Mohon tunggu...
Sandrian Rachman
Sandrian Rachman Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Jakarta

Menelusuri dan menyelami dunia melalui membaca, kemudian menyalurkannya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Biarkan Mereka ke Barak, karena Pendidikan Karakter adalah Tanggung Jawab Bersama

19 Juli 2025   16:00 Diperbarui: 19 Juli 2025   16:01 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret guru sedang mengajar di kelas di SMAN 87 Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi

Lebih lanjut, Rista menjelaskan bahwa kedisiplinan gaya militer tidak selamanya harus dilihat sebagai sesuatu yang menyeramkan. Menurutnya, adanya rasa takut dalam menjadi disiplin adalah perlu, terlebih bagi kelompok anak “bermasalah” yang memang perlu didisiplinkan. “Kalau saya melihatnya ya, didikan militer yang no manja-manja justru sesuai untuk anak-anak seperti itu. Apalagi di militer itu kan tidak ada toleransi ya, ada aturan ini, jalankan! ikuti! taati! Untuk anak-anak yang memang sudah terbiasa melanggar aturan, ketegasan seperti itu perlu demi kebaikan mereka. Dengan mereka takut, mereka jadi taat.” jelasnya. 

Remaja perlu untuk dipantau, jangan terlalu dibebaskan. Meski begitu, alasan tersebut bukan berarti memperbolehkan gaya mendidik otoriter. Komunikasi antara orang tua dan anak tetap menjadi yang utama. Hal tersebut disampaikan oleh Siti Cholilah (44) yang menaruh perhatian pada pengaruh didikan orang tua terhadap karakter remaja. 

Dalam wawancara via telepon pada Senin (7/7/2025), Cholilah menyampaikan bahwa orang tua memiliki tanggung jawabnya sendiri dalam membentuk karakter anak. “Tentu orang tua juga harus ambil bagian ya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkan kepada guru di sekolah. Tugas mereka sebenarnya sudah terlalu banyak. Tidak mungkin mampu mengawasi setiap anak sepanjang waktu. Justru orang tua yang ambil bagian dalam mengajarkan adab kepada anak sejak kecil,” jelas Cholilah. 

Siti Cholilah paham bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan remaja melalui pengalamannya membesarkan kedua anaknya. Saat ini, ia fokus dengan anak keduanya yang duduk di bangku kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dari pengalamannya dengan anak pertamanya yang kini sudah berkuliah, Cholilah bercerita bagaimana pergaulan di sekitar anak akan memengaruhi karakter anak itu sendiri. 

Menurutnya, saat anak berprestasi, pergaulan yang baik akan tercipta dengan sendirinya. Anak yang berprestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, cenderung tidak memiliki waktu yang terbuang sia-sia. Waktu luang mereka diisi dengan belajar atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga pergaulan mereka akan dikelilingi oleh orang-orang yang serupa. 

Ramainya perbincangan publik tentang program pendidikan di barak militer juga datang dari kalangan siswa sendiri. Baihaqi Ahmad Rifail, siswa kelas 11 SMKN 18 Jakarta yang merupakan anak kedua dari Siti Cholilah sendiri mengatakan bahwa tidak salah jika memang perlu melibatkan pihak militer dalam mengajarkan kedisiplinan, terlebih dalam kasus-kasus tertentu seperti tawuran. “Gapapa sih kalo emang dirasa perlu. Karena kan di sekolah juga guru ngajarin disiplin tuh lebih ke arah teorinya. Kalau militer, apalagi di barak kan pasti praktik nyatanya. Jadi pasti ada dampaknya untuk mereka,” jelas Baihaqi saat diwawancarai pada Senin (7/7/2025). 

Potret guru sedang mengajar di kelas di SMAN 87 Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi
Potret guru sedang mengajar di kelas di SMAN 87 Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi

Pendapat berbeda disampaikan oleh Fatihah Az-Zahra (17), siswa kelas 12 SMAN 87 Jakarta. Melalui wawancara telepon dengannya pada Selasa (8/7/2025), Fatihah mempertanyakan metode mengajar ala militer yang mungkin saja tidak sesuai dengan gaya belajar beberapa siswa. “Aku juga bingung sih, kalau militer tuh kan gaya disiplinnya beda ya dengan guru, lebih strict, maksudnya kan gak semua dari kita cocok dengan gaya belajar begitu. Ada beberapa yang emang gak bisa dikerasin. Nah itu gimana?” jelasnya. 

Milano Sebastian (16) yang merupakan adik kelas Fatihah menyampaikan bahwa kita tidak bisa terlalu cepat menilai perilaku nakal yang dilakukan oleh para remaja. Menurutnya, perlu pemahaman menyeluruh sebelum menentukan dan mengambil tindakan terhadap kenakalan remaja. “Aku bilang sih ada banyak faktor kenapa mereka berperilaku seperti itu. Gak bisa hanya menilai mereka berdasarkan bagaimana mereka di sekolah. Faktor keluarga, bagaimana mereka di rumah, teman-teman mereka di luar, ada banyak yang perlu dilihat. Kita gak boleh gegabah,” jelasnya lewat wawancara telepon pada Senin (7/7/2025). 

Di tengah berbagai opini publik yang ada, apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi sebenarnya mencerminkan betapa gawatnya permasalahan kenakalan remaja di tengah masyarakat. Guru saja tidak cukup, kita tidak bisa menumpahkan kewajiban mendidik anak kepada sekolah sepenuhnya. 

Eti Ummi Fatiyah, guru MTsN 3 Jakarta, mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama berkolaborasi mendidik karakter anak. Ia menyampaikan bahwa mengajarkan budi pekerti kepada remaja dan menjaga mereka dari pergaulan yang salah adalah tanggung jawab semua pihak, baik guru, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun