Mohon tunggu...
Sastyo Aji Darmawan
Sastyo Aji Darmawan Mohon Tunggu... ASN; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Pengurus Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Penyuluh Antikorupsi; Negarawan

Menulis supaya gak lupa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alam Bawah Sadar

28 Maret 2025   02:12 Diperbarui: 28 Maret 2025   04:22 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesalahan Yang Sama

Kami bertemu di sebuah cafe di bilangan Tangerang Selatan. Lokasinya persis di depan masjid besar. Sebelum pertemuan itu berlangsung, saya sempat menunaikan sholat ashar di masjid tersebut.

Ia mulai percakapan itu dengan pertanyaan. "Apa masalah lo, sampai harus ketemu gue?".

Dengan santai saya menjawab, "Saya gak punya masalah apa-apa, mas".

"Terus, kalau lo ga ada masalah, ngapain ngajakin ketemuan?", ia bertanya kembali.

Masih dengan santai saya pun mencoba terlihat baik-baik saja. 

"Ya, kami sempat ada masalah, tapi sekarang saya sudah berubah. Saya sudah menyadari kesalahan saya dan saya akan berusaha membuktikan itu kepadanya", jawab saya.

"Masalahnya, gak semudah itu, bro. Lo pikir gampang mengobati sakit hati?", lanjutnya.

"Lo udah buktiin seribu tahun pun, tetep dia akan menganggap kesalahan itu baru terjadi kemarin, apalagi kalo lo ga selesaikan akar masalahnya".

Kalimat terakhirnya itu membuat saya kehabisan kata-kata. Mulai detik itu, saya tak bisa terlihat baik-baik saja.

"Lagian ngapain sih lo kaya gitu? Lo sadar gak, sih? kesalahan lo itu bukan hanya berdampak ke diri lo, tapi keluarga lo akan menanggung dampak negatifnya", ujarnya.

Saya hanya bisa mematung. Sementara ia terus menggurui, saya seperti berada di titik terendah kehormatan diri. 

Ucapannya betul. Saya terlalu cepat merasa sudah berubah menjadi lebih baik, tanpa memikirkan perasaan orang yang pernah saya sakiti.

"Gue tanya sekali lagi, kenapa sih lo melakukan itu?", tanya-nya dengan nada penasaran.

"Terus terang, saya juga gak tau alasannya apa mas. Padahal saya melakukan itu dengan sadar", jawab saya dengan harapan tidak ditanya lagi.

Ia pun terdiam sejenak. Lalu bicara lagi, "Hubungan lo sama nyokap, gimana?".

Jantung saya berdetak lebih cepat mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa-tidak seperti pada pertanyaan pertama-kali ini saya tidak lagi berhasrat menjawab dengan aman.

"Hubungan saya dengan Ibu kurang bagus, mas", jawab saya.

"Nah, hubungan sama wanita yang melahirkan lo aja gak bagus, jangan bermimpi punya hubungan bagus dengan wanita yang baru lo temui beberapa tahun lalu".

Saya pun tertunduk lesu mendengarnya. Lalu ia menanyakan alasan ketidakharmonisan hubungan saya dengan Ibu.

Seolah memutar kenangan masa kecil yang hampir diwarnai pertengkaran orang tua setiap harinya, saya urutkan satu persatu alasan ketidakharmonisan tersebut.

"Sekarang lo bisa percaya omongan gue tadi. Lo sadar gak, lo tuh cuma mengulang semua yang orang tua lo pertontonkan di hadapan lo sejak kecil. Lo bisa bilang, lo benci semua itu, tapi alam bawah sadar mendorong lo untuk melalukan kesalahan yang sama ketika lo dewasa. Kalo lo sayang sama anak dan istri lo, tinggalin semua perbuatan buruk itu", pungkasnya.

Seketika saya menyadari bahwa memang saya sedang dalam masalah. Saya pikir obrolan kami sudah berakhir, namun ternyata ia belum kehabisan pertanyaan.

"Kerjaan lo apa, sih?, ia bertanya penuh selidik.

"Saya kerja di bagian pengadaan barang/jasa, mas", jawab saya.

"Wah, tempat basah, dong!", candanya seolah melonggarkan suasana yang sempat menegang.

"Berarti sering dapat gratifikasi dari vendor, dong?", lanjutnya.

Saya merasa terjebak dengan pertanyaan itu. Sejurus kemudian saya mengakuinya. 

"Ya, mas. Dulu, saya sering dapat pemberian dari vendor. Tapi sekarang sudah tidak, mas", ujar saya.

"Itu lo masih ada di circle itu kan?", tanggapnya.

"Udah main perempuan, hubungan sama nyokap gak bagus, bergaulnya sama koruptor pula. Mau jadi apa lo?"

"Sekali lagi gw kasih tau, ya! Kalo lo sayang sama anak dan istri lo, putus lingkaran setan ini sekarang!".

"Jangan sampai, anak-anak lo mengulang kesalahan yang sama ketika mereka dewasa", ucapnya.

Tak lama setelah itu, pertemuan kami benar-benar berakhir. Di luar dugaan, sesi konseling yang semula saya kira hanya obrolan biasa malah membuat saya tercerahkan.

Saya menatap wajah istri saya yang sudah menunggu lama di ruangan lain dengan nanar. Banyak yang ingin saya bicarakan, namun tak mungkin melakukannya di dalam taksi yang kami tumpangi pulang. Saya pun berniat mengajaknya bicara setelah tiba di rumah.

Perjalanan pulang kami cukup panjang, dan saya khawatir akan terasa lebih panjang dari seharusnya. Tapi tangannya yang rela saya genggam sedikit meredam kekhawatiran itu.

Kami sibukan diri dengan mengajak bicara sopir, dan menawarkannya makanan untuk berbuka puasa di perjalanan.

Saya tak memilih sholat maghrib dulu di masjid depan cafe tempat konseling itu. Berbeda dengan sebelumnya, saya masih merasa sudah cukup shaleh saat sholat ashar. Maghrib itu saya merasa sangat hina dan malu, bahkan untuk sholat di depan umum.

Ayat Yang Berkesan

Sebelum berpisah, ia berpesan kepada saya: "Coba lo cari di Youtube ceramah tentang ilmu 'garpu tala', mudah-mudahan lo menemukan titik balik buat menyelesaikan akar masalah lo", pesannya.

Pesan itu saya simpan baik-baik. Rencananya, setiba di rumah saya akan mendengarkan ceramah yang dimaksud. Tapi sebelumnya, saya harus bicara dengan istri terlebih dahulu.

Setiba di rumah, pembicaraan kami berjalan lancar. Kami saling menceritakan jalannya sesi konseling yang kami ikuti. 

Saran yang ia terima dari Coach-panggilan untuk konselor kami-berbeda dengan saya terima. Coach pun sudah memberitahu saya: "Istri lo pun sudah gue kasih saran. Tentu sarannya beda dengan yang gue kasih ke elo. Gue ga memihak siapapun. Bagi gue lo berdua harus sama-sama berjuang mempertahankan rumah tangga ini".

Malam itu terasa berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Kecupan di keningnya sebelum ia tidur terasa lebih hangat. 

Saya terus memandangi wajahnya yang cantik. "Kok bisa saya menyakiti hati wanita secantik dan sebaik ini", ujar saya dalam hati.

Saya berterima kasih kepadanya sebelum tidur, karena telah mengajak saya dalam kelas konseling dan kami berencana melanjutkan pembicaraan keesokan paginya.

Singkat cerita, kami bangun di pagi hari dengan semangat yang baru. Baik saya maupun istri saya, masing-masing punya misi untuk mencapai visi yang satu, yaitu mempertahankan keutuhan rumah tangga ini.

Misi pertama saya adalah memperbaiki hubungan dengan Ibu terlebih dahulu. Saya harus mengubur semua kebencian terhadapnya dan berdamai dengan masa lalu. Terlebih, syariat tidak mengizinkan saya untuk bermusuhan dengan orang tua.

Setelah itu, saya harus lanjutkan pembuktian kepada istri dan tak bosan untuk meyakinkannya bahwa saya menyesali perbuatan saya dan tidak akan mengulanginya lagi.

Saya pun berkomitmen untuk tidak mempertontonkan dan menceritakan hal-hal buruk di depan anak-anak. Saya tidak ingin alam bawah sadar mendorong mereka untuk mengulanginya ketika dewasa.

Tapi rasanya masih ada satu 'puzzle' yang belum saya temukan. Pesan Coach agar saya mendengarkan ceramah tentang ilmu garpu tala, belum saya lakukan.

Kemudiaan, saya pun bergegas mencari nama ustadz yang ia rekomendasikan di Youtube. Rupanya, cukup banyak video ceramahnya yang menggunakan frasa 'garpu tala'.

Bingung memilih mendengarkan video mana untuk yang pertama, saya pun memilih secara acak.

Di video pertama itu, sang ustadz menceritakan pengalamannya ketika ditemui oleh seorang Ibu yang tengah diliputi kesedihan luar biasa. Ia telah kehilangan anaknya yang masih balita.

Pasalnya, suaminya sendiri-lah yang telah membunuh anak mereka. Tanpa sengaja, suaminya melindas anak tersebut ketika tengah memarkirkan mobil.

Ibu itu meminta nasihat kepada sang ustadz, bagaimana caranya ia bisa memaafkan suaminya dan menerima kepergiaan anak tercintanya.

Sang ustadz pun memberikan nasihatnya, namun amarah dan kesedihan terlalu menguasai hati si Ibu. Akibatnya, nasihat yang diberikan tak mampu mengubah keadaan.

Di kesempatan berikutnya, Ibu tersebut datang lagi dengan keresahan yang sama. Merasa hampir putus asa, karena tak mampu memberikan nasihat yang menyejukan, sang ustadz memberikan pesan pamungkas.

Ia meminta si Ibu untuk mencari jawabannya sendiri di dalam Al-Quran. "Ibu buka mushaf secara acak, pahaminayat pertama yang pertama kali Ibu temukan, insyaa Allah itu jawabannya", kata sang ustadz.

Meski terdengar spekulatif, si Ibu melakukannya. Dan akhirnya ia pun menemukan jawaban atas keresahannya selama ini.

Berbekal cerita itu, saya pun melakukan spekulasi yang sama. Setelah shoalt, saya ambil Al-Quran dan membukanya halamannya secara acak.

Setelah melakukannya, butuh waktu untuk memahami ayat pertama yang saya temukan. Ayat itu adalah ayat ke 17 dalam Surat Al-Qashas, yang berbunyi:

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, (tuntunlah aku) sehingga aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berbuat durhaka.”

Saya membaca ayat dan tafsirnya berkali-kali untuk memahami makna yang ingin Allah SWT sampaikan dalam firman-Nya. Setelah berusaha keras, akhirnya saya memahaminya. 

Terlepas dari benar/salah spekulasi yang saya lakukan. Tapi saya yakin, Tuhan selalu punya banyak cara untuk mengajarkan hamba-Nya.

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa di saat menyadari kesalahannya, Musa memohon ampun kepada Tuhan, seraya berkata, “Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak boleh dibunuh. Maka ampunilah dosaku dan janganlah Engkau siksa aku karena perbuatan yang tidak kusengaja itu.” 

Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya, mengampuni kesalahan Musa. Dengan pengampunan itu, hati Musa menjadi tenteram dan bebas dari kebimbangan dan kesusahan memikirkan nasibnya karena melakukan perbuatan dosa.

Musa berjanji tidak akan melakukan kesalahan itu lagi dan tidak akan menjadi penolong bagi orang yang melakukan kesalahan. Apalagi pertolongan itu akan menyebabkan penganiayaan atau pembunuhan dan mencelakakan diri sendiri.

Tafsir dari ayat tersebut sangat berkesan bagi saya. Bukan karena saya pernah membunuh orang dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tapi janji Nabi Musa AS bahwa dirinya tidak akan menjadi penolong bagi orang yang melakukan kesalahan sangat mirip dengan keseharian saya.

Penolong Para Koruptor

Saya sudah menyadari bahwa selama bekerja di bagian pengadaan barang/jasa banyak kesalahan yang telah saya perbuat.

Mark-up harga, manipulasi data hingga suap dan gratifikasi menjadi keseharian yang wajar saya lakukan.

Efek negatif dari perilaku tersebut adalah saya merasa permisif dengan korupsi dan merasa sudah hidup dengan mapan.

Rasa mapan itu yang membuat saya ingin segera menikah dan dapat pengakuan dari semua orang. Bahwa saya sudah memiliki kedewasaan dan karir yang sukses.

Sayangnya, saya terlambat menyadari bahwa kemapanan itu semu. Selama ini saya hanya bergantung pada gratifikasi. Berharap vendor memberikan 'tanda terima kasihnya' untuk kinerja yang telah saya berikan.

Saya beruntung memiliki istri yang menerima saya apa adanya. Jauh hari sebelum kelas konseling itu, saya pernah utarakan kepadanya bahwa saya tidak mau menerima gratifikasi lagi.

Sayangnya niat baik itu tidak diikuti dengan keharusan lainnya, yaitu berhenti juga melakukan upaya-upaya memperkaya orang lain dalam pengadaan barang/jasa.

Saya terlalu takut menolak perintah pengaturan pemenang tender. Saya masih sungkan menolak permintaan mark-up harga dari vendor yang pernah memberi 'pertolongan'.

Akhirnya, meskipun saya enggan menerima gratifikasi, saya masih menjadi penolong bagi para koruptor itu.

Setelah mendapati makna dari ayat tersebut, saya pun menyadari. Seribu tahun pembuktian ini tidak akan berarti apa-apa jika saya masih menolong para pihak yang melazimkan korupsi dalam pengadaan barang/jasa.

Saya ceritakan tafsir ayat tersebut kepada istri saya dan saya kaitkan dengan pekerjaan saya jalani selama ini. Sekali lagi, ia menerima apapun keputusan saya.

Saya utarakan kepadanya bahwa saya bukan hanya berhenti menerima gratifikasi, tapi saya juga akan berhenti membantu semua pihak yang masih melakukan perbuatan tercela itu.

Konsekuensinya, saya pasti akan dijauhi dan kehilangan posisi yang saat itu sudah saya duduki.

Saya siap dan istri tercinta pun memahami. Saya peluk tubuhnya sembari menangis dan berkata, "Maafkan kesalahan ku selama ini, semoga Allah SWT menuntun kita semua menjadi pribadi yang lebih baik lagi".

Ia mengusap air mata saya dan berkata, "Amin".

Perang Terbesar

Hari-hari sesudahnya, kami jalani pasang surut kehidupan tanpa bergantung pada gratifikasi lagi.

Sesekali, luka di hatinya terasa lagi. Tapi, saya selalu bisa meyakinkannya bahwa pembuktian ini perlu ia perhitungkan.

Saya jauhi hal-hal yang membuatnya teringat dengan kesalahan yang pernah saya perbuat. Sesekali saya luput, namun hal yang prinsip tak pernah saya langgar.

Hubungan dengan Ibu pun saya coba rajut kembali secara perlahan. Sulit, tapi tak boleh terbesit keputus-asaan.

Hilangnya ketergantungan terhadap gratifikasi pun berdampak besar pada perekonomian keluarga. Ditambah lagi banyak keputusan-keputusan pengeluaran rumah tangga di masa lalu yang menambah beban saat ini.

Akan tetapi, kami menjalaninya dengan sabar. Berharap jalan keluar yang kami upayakan dapat segera ditemukan. Kami yakin, rezeki sudah Allah tetapkan. Berhenti menerima gratifikasi tidak akan membuat kami tersiksa dan mati sebelum waktunya.

Perang terbesar yang justru tengah berkecamuk di hadapan kami bukan soal kekurangan uang, melainkan perang terhadap korupsi.

Sejak memutuskan untuk berhenti menjadi 'penolong' para koruptor, saya giat mengikuti berbagai event antikorupsi. Salah satu diantaranya mengantarkan saya menjadi seorang Penyuluh Antikorupsi.

Predikat ini-lah yang membuat saya semakin berani memerangi tindak pidana korupsi, terlebih yang terjadi di bidang pengadaan barang/jasa.

Saya dedikasikan tenaga dan pikiran untuk memperjuangkan pengadaan barang/jasa pemerintah bisa bebas dari korupsi. Perlahan, saya ajak rekan-rekan sejawat untuk meninggalkan praktik tercela itu.

Meskipun usaha yang saya lakukan tak kunjung berbuah hasil yang signifikan, namun semangat tak pernah kendur.

Bagi saya, ini-lah pembuktian saya kepada istri yang pernah saya sakiti, Ibu yang pernah saya musuhi, anak-anak yang pernah saya beri contoh keji dan negara yang pernah saya khianati. 

Saya harus membuktikan kepada mereka bahwa saya telah berubah. Saya berharap mereka semua memaafkan saya dan Tuhan menerima pertaubatan ini.

Perang ini memang tak seberat perang merebut kemerdekaan yang dilakukan oleh para pejuang. Tapi setiap kita adalah pejuang di medan dan masanya masing-masing.

Bagi saya, inilah perang terbesar saya saat ini. Meski saya tak kunjung menang, saya yakin anak-anak akan meneruskan perjuangan ini. Sebab, alam bawah sadar mereka sudah dipertontonkan sedari dini oleh sebuah dedikasi tanpa henti dalam pemberantasan korupsi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun