Mohon tunggu...
Alfian Arbi
Alfian Arbi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aquaqulture Engineer

Aquaqulture Engineer I Narablog

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Merawat Naniura, Memperkuat Gastrodiplomasi Bangsa

26 September 2021   17:12 Diperbarui: 26 September 2021   17:59 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keyakinan itu menjadikan tuntutan atas ketersediaan ikan mas yang --harusnya- berkembang dan dipetik langsung dalam ekosistem Danau Toba, guna melengkapi nilai sakral kuliner Arsik.

Namun yang terjadi, banyak fakta kegagalan budidaya keramba Jaring apung (KJA) ikan mas, lewat kematian jutaan ikan mas secara mendadak. Ini akan menjadi tanda tanya ada apa denganmu Danau Toba?

Saya sebagai seorang praktisi budidaya perairan, pertanyaan itu terlalu mudah dijawab. Tentu sudah tercipta pencemaran di perairan Danau Toba, akibat aktivitas manusia? Secara normal saja, perairan sudah dianggap 'tong sampah' atas limbah kehidupan. Terlebih lagi, hilangnya  kontrol dan kesadaran atas perilaku pelaku wisata dan wisatawan menjaga kebersihan kawasan.

Citra satelit spot VII 2016, mendeteksi 11.282 KJA di Danau Toba. Jumlah ini tersebar di tujuh kabupaten, 80% berada di Haranggaol. Hingga, April 2021, massifnya KJA yang berhamburan di Danau Toba masih ditemukan, lewat budidaya keramba di kedalaman kurang dari 30 meter.

KJA Danau Toba I Kompas
KJA Danau Toba I Kompas

Bagi saya jelas, dampak massifnya KJA di Danau Toba sangat berpengaruh pada kualitas airnya, yang lambat laun mendegradasi pesona Danau Toba.

Secara teknis degradasi itu diakibatkan pemberian pakan berlebihan, serta massifnya kotoran ikan yang menyipta endapan kadar ammonia tinggi, yang secara kimiawi akan mengurangi nilai kadar oksigen dalam air.

Pertanyaannya, harusnya predikat kawasan strategis  Danau Toba, tidak --lagi- hanya bertujuan wisata saja, namun bertujuan sebagai konservasi bumi dalam penyediaan air bersih, bukan? Oleh sebab itu, menurut saya ada 3 hal yang menjadi atensi pengembangan DSP Toba!

  • Konsistensi penerapan Perpres 81 Tahun 2014, salah satunya, menekankan kawasan Silahisabungan diperuntukan untuk pemijahan ikan endemik.
  • Mendorong pengaplikasian teknologi dengan investasi peralatan modern sistem daur ulang KJA pada usaha-usaha budidaya perikanan di sana.
  • Pengendalian KJA, dengan pembatasan jumlah KJA yang didasarkan oleh daya dukung lingkungan. Keputusan Gubsu 188.44/213/KPTS/2017 dimana kapasitas produksi hanya 10ribu ton per-tahun.

Memang, dalam banyak teori dikatakan, suatu ekosistem akan memiliki kemampuan membersihkan dirinya sendiri, jika berada dalam daya dukung idealnya. Namun tentu memerlukan waktu lama.

Nah predikat Danau Toba menjadi DSP Toba, seharusnya memudahkan industri pariwisata Danau Toba dengan nol KJA. Menurut saya, --memang- pada dasarnya Danau bukanlah tempat KJA ideal. Danau sejatinya tempat menikmati pesona keindahan, merasakan manfaat air, dan menumbuhkan sikap pelestarian bagi penikmatnya.

DSP Toba dengan jargon barunya  MICE di Indonesia aja, saya yakin, mampu memberikan sifat industri Pariwisata inklusif, yang memberikan kesempatan investor meramaikan dengan segala aktivitas bisnis keberlanjutannya. Dan semua itu, pastilah membuka lapangan pekerjaan baru, mengurangi kebergantungan masyarakat Toba pada budidaya KJA di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun