta kegagalan budidaya keramba Jaring apung (KJA) ikan mas, lewat kematian jutaan ikan mas secara mendadak. Ini akan menjadi tanda tanya ada apa denganmu Danau Toba?

Saya sebagai seorang praktisi budidaya perairan, pertanyaan itu terlalu mudah dijawab. Tentu sudah tercipta pencemaran di perairan Danau Toba, akibat aktivitas manusia? Secara normal saja, perairan sudah dianggap 'tong sampah' atas limbah kehidupan. Terlebih lagi, hilangnya  kontrol dan kesadaran atas perilaku pelaku wisata dan wisatawan menjaga kebersihan kawasan.

Citra satelit spot VII 2016, mendeteksi 11.282 KJA di Danau Toba. Jumlah ini tersebar di tujuh kabupaten, 80% berada di Haranggaol. Hingga, April 2021, massifnya KJA yang berhamburan di Danau Toba masih ditemukan, lewat budidaya keramba di kedalaman kurang dari 30 meter.

KJA Danau Toba I Kompas
KJA Danau Toba I Kompas

Bagi saya jelas, dampak massifnya KJA di Danau Toba sangat berpengaruh pada kualitas airnya, yang lambat laun mendegradasi pesona Danau Toba.

Secara teknis degradasi itu diakibatkan pemberian pakan berlebihan, serta massifnya kotoran ikan yang menyipta endapan kadar ammonia tinggi, yang secara kimiawi akan mengurangi nilai kadar oksigen dalam air.

Pertanyaannya, harusnya predikat kawasan strategis  Danau Toba, tidak --lagi- hanya bertujuan wisata saja, namun bertujuan sebagai konservasi bumi dalam penyediaan air bersih, bukan? Oleh sebab itu, menurut saya ada 3 hal yang menjadi atensi pengembangan DSP Toba!

  • Konsistensi penerapan Perpres 81 Tahun 2014, salah satunya, menekankan kawasan Silahisabungan diperuntukan untuk pemijahan ikan endemik.
  • Mendorong pengaplikasian teknologi dengan investasi peralatan modern sistem daur ulang KJA pada usaha-usaha budidaya perikanan di sana.
  • Pengendalian KJA, dengan pembatasan jumlah KJA yang didasarkan oleh daya dukung lingkungan. Keputusan Gubsu 188.44/213/KPTS/2017 dimana kapasitas produksi hanya 10ribu ton per-tahun.

Memang, dalam banyak teori dikatakan, suatu ekosistem akan memiliki kemampuan membersihkan dirinya sendiri, jika berada dalam daya dukung idealnya. Namun tentu memerlukan waktu lama.

Nah predikat Danau Toba menjadi DSP Toba, seharusnya memudahkan industri pariwisata Danau Toba dengan nol KJA. Menurut saya, --memang- pada dasarnya Danau bukanlah tempat KJA ideal. Danau sejatinya tempat menikmati pesona keindahan, merasakan manfaat air, dan menumbuhkan sikap pelestarian bagi penikmatnya.

DSP Toba dengan jargon barunya  MICE di Indonesia aja, saya yakin, mampu memberikan sifat industri Pariwisata inklusif, yang memberikan kesempatan investor meramaikan dengan segala aktivitas bisnis keberlanjutannya. Dan semua itu, pastilah membuka lapangan pekerjaan baru, mengurangi kebergantungan masyarakat Toba pada budidaya KJA di sana.

Panaroma Danau Toba dengan aktivitas KJA ikan I Kompas
Panaroma Danau Toba dengan aktivitas KJA ikan I Kompas

Memesan Naniura khas Toba lewat aplikasi pastilah memungkinkan? Namun Ikan Mas yang langsung dipetik dari ekosistem Danau Toba, pastilah akan memberikan nilai historis yang memuaskan menikmatinya kan?

Artinya, keberlanjutan Danau Toba pastilah akan berhubungan erat dengan keberlanjutan Kualitas kuliner Toba, dalam rangka memperkuat Gastrodiplomasi sesungguhnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun