Keputusan Kementerian Keuangan menempatkan dana sekitar Rp200 triliun di perbankan nasional menuai polemik. Langkah ini diklaim sebagai strategi menjaga stabilitas likuiditas, memperkuat daya tahan sistem keuangan, sekaligus mendorong pertumbuhan kredit bagi sektor riil. Namun, di balik narasi resmi itu, muncul pertanyaan yang mengelitik apakah kebijakan ini benar-benar untuk kepentingan publik, atau justru mempertebal dominasi oligarki finansial yang selama ini mengendalikan denyut ekonomi Indonesia?
Kebijakan injeksi dana ke perbankan bukan hal baru. Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah pernah menyalurkan dana ratusan triliun ke bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dengan tujuan mempercepat penyaluran kredit kepada UMKM dan dunia usaha. Sayangnya, evaluasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kala itu menemukan penyaluran dana tidak sepenuhnya mengalir ke sektor prioritas, bahkan sebagian besar parkir di obligasi dan instrumen investasi yang lebih aman bagi bank. Fakta ini menimbulkan keraguan apakah kali ini pola serupa akan terulang?
Likuiditas untuk Siapa?
Jika ditelisik, dana Rp200 triliun yang ditaruh di bank-bank besar secara teori bisa memperlonggar likuiditas, sehingga bank terdorong menyalurkan kredit ke dunia usaha. Namun realitas di lapangan menunjukkan tantangan berbeda. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2025 mencatat loan to deposit ratio (LDR) perbankan nasional justru relatif longgar di angka 82 persen, artinya bank masih memiliki ruang likuiditas. Masalahnya bukan semata ketersediaan dana, melainkan rendahnya permintaan kredit dari sektor riil yang masih dihantui ketidakpastian global, pelemahan daya beli, dan rendahnya kepastian hukum usaha.
Sektor UMKM yang mestinya menjadi prioritas juga menghadapi kendala besar. Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, baru sekitar 21 persen UMKM yang benar-benar terhubung dengan layanan pembiayaan formal. Sisanya bergantung pada pinjaman informal atau rentenir. Alasan klasik perbankan adalah masalah agunan dan tingginya risiko gagal bayar. Dalam kondisi seperti ini, penempatan dana pemerintah di bank tanpa mekanisme pengawasan yang ketat berpotensi hanya akan mempertebal likuiditas bank besar, bukan mendorong kredit ke sektor yang membutuhkan.
Celakanya, konsentrasi perbankan Indonesia sangat timpang. Empat bank Himbara menguasai hampir 45 persen aset perbankan nasional. Bank swasta besar, seperti BCA atau CIMB Niaga, juga punya dominasi kuat. Maka, ketika dana Rp200 triliun digelontorkan, sebagian besar akan berputar di lingkaran bank-bank raksasa yang sudah mapan. Ini menimbulkan risiko crowding out effect, di mana bank kecil dan lembaga keuangan mikro justru makin tersisih, sementara pelaku UMKM tetap kesulitan mengakses pembiayaan murah.
Dengan kata lain, publik berhak bertanya, Â likuiditas ini sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk menggerakkan sektor produktif dan membuka lapangan kerja, atau sekadar memperkokoh oligarki finansial yang makin sulit disentuh regulasi?
Transparansi, Arah Kredit, dan Pengawasan Publik
Polemik Rp200 triliun ini seharusnya tidak berakhir pada pro-kontra politis semata, tetapi ditarik ke ranah kebijakan publik yang rasional. Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian serius jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan kebijakan ini sebagai stimulus, bukan jebakan oligarki.
Pertama, transparansi penggunaan dana. Pemerintah wajib membuka secara periodik laporan pemanfaatan dana tersebut: bank penerima, penyaluran kredit, hingga sektor yang dituju. Selama ini, laporan-laporan cenderung berhenti di tataran agregat dan sulit diakses publik. Padahal, keterbukaan data adalah kunci agar masyarakat bisa menilai efektivitas kebijakan.