Kita sering kali merasa bingung memilih sikap yang tepat ketika berada dalam dua pilihan sikap yang beresiko. Apakah kita memilih berani atau berhati-hati? Apakah bekerja keras atau menikmati hidup?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam itu sebenarnya sudah lama dibahas oleh salah satu filsuf terbesar dunia, Aristoteles. Dia hidup lebih dari dua ribu tahun lalu, tetapi gagasannya tentang logika, etika, dan politik rasanya masih relevan hingga hari ini.
Kehidupan Singkat Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira, Yunani, tahun 384 SM. Sedari muda, dia sudah terbiasa dengan ilmu pengetahuan karena ayahnya adalah seorang tabib kerajaan. Pada usia 17 tahun, ia mendaftar dan masuk menjadi 'siswa' di Akademia milik Plato. Dia pun belajar di sana selama dua puluh tahun.
Setelah gurunya wafat, Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri yang dinamainya 'Lyceum'. Di sekolahnya itu, dia mengajarkan filsafat. Aristoteles sangatlah produktif. Sambils mengajar, dia menulis ratusan karya yang membahas berbagai bidang, mulai dari logika, biologi, hingga politik (Kenny, 2012: 47).
Hal menarik yang perlu kita ketahui adalah fakta sejarah bahwa Aristoteles juga pernah menjadi guru bagi Alexander Agung muda. Hal itu menunjukkan bilamana pemikiran Aristoteles tidak hanya berpengaruh dalam dunia filsafat tetapi juga pada jalannya sejarah dunia.
Ada sejumlah gagasan pokok Aristoteles yang perlu kita ketahui. Satu per satu, kita akan membahasnya.
Logika dan Ilmu Pengetahuan
Aristoteles dikenal sebagai bapak logika. Dia memperkenalkan metode berlogika yang kemudian dikenal dengan nama 'silogisme'. Apa itu silogisme? Sederhananya adalah teknik berpikir yang dilakukan dengan menarik kesimpulan dari dua premis yang koheren. Contohnya: semua manusia fana (premis mayor); Socrates adalah manusia (premis minor); maka Socrates fana (kesimpulan). Cara berpikir sederhana semacam itu yang menjadi fondasi cara kita bernalar hingga sekarang (Russell, 1945: 159).