Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dana 200 Triliun Ke Bank: Stimulus Ekonomi atau Perangkap Oligarki Finansial?

12 September 2025   15:44 Diperbarui: 12 September 2025   15:44 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi digital bertema ekonomi menampilkan hubungan erat antara uang dan negara . (Foto: Idisign)

Keputusan Kementerian Keuangan menempatkan dana sekitar Rp200 triliun di perbankan nasional menuai polemik. Langkah ini diklaim sebagai strategi menjaga stabilitas likuiditas, memperkuat daya tahan sistem keuangan, sekaligus mendorong pertumbuhan kredit bagi sektor riil. Namun, di balik narasi resmi itu, muncul pertanyaan yang mengelitik apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan publik, atau justru mempertebal dominasi oligarki finansial yang selama ini mengendalikan denyut ekonomi Indonesia?

Kebijakan injeksi dana ke perbankan bukan hal baru. Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah pernah menyalurkan dana ratusan triliun ke bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dengan tujuan mempercepat penyaluran kredit kepada UMKM dan dunia usaha. Sayangnya, evaluasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kala itu menemukan penyaluran dana tidak sepenuhnya mengalir ke sektor prioritas, bahkan sebagian besar parkir di obligasi dan instrumen investasi yang lebih aman bagi bank. Fakta ini menimbulkan keraguan apakah kali ini pola serupa akan terulang?

Likuiditas untuk Siapa?

Jika ditelisik, dana Rp200 triliun yang ditaruh di bank-bank besar secara teori bisa memperlonggar likuiditas, sehingga bank terdorong menyalurkan kredit ke dunia usaha. Namun realitas di lapangan menunjukkan tantangan berbeda. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2025 mencatat loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional justru relatif longgar di angka 82 persen, artinya bank masih memiliki ruang likuiditas. Masalahnya bukan semata ketersediaan dana, melainkan rendahnya permintaan kredit dari sektor riil yang masih dihantui ketidakpastian global, pelemahan daya beli, dan rendahnya kepastian hukum usaha.

Sektor UMKM yang mestinya menjadi prioritas juga menghadapi kendala besar. Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, baru sekitar 21 persen UMKM yang benar-benar terhubung dengan layanan pembiayaan formal. Sisanya bergantung pada pinjaman informal atau rentenir. Alasan klasik perbankan adalah masalah agunan dan tingginya risiko gagal bayar. Dalam kondisi seperti ini, penempatan dana pemerintah di bank tanpa mekanisme pengawasan yang ketat berpotensi hanya akan mempertebal likuiditas bank besar, bukan mendorong kredit ke sektor yang membutuhkan.

Celakanya, konsentrasi perbankan Indonesia sangat timpang. Empat bank Himbara menguasai hampir 45 persen aset perbankan nasional. Bank swasta besar, seperti BCA atau CIMB Niaga, juga punya dominasi kuat. Maka, ketika dana Rp200 triliun digelontorkan, sebagian besar akan berputar di lingkaran bank-bank raksasa yang sudah mapan. Ini menimbulkan risiko crowding out effect, di mana bank kecil dan lembaga keuangan mikro justru makin tersisih, sementara pelaku UMKM tetap kesulitan mengakses pembiayaan murah.

Dengan kata lain, publik berhak bertanya,  likuiditas ini sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk menggerakkan sektor produktif dan membuka lapangan kerja, atau sekadar memperkokoh oligarki finansial yang makin sulit disentuh regulasi?

Transparansi, Arah Kredit, dan Pengawasan Publik

Polemik Rp200 triliun ini seharusnya tidak berakhir pada pro-kontra politis semata, tetapi ditarik ke ranah kebijakan publik yang rasional. Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian serius jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan kebijakan ini sebagai stimulus, bukan jebakan oligarki.

Pertama, transparansi penggunaan dana. Pemerintah wajib membuka secara periodik laporan pemanfaatan dana tersebut: bank penerima, penyaluran kredit, hingga sektor yang dituju. Selama ini, laporan-laporan cenderung berhenti di tataran agregat dan sulit diakses publik. Padahal, keterbukaan data adalah kunci agar masyarakat bisa menilai efektivitas kebijakan.

Kedua, arah kredit harus jelas. Dana Rp200 triliun ini semestinya difokuskan untuk sektor-sektor produktif, terutama UMKM, industri kecil-menengah, pertanian, dan energi terbarukan. Jangan sampai dana justru mengalir ke sektor konsumtif atau instrumen keuangan berisiko rendah yang hanya menguntungkan bank. Pemerintah bisa menetapkan klausul dalam perjanjian penempatan dana, misalnya minimal 70 persen harus disalurkan ke kredit UMKM dengan bunga terjangkau.

Ketiga, pengawasan publik dan lembaga independen. BPK, OJK, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dilibatkan secara aktif dalam memantau penyaluran dana. Pengalaman masa lalu menunjukkan adanya kecenderungan bank menyalurkan kredit ke kelompok usaha besar yang sudah mapan atau bahkan terkait dengan jaringan oligarki politik-ekonomi. Tanpa mekanisme kontrol ketat, kebijakan ini bisa menjadi pintu baru bagi praktik rente.

Selain itu, pemerintah daerah juga seharusnya dilibatkan dalam mekanisme distribusi kredit. Sebab, kebutuhan pembiayaan tiap daerah berbeda. Data Bappenas menunjukkan, masih ada ketimpangan akses pembiayaan antara Jawa dan luar Jawa, di mana 70 persen lebih kredit nasional terkonsentrasi di Jawa. Maka, keberpihakan pada daerah yang tertinggal harus menjadi bagian dari desain kebijakan.

Pada akhirnya, pertaruhan Rp200 triliun ini bukan semata soal angka, melainkan tentang arah keberpihakan negara. Apakah dana publik benar-benar dikelola untuk menggerakkan sektor riil dan menyejahterakan rakyat, atau justru menjadi instrumen yang memperkokoh oligarki finansial?

Sejarah panjang ekonomi Indonesia menunjukkan, oligarki sering kali bertransformasi mengikuti zaman. Jika dulu mereka menguasai sumber daya alam, kini mereka merambah sektor finansial dan digital. Maka, kebijakan pemerintah yang tampak teknokratis sekalipun harus dikritisi: siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana dampak jangka panjangnya.

Kebijakan penempatan dana besar di perbankan bisa menjadi peluang, tapi juga jebakan. Peluang jika diarahkan secara transparan, adil, dan berpihak pada sektor produktif. Jebakan jika hanya memperkuat segelintir bank besar dan kelompok oligarki. Publik berhak menuntut agar setiap rupiah dari Rp200 triliun itu memberi manfaat nyata: membuka lapangan kerja, mengurangi ketimpangan, dan membangun fondasi ekonomi yang lebih inklusif.

Tanpa itu semua, kebijakan ini hanya akan menjadi catatan lain tentang bagaimana uang rakyat kembali berputar di lingkaran elite finansial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun