Mohon tunggu...
Sandrian Rachman
Sandrian Rachman Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Jurnalistik UIN Jakarta

Menelusuri dan menyelami dunia melalui membaca, kemudian menyalurkannya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Biarkan Mereka ke Barak, karena Pendidikan Karakter adalah Tanggung Jawab Bersama

19 Juli 2025   16:00 Diperbarui: 19 Juli 2025   16:01 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Paskibra merupakan organisasi yang bersifat semi-militer. Di dalamnya, siswa ditanamkan nilai kedisiplinan. Sumber: dokumentasi pribadi

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer mengundang perhatian publik. Berbagai pro-kontra bermunculan. Salah satu kontra yang muncul dari berbagai narasi yang ada ialah kekhawatiran bahwa kedisiplinan yang diajarkan oleh militer berbeda dengan yang diajarkan oleh guru di sekolah, baik dari segi prinsip maupun pendekatan yang digunakan. Satu pertanyaan kemudian muncul: apakah kedisiplinan ala militer adalah solusi yang tepat terhadap masalah kenakalan remaja? 

Ada kriteria-kriteria tertentu terhadap mereka yang dikirim ke barak militer. Umumnya, mereka yang dikirim adalah remaja yang terlibat kegiatan negatif yang meresahkan, seperti tawuran dan balap motor liar. Siswa yang dianggap membuat onar di sekolah juga turut dikirim ke barak. Bahkan mereka yang kecanduan game online Mobile Legends juga termasuk ke dalam kriteria yang ada. 

Setiap orang memiliki pandangannya masing-masing dalam mendefinisikan dan mengategorikan kenakalan remaja. Ambarwati Tri Sandi misalnya, guru PPKN di SMPN 280 Jakarta mengatakan bahwa remaja bisa dikategorikan nakal saat yang ia lakukan sudah merugikan atau membahayakan orang lain. “Kalau buat ibu sendiri ya, nakal itu kalau sudah membahayakan orang lain sih, dan ngerugiin juga. Itu baru bisa tuh dikatakan sebagai nakal,” jelas Ambar saat diwawancarai lewat sambungan telepon pada Selasa (8/7/2025). 

Pandangan berbeda disampaikan oleh Eti Ummi Fatiyah. Guru mata pelajaran Al-Qur’an Hadits MTsN 3 Jakarta ini menyampaikan bahwa meski bertujuan spesifik menyasar kelompok anak-anak tertentu, pelabelan “nakal” berisiko berdampak buruk bagi psikologis anak. 

“Pelabelan ‘nakal’ untuk mereka itu sebenarnya gak bagus ya secara psikologis. Dengan kita mengatakan bahwa mereka itu nakal, mereka akan timbul pikiran, wah saya anak nakal ya. Pastinya itu berdampak jangka panjang bagi anak itu sendiri. Ya walaupun setiap anak berbeda sih ya, ada juga yang karena dicap nakal, dia kemudian sadar diri dan berubah jadi lebih baik, supaya gak nakal lagi.” jelasnya melalui wawancara telepon pada Selasa (15/7/2025).

Sekolah menjadi pihak utama yang ditugaskan dalam mendidik anak, baik secara akademik maupun karakter. Namun kenyataannya, penugasan yang diberikan kepada sekolah justru menghambat para guru dalam mendidik anak akibat regulasi yang malah membatasi mereka. 

Devi Permata Insani, guru matematika di SMAN 87 Jakarta menjelaskan bahwa selama ini yang ia lakukan sebagai guru hanyalah mengikuti aturan yang ada, yakni sebatas berkomunikasi dan melalui persuasi. Metode tersebut menjadi sia-sia karena guru tidak diberikan keleluasaan dalam memberikan konsekuensi atas tindakan yang dilakukan oleh siswa. 

“Selama ini kan yang dilakukan adalah dengan mengajak bicara, berdiskusi dengan mereka. Kita nasihati baik-baik. Tapi apa jadinya itu kalau setiap mereka melakukan kesalahan, kita gak diizinkan memberikan konsekuensi? Yang ada siswa jadinya gak kapok. Nanti ada yang ngadu lah, apa lah. Padahal kan konsep adanya konsekuensi terhadap setiap perbuatan yang dilakukan itu penting dalam mengajarkan disiplin kepada mereka.” jelas Devi saat diwawancarai melalui telepon pada Rabu (9/7/2025). 

