Akan tetapi, kami menjalaninya dengan sabar. Berharap jalan keluar yang kami upayakan dapat segera ditemukan. Kami yakin, rezeki sudah Allah tetapkan. Berhenti menerima gratifikasi tidak akan membuat kami tersiksa dan mati sebelum waktunya.
Perang terbesar yang justru tengah berkecamuk di hadapan kami bukan soal kekurangan uang, melainkan perang terhadap korupsi.
Sejak memutuskan untuk berhenti menjadi 'penolong' para koruptor, saya giat mengikuti berbagai event antikorupsi. Salah satu diantaranya mengantarkan saya menjadi seorang Penyuluh Antikorupsi.
Predikat ini-lah yang membuat saya semakin berani memerangi tindak pidana korupsi, terlebih yang terjadi di bidang pengadaan barang/jasa.
Saya dedikasikan tenaga dan pikiran untuk memperjuangkan pengadaan barang/jasa pemerintah bisa bebas dari korupsi. Perlahan, saya ajak rekan-rekan sejawat untuk meninggalkan praktik tercela itu.
Meskipun usaha yang saya lakukan tak kunjung berbuah hasil yang signifikan, namun semangat tak pernah kendur.
Bagi saya, ini-lah pembuktian saya kepada istri yang pernah saya sakiti, Ibu yang pernah saya musuhi, anak-anak yang pernah saya beri contoh keji dan negara yang pernah saya khianati.Â
Saya harus membuktikan kepada mereka bahwa saya telah berubah. Saya berharap mereka semua memaafkan saya dan Tuhan menerima pertaubatan ini.
Perang ini memang tak seberat perang merebut kemerdekaan yang dilakukan oleh para pejuang. Tapi setiap kita adalah pejuang di medan dan masanya masing-masing.
Bagi saya, inilah perang terbesar saya saat ini. Meski saya tak kunjung menang, saya yakin anak-anak akan meneruskan perjuangan ini. Sebab, alam bawah sadar mereka sudah dipertontonkan sedari dini oleh sebuah dedikasi tanpa henti dalam pemberantasan korupsi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI