Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hidup hanya sekali, Jangan menua tanpa karya dan Inspirasi !!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Persyaratan Ambang Batas Threshold Keadilan Publik dan Keadilan Politik

28 Juni 2023   03:57 Diperbarui: 3 Februari 2024   15:43 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ambang Batas Threshold. (sumber gambar: Perludem)

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi atau negara dengan prinsip berkedaulatan rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang dasar." Konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi di Indonesia diwujudkan melalui sistem perwakilan atau demokrasi tidak langsung, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Wakil-wakil rakyat tersebut bertanggung jawab dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dalam menentukan kebijakan.

Pada tahun 2024 Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum serentak, pemilihan umum serentak ini merupakan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggabungkan pemilihan umum untuk anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan pemilihan umum untuk eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan saat tahapan pemungutan suara dilakukan. Penyelenggaraan pemilihan umum serentak dilatarbelakangi oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan ini menyatakan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD harus diselenggarakan secara serentak.

Putusan tersebut merupakan hasil dari permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Effendi Gazali, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum serentak.

Menurut Effendi Gazali, putusan tersebut didasarkan pada original intent dari Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa pemilihan umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan secara serentak setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden dalam satu waktu yang sama. Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 oleh Effendi Gazali dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa untuk menentukan konstitusionalitas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, apakah bersamaan dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, setidaknya harus memperhatikan tiga pertimbangan utama sebagai berikut:

Hubungan sistem pemilihan umum dengan pilihan sistem pemerintahan presidensiil

Menurut Mahkamah Konstitusi, penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus terkait dengan struktur sistem pemerintahan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. Salah satu kesepakatan pokok yang dicapai dalam pembahasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang diselenggarakan setelah pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tahun 2004 dan 2009, terdapat fakta politik bahwa calon Presiden terpaksa melakukan negosiasi dan tawar-menawar politik dengan partai politik untuk memperoleh dukungan dalam upaya mencapai kemenangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta mendapatkan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan pemerintahan setelah terpilih.

Negosiasi dan tawar-menawar politik memiliki dampak yang signifikan terhadap kelancaran pemerintahan di masa depan. Namun, dalam kenyataannya, negosiasi dan tawar-menawar tersebut lebih bersifat taktis dan situasional daripada bersifat strategis dan berjangka panjang, terutama jika terdapat kesamaan dalam perjuangan jangka panjang partai politik. Akibatnya, Presiden dan Wakil Presiden sangat tergantung pada partai politik, yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat membatasi peran Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. 

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden harus mencegah terjadinya negosiasi dan tawar-menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan jangka pendek, melainkan menciptakan negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini akan lebih memungkinkan untuk penggabungan alami dan strategis antara partai politik, yang pada akhirnya akan lebih menjamin kestabilan partai politik. Dalam konteks ini, Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus diinterpretasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun