Salah satu penyebab paling umum munculnya pajak tangguhan adalah penggunaan metode depresiasi yang berbeda antara laporan keuangan komersial dan laporan pajak. Dalam praktiknya, perusahaan sering kali menggunakan metode garis lurus (straight line method) untuk keperluan akuntansi, sementara untuk tujuan perpajakan, digunakan metode yang mempercepat depresiasi seperti saldo menurun ganda (double declining balance) atau metode lainnya yang diizinkan oleh regulasi perpajakan.
Perbedaan metode ini menyebabkan beban penyusutan yang diakui setiap tahun menjadi berbeda, sehingga memengaruhi jumlah laba yang dilaporkan. Sebagai contoh, jika beban depresiasi lebih besar di laporan pajak dibandingkan laporan akuntansi pada tahun-tahun awal, maka laba kena pajak akan lebih rendah dari laba akuntansi. Akibatnya, perusahaan akan membayar pajak lebih kecil pada awalnya, namun akan membayar lebih besar di periode mendatang ketika depresiasi fiskal menjadi lebih kecil. Kondisi ini menghasilkan liabilitas pajak tangguhan, karena di masa depan perusahaan akan menghadapi beban pajak tambahan.
2. Penyisihan Piutang Tak Tertagih
Perusahaan biasanya mencatat penyisihan piutang tak tertagih sebagai bentuk kehati-hatian dalam laporan keuangan. Akuntansi komersial berdasarkan PSAK memperbolehkan pencatatan beban penyisihan saat terdapat bukti objektif bahwa sebagian piutang mungkin tidak tertagih. Ini sesuai dengan prinsip konservatisme yang menghindari pengakuan pendapatan atau aset yang berlebihan.
Namun, dalam sistem perpajakan di Indonesia, pengakuan beban penyisihan piutang tidak langsung diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Peraturan pajak umumnya mengatur bahwa penghapusan piutang baru dapat dibebankan saat telah melalui proses tertentu, misalnya telah melewati jangka waktu tertentu, telah dilakukan penagihan maksimal, atau melalui proses hukum.
Perbedaan waktu pengakuan beban antara laporan komersial dan fiskal inilah yang menyebabkan timbulnya aset pajak tangguhan. Beban yang sudah diakui secara akuntansi namun belum diakui dalam perpajakan akan menjadi pengurang pajak di masa depan, sehingga menghasilkan potensi penghematan pajak di kemudian hari.
3. Penyisihan Kewajiban Pensiun
Penyisihan untuk kewajiban imbalan pascakerja (pensiun) juga menjadi penyebab munculnya pajak tangguhan. Dalam akuntansi komersial, perusahaan wajib mengakui beban pensiun sejak karyawan memberikan jasa yang menimbulkan kewajiban tersebut, meskipun pembayaran aktual baru dilakukan di masa depan. Hal ini sesuai dengan ketentuan PSAK 24 tentang Imbalan Kerja yang mewajibkan perusahaan untuk mencatat liabilitas dan beban imbalan kerja secara akrual berdasarkan estimasi aktuaria.
Sebaliknya, sistem perpajakan hanya memperbolehkan pengakuan beban pensiun sebagai pengurang penghasilan kena pajak saat pembayaran aktual dilakukan. Dengan kata lain, estimasi penyisihan pensiun yang dicatat dalam laporan keuangan tidak dapat langsung dikurangkan dari penghasilan kena pajak sebelum pembayaran benar-benar terjadi.
Perbedaan perlakuan ini mengakibatkan munculnya aset pajak tangguhan karena terdapat beban yang diakui secara komersial namun belum diakui secara fiskal. Ketika pembayaran pensiun aktual terjadi, beban tersebut baru dapat diakui untuk tujuan pajak, sehingga selisih ini akan terbalik di masa depan.