Saya hanya bisa mematung. Sementara ia terus menggurui, saya seperti berada di titik terendah kehormatan diri.Â
Ucapannya betul. Saya terlalu cepat merasa sudah berubah menjadi lebih baik, tanpa memikirkan perasaan orang yang pernah saya sakiti.
"Gue tanya sekali lagi, kenapa sih lo melakukan itu?", tanya-nya dengan nada penasaran.
"Terus terang, saya juga gak tau alasannya apa mas. Padahal saya melakukan itu dengan sadar", jawab saya dengan harapan tidak ditanya lagi.
Ia pun terdiam sejenak. Lalu bicara lagi, "Hubungan lo sama nyokap, gimana?".
Jantung saya berdetak lebih cepat mendengar pertanyaan itu. Entah mengapa-tidak seperti pada pertanyaan pertama-kali ini saya tidak lagi berhasrat menjawab dengan aman.
"Hubungan saya dengan Ibu kurang bagus, mas", jawab saya.
"Nah, hubungan sama wanita yang melahirkan lo aja gak bagus, jangan bermimpi punya hubungan bagus dengan wanita yang baru lo temui beberapa tahun lalu".
Saya pun tertunduk lesu mendengarnya. Lalu ia menanyakan alasan ketidakharmonisan hubungan saya dengan Ibu.
Seolah memutar kenangan masa kecil yang hampir diwarnai pertengkaran orang tua setiap harinya, saya urutkan satu persatu alasan ketidakharmonisan tersebut.
"Sekarang lo bisa percaya omongan gue tadi. Lo sadar gak, lo tuh cuma mengulang semua yang orang tua lo pertontonkan di hadapan lo sejak kecil. Lo bisa bilang, lo benci semua itu, tapi alam bawah sadar mendorong lo untuk melalukan kesalahan yang sama ketika lo dewasa. Kalo lo sayang sama anak dan istri lo, tinggalin semua perbuatan buruk itu", pungkasnya.