Mohon tunggu...
Sapta Junaeri
Sapta Junaeri Mohon Tunggu... Mahasiswa - sjunaaathd

Mahasiswa UNIVERSITAS AIRLANGGA Program Studi D4 Teknologi Radiologi Pencitraan Fakultas Vokasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Sosial Para Pembela Tuhan dalam Menyikapi Paham Radikalisme Agama

1 Juli 2022   20:43 Diperbarui: 1 Juli 2022   20:50 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam Kajian Badan Litbang Kementerian Agama RI disebutkan bahwa berbagai peristiwa konflik sosial yang terjadi pada awalnya bukan konflik agama, tetapi banyak factor-faktor sosial yang sering terkait kemudian agama dibawa sebagai faktor legitimasi sekaligus untuk menutupi akar konflik yang sebenarnya (Mudzhar, 2004:13). 

Oleh sebab itu, isu agama menjadi sensitif untuk melakukan pembelaan diri dari kelompok-kelompok lain. Berbagai peristiwa Ketika terjadi penyerangan terhadap agama atau kelompok agama tertentu , orang-orang yang menyerang biasanya berargumentasi bahwa penyerangan itu mereka lakukan demi membela agama yang dianutnya (Sopamena, 2007:6).

Hasil penelitian Balitbang Kementerian Agama RI memandang bahwa akar masalah terjadinya konflik sosial di Indonesia dilatar belakangi oleh tiga hal. Pertama, adanya krisis di berbagai bidang yang terjadi beberapa tahun lalu. 

Selain menciptakan hilangnya kepercayaan sebagai masyarakat terhadap aparatur pemerintahan, birokrasi dan militer selama bertahun-tahun terlanjur melihatkan sikap yang kurang mendapat simpati sebagai masyarakat, juga memunculkan sikap saling curiga yang tinggi antar berbagai kelompok masyarakat. 

Kedua, akibat derasnya arus globalisasi informasi, berkembang pulah faham keagamaan yang semakin menciptakan eksklusivitas dan sensitifitas kepentingan kelompok. Ketiga, adanya kesenjangan sosial ekonomi politik. Kesenjangan ini mempermudah pengikut agama tersebut dalam arus persaingan, pertentangan, dan bahkan permusuhan antarkelompok (Mudzhar, 2004: 14-15).

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

  • Gerakan Radikalisme Agama Sebagai Pembuka Jalan Membela Tuhan

Kita memasuki zaman dimana mewarisi sebuah kebersamaan oleh semua umat manusia. Teologi dari semua agama mengatakan agama mereka sendirilah yang paling benar, sedangkan agama yang dianut oleh orang lain adalah agama yang salah atau menyimpang. Persis yang dikatakan oleh kaum teroris :"Kamilah yang paling benar dalam menjalankkan ibadah, dan yang lain (penentang kami) adalah kafir, sehingga sah untuk di lenyapkan!" Di titik inilah Charles Kimball mengatakan "when religion becomes evil". 

Kimbali memberi dua tanda yang menjadi penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat: Pertaama, adanya kalim-klaim kebenaran. Dimana klaim kebenaran ini menuntut akan kesetiaaan dan kesamaan interpretasi . perbedaan penafsiran,, apalagi dengan pemahaman keimanan, menyebabkan orang-orang yang berseberangan dengan pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang tersebut tercap kafir. Kedua, ada semangat minisionarisme yang militan serta menggunakan berbagai macam cara (sampai yang keji sekalipun) dalih menyelamatkan "orang-orang kafir yang berlumuran dosa" orang yang tidak sepaham dengannya diaanggap sebagai pendosa yang harus ditobatkan.

Agama merupakan sebuah peristiwa manusia yang mengajak kita kepada kesadaran yang paling luhur dalam jiwa manusia, namun anehnya hampir tidak ada satu agamapun yang tidak ikut bertanggung jawab akan kekerasan, perang, aniaya, tirani, penindasan. Maka tidak heran, jika agama menjadi motivasi untuk berperang, menganiaya sesama, membenarkan pendapat mereka sendiri atas yang lainnya, serta mengklaim diri mereka sebagai pemilik tunggal dari sebuah kebenaran. 

Peristiwa terorisme yang mengatasnamakan agama yang merupakan jalan membela tuhan sedang marak terjadi. Belakangan ini sungguh menjadi momentum yang baik sekaligus kritis bagi segenap umat beragama untuk berkaca. Agama (sejauh sebagai Lembaga atau sistem kepercayaan, praktik dan nilai) merupakan suatu fenomena empiris yang memiliki karakter sosio- historis, maka dari itu agama tentu menyisakan keberatan jika dimutlakkan. Mengapa? Karena hanya tuhan lah yang mutlak, dan bukan agamanya! Pewahyuan Tuhan memang mutlak, namun kemampuan manusia menangkapnya yang sangat terbatas, maka terbatas pulalah kemampuan manusia dalam menangkap misteri-Nya.

Manusia terlalu mengira bahwa syariat dan hukum agama merupakan tempat yang menyenangkan dalam kehadiran Tuhan di dunia. Manusia mengira kehebatan pusat-pusat keagamaan adalah tempat-tempat yang dikasihi Tuhan. Yang lebih menyesakkan lagi, manusia mengira fanatisme, radikalisme, jihad dan semacamnya identic dengan heroisme keimanan kepada sang pencipta-Nya. Sedangkan aktivitas egoistik pribadi, golongan, maupun kelompok yang kita bungkus dengan berbagai macam alasan suci,bahkan berbagi ayat-ayat suci dari firman tuhan seakan-akan bisa menyenangkan Tuhan. Lalu apakah kita pernah berfikir bahwa segala rencana dan tindakan tersebut dikasihi oleh tuhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun