Mohon tunggu...
Samuel Christopher
Samuel Christopher Mohon Tunggu... pelajar

pelajar

Selanjutnya

Tutup

Roman

Dari Ulat Bulu hinggas Bendera One Piece

16 September 2025   13:31 Diperbarui: 16 September 2025   13:41 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Fenomena ketakutan massal sering kali muncul di masyarakat ketika dihadapkan pada suatu persoalan yang sebenarnya tidak berbahaya. Artikel Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu karya F. Rahardi menegaskan bahwa ledakan populasi ulat bulu tidak seharusnya menimbulkan keresahan. Ulat bulu hanyalah bagian dari siklus alam yang justru dapat memberi manfaat bagi ekosistem, bahkan bagi kehidupan manusia. Dengan memandang ulat bulu sebagai ancaman, masyarakat menunjukkan kecenderungan untuk melarikan diri pada fobia, padahal permasalahan besar bangsa justru terletak pada kerusakan moralitas, kemiskinan, dan keserakahan elite.

Penulis menyampaikan gagasannya melalui pengalaman pribadi, fakta sejarah, serta penjelasan ilmiah tentang metamorfosis ulat. Penggambaran masyarakat masa lalu yang memanfaatkan pupa ulat sebagai sumber protein menegaskan bahwa persoalan ini hanyalah soal persepsi. Ulat bulu yang ditakuti pada akhirnya akan berubah menjadi kupu-kupu indah, sebuah simbol bahwa ketakutan kecil tidak layak dibesar-besarkan. Dengan cara ini, F. Rahardi berhasil mengarahkan pembaca agar tidak terjebak pada fobia massal, melainkan lebih jernih melihat persoalan yang sebenarnya menggerogoti bangsa.

Gambaran tersebut memberi pelajaran penting bahwa ketakutan massal bukan hanya soal psikologis, tetapi juga mencerminkan cara masyarakat dan pemimpin menghadapi masalah. Ketika rakyat takut pada ulat, para pemimpin pun larut dalam ketakutan politik---takut reshuffle, takut dimakzulkan, atau takut kehilangan kekuasaan. Akibatnya, perhatian tersedot pada hal-hal sepele, sementara permasalahan besar seperti korupsi dan krisis kepemimpinan dibiarkan terus berlangsung. Inilah peringatan bahwa bangsa yang sibuk dengan fobia kecil akan kehilangan kemampuan menghadapi tragedi besar.

Keterjebakan pada masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan sederhana juga tampak dalam editorial Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal yang dimuat Tempo. Kasus pagar laut di pesisir Banten diungkap sebagai contoh nyata lemahnya penegakan hukum. Padahal, persoalan ini semestinya tidak rumit karena pemasangan pagar bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer melibatkan banyak orang yang dapat dimintai keterangan. Namun, karena aparat dan kementerian saling melempar tanggung jawab, kasus yang seharusnya mudah diselesaikan justru berlarut-larut.

Penulis menyampaikan kritik dengan data konkret, mulai dari panjang pagar laut hingga dugaan keterlibatan proyek besar seperti PIK 2 Tropical Coasland. Dengan tegas diungkap bahwa ada kepentingan elite yang lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Ketidakjelasan ini memperlihatkan negara seolah kalah di hadapan pengusaha besar. Gaya kritik yang lugas memperlihatkan bahwa masalah pagar laut bukanlah persoalan bambu semata, melainkan simbol bobroknya tata kelola pemerintahan dan lemahnya keberanian menegakkan hukum.

Pesan yang lahir dari editorial tersebut jelas: negara tidak boleh tunduk pada kepentingan segelintir elite. Jika pemerintah tidak menyelesaikan kasus ini secara transparan dan adil, maka ketidakpercayaan publik akan semakin dalam. Seperti halnya fobia ulat bulu, pagar laut ilegal menunjukkan kecenderungan pemerintah mengabaikan hal esensial. Bedanya, kali ini taruhannya jauh lebih besar: konflik sosial, ketidakadilan tata ruang, dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada hukum.

Krisis yang ditimbulkan oleh lemahnya etika politik juga tergambar jelas dalam artikel Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati karya Budiman Tanuredjo. Artikel ini menyoroti bagaimana sumpah jabatan anggota DPR berubah menjadi formalitas tanpa makna. Revisi undang-undang yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi bukti nyata bahwa sumpah yang diucapkan hanya tinggal teks mati. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan bangsa bukan sekadar lemahnya hukum, melainkan juga lunturnya integritas moral para pemimpin.

Penulis menghadirkan perbandingan antara masa Reformasi 1998 dan kondisi politik saat ini, untuk menekankan bahwa cita-cita besar reformasi belum tercapai. Tuntutan memberantas korupsi, menegakkan supremasi hukum, dan memperjuangkan keadilan sosial masih relevan, tetapi tak kunjung terwujud. Dengan gaya reflektif, artikel ini memperlihatkan bahwa etika dan sumpah jabatan hanya menjadi ornamen yang hampa, karena para pemimpin gagal menjadikannya dasar dalam mengambil keputusan politik.

Akhirnya, ketiga artikel ini saling melengkapi dalam menggambarkan krisis bangsa: masyarakat yang terjebak dalam fobia kecil, pemerintah yang gagal menyelesaikan masalah hukum sederhana, dan elite politik yang kehilangan keteladanan moral. Ulat bulu yang dipandang sebagai bencana, pagar laut ilegal yang dipenuhi drama birokrasi, serta sumpah yang dilupakan menunjukkan benang merah persoalan yang sama, krisis kepercayaan. Tanpa keberanian untuk jujur, adil, dan berpegang pada etika, bangsa ini hanya akan terus menghadapi ketakutan semu sambil mengabaikan masalah besar yang sebenarnya mengancam masa depan.

Selain itu, pada masa sekarang kasus pengibaran bendera bergambar One Piece saat perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia 2024 menggambarkan persoalan kecil kembali dibesar-besarkan menjadi isu nasional. Dari sudut pandang substansi, masalah ini lebih mencerminkan kelalaian protokoler, bukan penghinaan terhadap negara. Namun, masyarakat terjebak pada fobia simbolis yang serupa dengan ketakutan berlebihan terhadap ulat bulu. Respons media dan elite politik memperkuat narasi dramatis dengan menekankan sisi kontroversial, alih-alih menyoroti akar persoalan seperti lemahnya pengawasan dan ketidakseriusan dalam menjaga wibawa perayaan kenegaraan. Ulasan atas kejadian ini menegaskan bahwa bangsa masih cenderung sibuk memperdebatkan simbol-simbol kecil sementara masalah pokok mulai dari korupsi anggaran, lemahnya penegakan hukum, hingga krisis keteladanan pemimpin terabaikan, persis seperti benang merah yang ditunjukkan ketiga artikel sebelumnya.

SUMBER:

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Roman Selengkapnya
    Lihat Roman Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun