Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan optimisme bahwa ekonomi nasional bisa tumbuh di kisaran 6-6,7 persen pada 2025. Target ini jauh lebih tinggi dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang berada di kisaran 5 persen. Klaim ini tentu memberi harapan, terutama bagi masyarakat yang menunggu pemulihan pascapandemi, fluktuasi harga pangan, dan pelemahan daya beli. Namun, apakah ambisi tersebut sejalan dengan realitas fiskal dan kondisi global yang ada saat ini?
Data terbaru dari Kementerian Keuangan (Semester I 2025) memperlihatkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah mencapai Rp197 triliun atau 0,81 persen terhadap PDB. Angka ini meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2024. Pemerintah memang masih berada dalam batas aman, mengingat undang-undang memberi ruang hingga 3 persen. Akan tetapi, tren pelebaran defisit ini menimbulkan tanda tanya, sebab proyeksi akhir tahun menunjukkan defisit bisa mencapai Rp662 triliun atau 2,78 persen PDB, hampir menyentuh ambang batas.
Sementara itu, penerimaan negara baru mencapai Rp1.210,1 triliun atau 40,3 persen dari target APBN 2025. Artinya, masih ada gap besar yang harus dikejar di paruh kedua tahun ini. Di sisi belanja, pemerintah telah menggelontorkan Rp1.407,1 triliun atau 38,9 persen dari pagu tahunan. Beban terbesar berasal dari subsidi energi, bantuan sosial, serta stimulus pembangunan infrastruktur. Dengan komposisi seperti ini, ruang fiskal pemerintah jelas semakin sempit.
Jika dilihat lebih dalam, struktur belanja negara masih cenderung bersifat jangka pendek, subsidi energi untuk menjaga harga BBM tetap terjangkau, bantuan sosial untuk menopang konsumsi, serta infrastruktur fisik yang kadang lambat memberi multiplier effect. Padahal, untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan, belanja seharusnya lebih diarahkan pada sektor produktif seperti riset, pendidikan, kesehatan, serta teknologi.
Tantangan Global yang Menekan
Optimisme pemerintah tidak bisa dilepaskan dari realitas global. Sayangnya, konteks internasional justru memperlihatkan banyak awan gelap. Bank Dunia (Agustus 2025) memproyeksikan ekonomi global hanya tumbuh 2,4 persen pada tahun ini. Perlambatan ini dipicu oleh tingginya suku bunga global, konflik geopolitik yang terus berlangsung, serta melambatnya ekonomi Tiongkok mitra dagang utama Indonesia.
Bagi Indonesia, perlambatan global berarti ancaman pada ekspor, aliran modal, dan investasi asing. Misalnya, permintaan batu bara dan komoditas kelapa sawit cenderung melemah seiring turunnya pertumbuhan industri di Tiongkok dan India. Hal ini berpotensi menekan neraca perdagangan yang selama ini menjadi penyokong stabilitas ekonomi.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terus menunjukkan kerentanan. Data Bank Indonesia mencatat rupiah melemah sekitar 4,7 persen sepanjang 2025 terhadap dolar AS. Pelemahan ini bukan hanya angka statistik; ia berdampak langsung pada biaya impor, terutama energi dan pangan. Ketika harga impor naik, tekanan inflasi di dalam negeri ikut meningkat, dan ujungnya masyarakat menengah ke bawah yang paling merasakan.
Jika inflasi kembali merangkak naik, Bank Indonesia akan terpaksa mempertahankan atau bahkan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini mungkin menjaga stabilitas moneter, tetapi berpotensi menekan investasi dan pertumbuhan sektor riil. Dengan demikian, pemerintah menghadapi dilema: di satu sisi ingin mendorong akselerasi pertumbuhan, di sisi lain harus menjaga stabilitas makro di tengah gejolak global.
Menjaga Keseimbangan, Jalan Sulit Pemerintah