Pendapat senada disampaikan oleh guru PPKN SMAN 47 Jakarta, Rista Nababan. Selama puluhan tahun pengalamannya mengajar, ia melihat bahwa para guru hanya bisa menjadi “sapi ompong”

“Pembinaan sudah kami lakukan, tapi gak mempan. Kami selama ini hanya menjadi tegas, sebagaimana mestinya ya. Dan seperti itu pun sudah banyak yang komplain ke sana, ngadu ke sini. Sekolah sendiri pun juga dikekang oleh berbagai aturan yang ada. Akhirnya kami ya hanya bisa pasrah, karena mau berbuat apa juga kami gak bisa. Ujungnya guru jadi apatis. Ketika kami para guru sudah tidak bisa bertindak, mereka (siswa) jadi bebas berbuat seenaknya. Akhirnya mereka mengulang kenakalan mereka. Kami jadi semacam sapi ompong gitu loh,” jelasnya dalam wawancara telepon pada Senin (14/7/2025). 

Lebih lanjut, Rista menjelaskan bahwa kedisiplinan gaya militer tidak selamanya harus dilihat sebagai sesuatu yang menyeramkan. Menurutnya, adanya rasa takut dalam menjadi disiplin adalah perlu, terlebih bagi kelompok anak “bermasalah” yang memang perlu didisiplinkan. “Kalau saya melihatnya ya, didikan militer yang no manja-manja justru sesuai untuk anak-anak seperti itu. Apalagi di militer itu kan tidak ada toleransi ya, ada aturan ini, jalankan! ikuti! taati! Untuk anak-anak yang memang sudah terbiasa melanggar aturan, ketegasan seperti itu perlu demi kebaikan mereka. Dengan mereka takut, mereka jadi taat.” jelasnya. 

Remaja perlu untuk dipantau, jangan terlalu dibebaskan. Meski begitu, alasan tersebut bukan berarti memperbolehkan gaya mendidik otoriter. Komunikasi antara orang tua dan anak tetap menjadi yang utama. Hal tersebut disampaikan oleh Siti Cholilah (44) yang menaruh perhatian pada pengaruh didikan orang tua terhadap karakter remaja. 

Dalam wawancara via telepon pada Senin (7/7/2025), Cholilah menyampaikan bahwa orang tua memiliki tanggung jawabnya sendiri dalam membentuk karakter anak. “Tentu orang tua juga harus ambil bagian ya. Kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkan kepada guru di sekolah. Tugas mereka sebenarnya sudah terlalu banyak. Tidak mungkin mampu mengawasi setiap anak sepanjang waktu. Justru orang tua yang ambil bagian dalam mengajarkan adab kepada anak sejak kecil,” jelas Cholilah. 

Siti Cholilah paham bagaimana seharusnya berkomunikasi dengan remaja melalui pengalamannya membesarkan kedua anaknya. Saat ini, ia fokus dengan anak keduanya yang duduk di bangku kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dari pengalamannya dengan anak pertamanya yang kini sudah berkuliah, Cholilah bercerita bagaimana pergaulan di sekitar anak akan memengaruhi karakter anak itu sendiri. 

Menurutnya, saat anak berprestasi, pergaulan yang baik akan tercipta dengan sendirinya. Anak yang berprestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik, cenderung tidak memiliki waktu yang terbuang sia-sia. Waktu luang mereka diisi dengan belajar atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga pergaulan mereka akan dikelilingi oleh orang-orang yang serupa. 

Ramainya perbincangan publik tentang program pendidikan di barak militer juga datang dari kalangan siswa sendiri. Baihaqi Ahmad Rifail, siswa kelas 11 SMKN 18 Jakarta yang merupakan anak kedua dari Siti Cholilah sendiri mengatakan bahwa tidak salah jika memang perlu melibatkan pihak militer dalam mengajarkan kedisiplinan, terlebih dalam kasus-kasus tertentu seperti tawuran. “Gapapa sih kalo emang dirasa perlu. Karena kan di sekolah juga guru ngajarin disiplin tuh lebih ke arah teorinya. Kalau militer, apalagi di barak kan pasti praktik nyatanya. Jadi pasti ada dampaknya untuk mereka,” jelas Baihaqi saat diwawancarai pada Senin (7/7/2025). 

Potret guru sedang mengajar di kelas di SMAN 87 Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi
Potret guru sedang mengajar di kelas di SMAN 87 Jakarta. Sumber: dokumentasi pribadi

Pendapat berbeda disampaikan oleh Fatihah Az-Zahra (17), siswa kelas 12 SMAN 87 Jakarta. Melalui wawancara telepon dengannya pada Selasa (8/7/2025), Fatihah mempertanyakan metode mengajar ala militer yang mungkin saja tidak sesuai dengan gaya belajar beberapa siswa. “Aku juga bingung sih, kalau militer tuh kan gaya disiplinnya beda ya dengan guru, lebih strict, maksudnya kan gak semua dari kita cocok dengan gaya belajar begitu. Ada beberapa yang emang gak bisa dikerasin. Nah itu gimana?” jelasnya. 

Milano Sebastian (16) yang merupakan adik kelas Fatihah menyampaikan bahwa kita tidak bisa terlalu cepat menilai perilaku nakal yang dilakukan oleh para remaja. Menurutnya, perlu pemahaman menyeluruh sebelum menentukan dan mengambil tindakan terhadap kenakalan remaja. “Aku bilang sih ada banyak faktor kenapa mereka berperilaku seperti itu. Gak bisa hanya menilai mereka berdasarkan bagaimana mereka di sekolah. Faktor keluarga, bagaimana mereka di rumah, teman-teman mereka di luar, ada banyak yang perlu dilihat. Kita gak boleh gegabah,” jelasnya lewat wawancara telepon pada Senin (7/7/2025). 

Di tengah berbagai opini publik yang ada, apa yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi sebenarnya mencerminkan betapa gawatnya permasalahan kenakalan remaja di tengah masyarakat. Guru saja tidak cukup, kita tidak bisa menumpahkan kewajiban mendidik anak kepada sekolah sepenuhnya. 

Eti Ummi Fatiyah, guru MTsN 3 Jakarta, mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama berkolaborasi mendidik karakter anak. Ia menyampaikan bahwa mengajarkan budi pekerti kepada remaja dan menjaga mereka dari pergaulan yang salah adalah tanggung jawab semua pihak, baik guru, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. 

“Ini masalah bersama, dan penyelesaiannya juga harus bersama. Karenanya kita butuh kolaborasi; bantuan dari pihak lain. Nah pelibatan militer ini mungkin salah satunya ya. Akan lebih baik kalau kolaborasi yang ada juga melibatkan lebih banyak pihak supaya hasilnya maksimal, misalnya psikolog. Yang pasti sih kolaborasi itu perlu waktu ya, karena kan banyak yang perlu dikoordinasikan. Karenanya kebijakan barak militer ini mungkin sebagai jangka pendek dan permulaannya aja.” simpul Eti di akhir wawancara. 

Sejak dilaksanakan pertama kali pada bulan Mei lalu, pengiriman siswa ke barak militer masih menjadi perbincangan publik hingga kini. Langkah cepat dan cekatan jelas perlu dilakukan, karena nyatanya selama ini pengambilan kebijakan memang selalu bertele-tele. Namun cepat saja tidak cukup. Solusi yang ada hendaknya benar-benar menyasar ke akar permasalahan. Generasi muda adalah masa depan negara. Segala kebijakan yang menyangkut mereka adalah investasi masa depan, penentu ke arah mana negara ini akan berjalan. Selain tidak boleh gegabah dalam menilai suatu program sebelum hasil nyatanya benar-benar terlihat, hendaknya setiap kebijakan baru, apalagi menyangkut pendidikan, dirumuskan dan disiapkan dengan matang. Dengan mendidik generasi muda yang baik, kita juga membangun negara dan bangsa yang lebih baik. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun