Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Fiksi Horor dan Misteri] Deja Vu

23 September 2016   07:44 Diperbarui: 28 September 2016   11:02 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumen FC"][/caption]Hari sudah larut malam waktu aku keluar dari terminal sambil menenteng tas yang cukup besar. Aku sampai di terminal Tirtonadi Solo sekitar jam setengah dua belas malam, setelah sehari semalam berada dalam bis yang membawaku dari Mengwi, Tabanan. Tujuanku memang ke kota ini, mencari suamiku yang pergi merantau di sini, meninggalkan aku yang sedang hamil muda tujuh bulan yang lalu. Sekarang kandunganku menginjak minggu ke tigapuluh enam. Dua atau tiga minggu lagi aku melahirkan, dan aku ingin kelahiran anakku ditunggui ayahnya.

"Mau kemana, Nduk?" tanya seorang penjual gorengan di depan terminal padaku yang memang sedang kebingungan mencari alamat yang tertera di sampul surat yang ku bawa.
"Eeerrmmmm, aku... Aku mencari alamat ini, ini alamat tempat kerja suamiku, Nek! Aku baru pertama kali ke Solo, aku nggak tahu harus naik apa?" jawabku sambil menunjukkan alamat yang tertulis di sampul surat tersebut.

Nenek penjual gorengan itu tampak terkesiap membaca alamat itu, "Nduk, kamu ndak salah ini alamate? Mbok wis kamu pulang saja! Alamat ini terlalu rawan di datangi perempuan hamil seperti kamu!"

"Nggak Nek! Aku harus kesana, suamiku ada di sana dan aku harus membawanya pulang ke Mengwi. Sebentar lagi anakku lahir dan aku mau suamiku ada bersamaku!" jawabku.

"Kalau begitu, tunggulah sampai matahari terbit! Besok saja kamu kesana!" kata nenek iti lagi.

"Nggak Nek! Aku akan berangkat sekarang! Lebih cepat lebih baik!" kataku sekali lagi. Tanpa menghiraukan nenek penjual gorengan itu aku segera mencari tumpangan untuk pergi ke alamat yang ku tuju.


Aneh.. Sangat aneh menurutku, tidak ada satupun angkutan mau mengantarku ke alamat yang ku tuju. Hanya seorang bapak setengah baya yang mau mengantarkan aku, itupun dengan syarat aku di turunkan di gerbang desa.

Sesampai di gerbang desa, aku diturunkan dengan pesan jangan menengok ke pohon randu alas yang tumbuh di sebelah kanan gerbang desa. Katanya, ada hantu wanita hamil yang suka mengganggu orang lewat. Konon wanita itu mati gantung diri dengan selendang di pohon tersebut. Aku berjalan perlahan dan sesekali melirik pohon yang dimaksud, ternyata memang nggak ada apa-apa. Mungkin bapak ojek tadi hanya menakutiku.

Sepanjang jalan yang kulalui masih sangat sepi, mungkin karena memang belum waktunya warga bangun. Perjalanan dari terminal sampai ke desa ini mungkin memakan waktu sekitar dua jam, sudah sepantasnya kalau belum ada tanda kehidupan di sini. Aku merasa lelah sekali, anak dalam kandunganku menendang perutku. Kusandarkan tubuhku di tembok gerbang desa, dan mencari-cari tempat untuk duduk. Aku sudah memutuskan beristirahat sejenak sebelum meneruskan perjalanan.

Setelah kurasa lebih baik, aku mengangkat tasku dan berjalan perlahan. Terdengar suara anjing melolong di kejauhan juga suara burung gagak seakan mengikuti langkahku. Dari jauh kulihat sepasang lelaki dan perempuan berjalan mendekat ke arahku, aku bisa bertanya pada mereka. Dan sesampainya aku di depan mereka, aku beranikan diri untuk menyapa mereka.

"Maaf Pak, Bu, tahukah Bapak dan Ibu alamat ini?" tanyaku sambil menyodorkan alamat yang tertera di sampul surat yang mulai lusuh.

"Nyai Sentani? Kowe... Kowe ora kliru Nduk? Ada perlu apa kamu mencari Nyai Sentani? Pulanglah sebelum kamu dikecewakan!" kata Bapak tersebut melototkan matanya seakan ketakutan.

Aku benar-benar heran dengan tanggapan orang-orang di kota ini. Setiap mereka melihat alamat yang ku tuju, mereka menyuruhku pulang. Tapi tidak, aku tidak akan pulang tanpa Bli Nengah suamiku.

"Aku harus bertemu dengan beliau Pak! Suamiku bekerja di rumahnya, dan aku harus membawanya pulang ke Bali sebelum anakku lahir!" jawabku tanpa mengindahkan larangan mereka.

"Sak karepmu Nduk, aku cuma mengingatkan! Rumah Nyai Sentani ada di selatan desa. Kamu lurus saja mengikuti jalan ini, setelah melewati hutan jati kamu akan menemukan rumah besar. Di situlah rumah Nyai Sentani. Sekali lagi aku cuma mengingatkan lebih baik kamu pulang, tidak perlu mencari suamimu lagi. Tapi kalau kamu nekad ya mangga, kami tidak bisa mencegah. Ya wis ngono wae, ayo Bu kita ke sawah sekarang saja!" kata Bapak itu sambil menggamit lengan perempuan di sampingnya.

Aku menatap kepergian mereka, dan mulai melangkahkan kakiku ke arah yang ditunjuk. Matahari sudah muncul saat aku menemukan rumah yang dimaksud. Rumah berarsitektur Jawa kuna yang sangat besar di tengah-tengah pekarangan yang luas itu tampak lengang. Aku berteriak memanggil-manghil penghuni rumah, tapi tampaknya tidak ada yang mendengar. Sampai beberapa lama kemudian seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh mendatangiku.

"Kamu siapa? Darimana? Mau cari siapa?" tanya perempuan itu ketus.

"Aku Dewi, aku datang Mengwi, Tabanan, Bali. Aku kesini mencari Bli Nengah suamiku, katanya dia bekerja di sini!" jawabku takut-takut.

"Ooo begitu! Ya sudah kamu ikut aku, tapi ada peraturan yang kamu harus taati di sini dan kamu harus perhatikan baik-baik! Panggil aku Mbok Nah!" jawab perempuan singkat itu sambil membukakan pintu buatku.

Kami berjalan memutari pekarangan, sebenarnya aku heran mengapa tidak lewat pintu depan saja. Tapi sudahlah, aku mengikuti Mbok Nah menyusuri pekarangan hingga tiba-tiba dia menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu yang menghadap kolam ikan. Mbok Nah menatapku lekat-lekat dan berkata,"Dengar! Apapun yang terjadi kamu tidak boleh dekat-dekat dengan kamar ini! Ini kamar khusus Ndoro Sentani. Mengerti!" Aku mengangguk cepat dan segera mengikuti Mbok Nah yang menarik tanganku.

Aku di tempatkan di kamar paling belakang dari rumah ini. Dan Mbok Nah memberi tahukan apa yang boleh kulakukan dan apa yang tidak boleh. Sampai hari yang ke tujuh aku belum bertemu dengan Bli Nengah, sehari-harinya aku membantu Mbok Nah mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah ini sangat sepi waktu siang hari, hanya saja setiap malam tiba banyak tamu yang datang mencari Nyai Sentani. Para tamu itu di temui di pendhapa tengah. Tapi sekalipun aku bisa melihat wajah Nyai Sentani. Aku hanya melihat sosok nya dari belakang, seorang perempuan dengan badan yang sangat mempesona.

Malam ini malam bulan purnama saat aku berjalan-jalan di sekeliling pekarangan. Bulan tampak merah seperti darah, auman anjing dan suara burung gagak terdengar bersahut-sahutan. Yang mengherankanku, Mbok Nah menghilang sejak senja datang. Aku berjalan perlahan menuju kolam ikan yang di depan kamar Nyai Sentani. Ku pandangi ikan-ikan yang berenang tanpa lelah, tak seperti diriku yang sudah mulai lelah dengan hidupku sendiri.

Samar-samar terdengar suara mendesah dari kamar Nyai Sentani seakan ada pergumulan hebat di dalamnya. Awalnya aku tidak menghiraukan suara-suara itu, tapi lama-lama aku penasaran juga. Bukankah Nyai Sentani tidak mempunyai suami? Lalu dengan siapa dia bergumul? Dengan berjingkat-jingkat aku mendekati jendela kamar yang tertutup rapat. Aku mengintip dari lobang kecil di jendela tersebut. Astaga!!! Itu... Itu Bli Nengah suamiku yang bergumul penuh nafsu dengannya. Tapi... Tapi Nyai Sentani??? Tidak... Tidak mungkin!!!

Tiba-tiba jendela terbuka lebar seperti terkena dorongan angin. Aku semakin jelas melihat pergumulan antara suamiku dan Seekor ular besar berkepala Nyai Sentani. Aku semakin takut ketika wajah Nyai Sentani menghadap padaku dan menyeringai mengeluarkan lidahnya yang bercabang. Aku menjerit dan berlari kearah pagar depan, dan di depan pagar aku melihat Mbok Nah duduk membelakangiku. Ku guncangkan bahunya dan tergagap setelah melihat wajah Mbok Nah yang menyeringai. Wajahnya... Wajahnya serupa anjing pit bull yang tanpa gigi.

Sekali lagi aku menjerit dan berlari menjauhi rumah laknat itu. Ku ketatkan selendang yang melingkar di bahuku untuk mengusir dingin yang tiba-tiba menyergapku. Aku terus berlari tidak menghiraukan kiri kanan sampai tiba di gerbang desa. Kusandarkan tubuhku yang sangat letih di pohon randu alas, dan merenungi tiap detik waktu yang ku habiskan untuk mencari suamiku. Ternyata ini maksud orang-orang yang menyuruhku kembali pulang waktu mengetahui alamat yang ku tuju.

Aku menghela nafas panjang dan memejamkan mataku. Tapi saat aku membuka mata, aku terkesiap melihat ada perempuan hamil yang tergantung di dahan randu alas ini. Aku sudah lelah berlari dan menjerit, toh aku sudah melihat yang lebih seram dari sekedar hantu wanita hamil yang tergantung. Kupandangi wajah wanita itu, sepertinya aku mengenali wajah itu. Astaga!! Itu aku! Aku yang tergantung dipohon randu alas ini.

Bagaimana bisa? Aku ada disini dan yang tergantung itu? Sekelebatan aku melihat bayanganku yang menalikan selendang ke dahan pohon randu alas. Kemudian dengan susah payah aku naik ke atas dahan itu, mengalungkan ujung selendang satunya ke leherku sendiri dan melompat ke bawah hingga tergantung di pohon. Jadi aku.. Akulah hantu wanita hamil itu? Lalu mengapa aku takut dengan hantu-hantu yang lain? Aku tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kenyataan ini.

***

Aku berjalan keluar terminal Tirtonadi Solo, malam sudah menunjukan pukul sebelas dua puluh lima menit saat aku menyeret tas ku..

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam event Fiksi Horor dan Misteri group Fiksianan Community

#poeds 200916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun