Mohon tunggu...
Sapta Junaeri
Sapta Junaeri Mohon Tunggu... Mahasiswa - sjunaaathd

Mahasiswa UNIVERSITAS AIRLANGGA Program Studi D4 Teknologi Radiologi Pencitraan Fakultas Vokasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Sosial Para Pembela Tuhan dalam Menyikapi Paham Radikalisme Agama

1 Juli 2022   20:43 Diperbarui: 1 Juli 2022   20:50 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kedua, penolakan ini berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah keadaan secara radikal ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai- nilai tertentu, misalnya agama maupun ideologi lainnya. 

Ketiga, ada klaim kebenaran dan ideologi yang diyakininya sebagai sesuatu yang lebih unggul daripada lainnya. Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penaifan dan dan penegasan sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, harus ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional-agresif.

Haedar Nashir dalam disertasinya yang berjudul: islam syariat: Reproduksi Salafiyah ideologis di Indonesia (2007) mengatakan bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal Ketika meng intrumentalisasi keyakinannya. 

Pertama, kelompok yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntutan hukum agama. Kedua, kelompok yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktekkan agama serba mutlak dan kaku. 

Ketiga, kelompok yang tampil dengan ciri militan yang berhaluan keras, bahkan tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya. 

Ketika radikalisme agama dijadikan wadah pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, sementara barisan mereka dilingkupi oleh ambisi kekuasaan dan politik, bukan tidak  mungkin segala cara hingga yang paling ekstrim akan  dilakukan, bahkan dibingkai dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk menekan dan mengintimidasi siapapun yang dianggap berseberangan (Yunus, 2017: 94).

Membela agama dan pelbagai ajarannya sebenarnya sudah dilakukan oleh kaum farisi. Mereka merasa begitu sangat mencintai allah dan adat istiadat kaum Yahudi. Nilai-nilai agama yang telah yang diyakini selama berabad-abad dan termaktub dalam Taurat harus dibela mati- matian. Kaum Yahudi bagi mereka adalah mereka yang menjalankan semua ajaran yang terdapat dalam Kitab Taurat. Barang siapa yang menistakan Taurat harus di hukum, bahkan orang yang mengaku sebagai anak Allah sekalipun. Yesus harus disalib karena telah "mengobrak-abrik" praktek suci agama Yahudi. Sekali lagi, agama bagi mereka harga mati, yang harus dibela.

Charles Kimball (2004) pernah bertanya: "Is religion the problem?" jawabannya bisa "no" dan bisa "yes". Jawaban atas pertanyaan tersebut bergantung pada bagaimana pemahaman manusia makna dan kodrat agama. Di satu sisi, agama memberikan pemaknaan dalam hidup manusia. Tapi, disisi lain agama agama ternyata juga harus bersentuhan dengan berbagai macam persoalan seperti doktrin dan struktur kelembagaan yang menjadikan agama mempunyai dimensi sosial-politis sebagai sebuah organized religion. Seorang beragama bisa mengatakan bahwa yang salah (yang menyebabkan munculnya aneka tindakan radikalisme, kekerasan, dan terorisme) adalah orang yang tidak memaknai arti dari agamanya.

  • Konflik Sosial: Sebagai Gerakan Pembela Tuhan?

Konflik sosial merupakan gejala umum yang sering kita dapati di tengah-tengah masyarakat. Sejak memasuki era reformasi, banyak peristiwa sosial yang terjadi di Indonesia yang cenderung destruktif, baik dalam bentuk konflik suku, golongan, agama maupun publik. Sebagai contohnya saat peristiwa konflik sosial di Ambon, Poso, Sampit, Sukabumi, dan berbagai tempat lainnya. Jika dilihat dari aspek sosial budaya atau geografis, Indonesia adalah negara yang majemuk. 

Kemajemukan ini dapat dibagi dalam dua dimensi besar. Pertama, kemajemukan vertikal yang tergambar dalam struktur masyarakat yang memiliki perbedaan lapisan dan strata sosial antara lapisan atas dan lapisan bawah. Kedua, kemajemukan horizontal yang tergambar dari adanya kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan suku, agam, adat istiadat dan kedaerahan(letak geografis) dalam hal ini, peristiwa yang terjadi di atas termasuk ke dalam dimensi konflik horizontal.

Realitas kemajemukan menjadi potensi besar bagi bangsa Indonesia sekaligus potensi konflik dan kerawanan sosial sebab sangat rawan terjadinya pertentangan berbagai kepentingan diantara kelompok-kelompok yang berbeda. Beberapa peristiwa muncul dan bergejolak karena adanya pertentangan dengan membawa SARA (Suku, Ras, dan Antar Golongan) sehingga dengan cepat menyebar menjadi konflik sosial yang menegangkan dan meresahkan, dan agama menjadi salah satu isu yang sangat sensitif dalam masyarakat yang majemuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun