Pergantian Menteri Keuangan selalu menghadirkan euforia. Harapan publik membubung tinggi, terlebih ketika Menteri Keuangan baru langsung menegaskan target ambisius, mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen per tahun. Janji ini tentu memikat, apalagi di tengah keresahan masyarakat akibat harga pangan yang fluktuatif, daya beli yang melemah, dan ancaman ketidakpastian global yang terus menghantui.
Namun, setiap ambisi harus ditimbang dengan realita. Pertumbuhan bukan sekadar angka yang menghias laporan tahunan, melainkan refleksi nyata dari denyut ekonomi rakyat. Pertanyaan mendasarnya apakah target 6 persen realistis, dan untuk siapa pertumbuhan itu diproyeksikan?
Pertumbuhan Menggembirakan, Tapi Masih Menyisakan Kesenjangan
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia pada Triwulan II 2025 tumbuh 5,12 persen (year-on-year). Angka ini naik dari 4,87 persen pada kuartal I 2025 dan sekaligus melampaui ekspektasi analis yang hanya memprediksi sekitar 4,8 persen. Secara kuartal-ke-kuartal (q-to-q), ekonomi tumbuh 4,04 persen, menandai performa kuartalan terbaik dalam dua tahun terakhir.
Pendorong utama pertumbuhan berasal dari konsumsi rumah tangga, yang tetap solid di kisaran 5 persen, ditopang oleh program bantuan tunai, subsidi transportasi, serta belanja menjelang tahun ajaran baru. Selain itu, investasi dan ekspor barang/jasa turut memberikan kontribusi positif.
Bank Indonesia merespons dengan langkah mengejutkan, menurunkan suku bunga acuan menjadi 5,00 persen, untuk mendukung ekspansi ekonomi dan menjaga momentum. Dari sisi moneter, ruang pelonggaran memang terbuka, karena inflasi relatif terkendali di level 3,2 persen (yoy), masih dalam target sasaran.
Namun, di balik optimisme itu, terdapat beberapa catatan krusial. Pertama, capaian 5,12 persen masih jauh dari target 6 persen yang dicanangkan. Untuk mengejar selisih hampir satu poin persentase, dibutuhkan akselerasi besar-besaran dalam belanja produktif, investasi padat karya, serta perbaikan iklim usaha. Kedua, pertumbuhan yang tercatat tidak otomatis berbanding lurus dengan pemerataan.
Rasio gini Indonesia masih bertahan di kisaran 0,38--0,40, menandakan jurang kaya miskin tetap lebar. Sektor-sektor padat modal seperti hilirisasi tambang dan energi memang tumbuh pesat, tetapi dampaknya pada penyerapan tenaga kerja relatif terbatas. Sebaliknya, kelompok rentan masih berhadapan dengan harga beras yang sempat menembus Rp14.500 per kilogram pada Agustus 2025, jauh di atas rata-rata tahun lalu.
Dengan kata lain, pertumbuhan 5 persen lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah-atas dan pelaku usaha besar, sementara masyarakat kecil masih tertekan oleh biaya hidup. Tanpa strategi inklusif, target 6 persen hanya akan menjadi prestasi statistik, bukan kesejahteraan nyata.
Kritik Konstruktif Dari Retorika ke Aksi Nyata