Saat ini, banyak layanan publik bergantung pada sistem yang dibangun pihak ketiga yaitu vendor swasta, perusahaan teknologi, bahkan platform internasional. Pertanyaannya, siapa yang menjamin data pribadi warga dikelola dengan aman dan digunakan hanya untuk kepentingan pelayanan publik? Tanpa regulasi dan audit independen, digitalisasi bisa berubah menjadi outsourcing data warga negara ke pihak yang tidak sepenuhnya diawasi.
Selain itu, desain layanan digital kerap tidak memperhitungkan pengalaman pengguna. Antrean online memangkas waktu tunggu, tetapi juga memunculkan biaya baru. Warga harus membeli kuota internet, mempelajari alur registrasi daring, hingga menunggu kode OTP yang kadang tidak masuk. Bagi kelas menengah perkotaan, ini bisa dianggap wajar. Namun bagi keluarga miskin atau masyarakat di wilayah blank spot, biaya transaksi ini terasa berat dan bisa membuat mereka justru mengurungkan niat mengurus layanan.
Di sisi lain, ukuran keberhasilan digitalisasi yang dipakai pemerintah masih berfokus pada kuantitas, berapa aplikasi yang dibuat, berapa layanan yang terdigitalisasi, atau berapa banyak instansi yang terhubung dalam MPP Digital. Padahal, ukuran yang lebih substantif adalah: siapa yang benar-benar terlayani? Apakah warga penyandang disabilitas bisa mengakses layanan dengan mudah? Apakah orang tua di desa terpencil bisa mengurus akta kelahiran tanpa harus menitip pada calo?
Kebijakan publik yang berkeadilan digital seharusnya memasukkan indikator inklusi sebagai ukuran keberhasilan. Misalnya, tingkat kepuasan warga dari kelompok rentan, tingkat aksesibilitas layanan bagi disabilitas, atau proporsi warga pedesaan yang berhasil memanfaatkan layanan daring. Dengan indikator ini, pemerintah bisa menilai bukan hanya "berapa banyak aplikasi," melainkan "siapa yang tertinggal."
Akhirnya, digitalisasi pelayanan publik adalah soal demokrasi, bagaimana negara memastikan setiap warga, tanpa kecuali, memiliki akses yang sama terhadap hak-hak administratifnya. Bukan hanya mereka yang memiliki ponsel canggih dan literasi digital tinggi, tetapi juga mereka yang selama ini jauh dari pusat kekuasaan.
Digitalisasi pelayanan publik memang tak terelakkan. Ia adalah keniscayaan di era di mana teknologi menjadi infrastruktur dasar kehidupan modern. Namun, transformasi digital tidak boleh berhenti pada tataran simbolis sekadar meluncurkan aplikasi, menampilkan dashboard interaktif, atau meresmikan MPP Digital.
Yang lebih penting adalah mengukur siapa yang benar-benar terlayani. Untuk itu, ada tiga langkah mendesak: pertama, menjadikan inklusi sebagai indikator utama keberhasilan layanan digital. Kedua, memperkuat kapasitas birokrasi lokal agar siap mengoperasikan sistem digital secara berkelanjutan. Ketiga, mengatur tata kelola data publik dengan tegas untuk menjamin keamanan, kedaulatan, dan akuntabilitas.
Digitalisasi pelayanan publik hanya akan bermakna jika ia menjembatani, bukan memperlebar, kesenjangan antara warga negara dan negara. Pada akhirnya, keberhasilan digitalisasi bukan terletak pada banyaknya aplikasi, melainkan pada jawaban sederhana: apakah setiap warga merasa benar-benar terlayani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI