Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Laut dan Hal-hal yang Tampak Sederhana

4 Januari 2023   15:00 Diperbarui: 4 Januari 2023   15:02 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Gramedia.com

Bersampan dan memancing di tengah lautan rupa-rupanya bukan hanya untuk mendapatkan ikan, lalu untuk dimakan ataupun dijual. Tetapi juga demi memperoleh ketenangan batin. Mengarungi samudera yang luas berarti juga menyelami kedalaman diri.


Saya bukanlah seorang nelayan, orangtua saya pun tidak. Bahkan sekadar memancing di akhir pekan bukanlah hobi saya. Tetapi semua tentang laut yang luas dan membiru pekat, tak berpagar dan tak bersertifikat itu tampak begitu nyata di benak saya kala membaca novel "Lelaki Tua dan Laut" (The Old Man and The Sea, 1952) karya Ernest Hemingway, penulis asal Amerika Serikat.

Dulu, kira-kira waktu masih kelas 4 SD, saya pernah ikut mendiang om saya--Muhaddin namanya--bersampan tak jauh dari pantai desa Kombo, kecamatan Dampal Selatan, Tolitoli. Kata om saya waktu itu, "Kita pergi batonda-tonda." Ya, dari kata dasar "tonda" yang ditaruh imbuhan bahasa lokal "ba" yang semakna dengan imbuhan "ber" dalam versi baku, yang berarti menarik. "Batonda mobil" berarti menarik mobil, tentu harus dengan mobil juga.

Batonda-tonda dalam urusan memancing adalah mengulur senar sampai sekian puluh depa ke dalam laut. Senar itu sendiri digelantungi hingga ratusan mata pancing yang dipasang berjarak, kemudian sampan terus didayung atau didorong menggunakan mesin "ketinti".

Ada kode etik dalam memancing, kata mendiang om saya itu, paling utama adalah jangan ribut, jangan nyampah, dan jangan melanggar pantangan, pamali! Ah, apa pula urusan pamali? Katanya, laut punya penunggu yang tak suka terhadap hal-hal tertentu. Tak yakin, tetapi ketika berada di atas laut yang gelap dan jauh dari tepian, rasanya semua itu bisa jadi mungkin.

Begitulah kira-kira ibarat kisah saya bersama mendiang om, awalnya cerita novel itu, percakapan antara Santiago si Lelaki tua, dan seorang anak muda bernama Molino. Dulunya mereka itu sering memancing bersama. Namun, karena kehendak orangtua Molino membuat keduanya terpaksa memancing dengan perahu yang berbeda. Molino ikut ke perahu yang beruntung, setiap hari mendapat ikan.

"Lelaki tua itu pasti salao, nahas, (hal. 5)" begitulah kira-kira kata orang tua Molino saat 40 hari tak membawa pulang seekor ikanpun, sehingga anak itu meninggalkan Santiago, atas perintah orangtuanya.

Sementara, Santiago harus memancing sendiri. Lelaki tua itu semakin dilanda kesialan. Genap 84 hari ia melaut tak juga mendapatkan ikan. Bagi yang hanya menjadikan memancing sekadar hobi atau refreshing akhir pekan, tak dapat ikan tentu bukan persoalan yang berarti. Lagi apes aja! Lain halnya bagi orang yang memang pekerjaannya sebagai nelayan, tinggal di perkampungan para nelayan pulak. Tentu bukan hanya problem penghasilan, melainkan harga diri juga ikut menyertai.

Santiago kemudian diperbincangkan, diolok-olok, namun orang-orang di sekelilingnya masih bersikap ramah dan hormat kepadanya. Agaknya, hal ini turut mengganggu. Tetapi lelaki tua itu bukannya berang, malah tekadnya semakin kuat untuk membuktikan bahwa ia adalah lelaki--walaupun sudah tua tetapi--penakluk ikan yang lebih besar dari yang pernah ditangkap nelayan sekitar, lebih panjang dari ikan yang bisa dipikul oleh dua orang lelaki dewasa dengan terhuyung-huyung, seperti yang dilihatnya sehari sebelum ia benar-benar bertarung di tengah samudera.

Lelaki tua itupun turun melaut seorang diri saat fajar. Ia tidak kembali selama tiga hari. Untuk kesekian kalinya tidak ditemani Molino. Kesialan harus ditebus. Caranya, tidak lain lelaki tua itu harus menarik layarnya sampai jauh ke tengah. Tiga hari mengapung dan bertarung di lautan tanpa teman bukan perkara gampang, Santiago harus berbicara dengan dirinya sendiri, kemudian kepada laut, kepada burung-burung, kepada ikan, ubur-ubur, awan, gunung, perahu, bahkan singa-singa putih di tepi pantai yang dilihatnya dalam mimpi.

Justeru dengan kesendirian, sesungguhnya seseorang bisa menyelami kedalaman dirinya. Menariknya, Hemingway menyajikan bagian dialog (dengan cetak miring) lelaki tua dengan dirinya sendiri di hampir setiap halaman.

"Mungkin aku seharusnya tidak menjadi nelayan ... Tapi itulah alasannya mengapa aku dilahirkan...." (hal. 53).

Menyelami kedalaman diri dan meraih kesadaran eksistensial adalah cara manusia menemukan makna hidup sebanyak-banyaknya. Santiago di tengah lautan tak seperti kita yang hidup didaratan yang ditopang dengan sarana teknologi yang canggih. Tentu banyak hal yang kita saksikan dan nikmati. Tetapi konsekuensinya, spiritualitas atau daya tahan jiwa kita tergerus oleh kebiasaan sehari-hari.

Mungkin ada yang melakukan survei kecil-kecilan,  di zaman ini, ketika seseorang baru bangun tidur, maka apa atau siapakah yang duluan bakal dicarinya? Berapa persenkah dari masing-masing jawaban ini: istri, anak, hewan piaraan, makanan, atau gawai? Kemungkinan besar mayoritas akan mencari gawai (harus dibuktikan dengan hasil survei).

Bisakah dalam sehari saja seseorang di zaman ini tidak memegang gawai?

Halnya dengan Santiago, tak ada teman bercakap, tak ada gawai, dan memikul malu selama 84 hari. Ditambah, harus bertarung selama 3 hari menghadapi ikan besar yang lebih panjang dari perahu yang digunakannya. Melalui cerita ini, Hemingway benar-benar mengisahkan kehidupan seorang nelayan, ternyata mereka punya dunia yang berbeda dengan manusia-manusia daratan.

Laut, ikan, penyu, ubur-ubur, burung-burung, awan, perahu, tidaklah seperti manusia yang bisa kita ajak bicara. Mereka punya cara bercerita sendiri. Sederhana dan mengikuti tabiat dan fungsi masing-masing. Nelayan harus punya pengetahuan tentang itu semua.

"Jika ada badai topan kau selalu melihat tanda-tandanya di laut. Mereka tak melihatnya di daratan karena mereka tidak tahu untuk apa melihatnya." (hal. 65).

Apakah maksud Hemingway bahwa manusia-manusia laut lebih intim dengan alam ketimbang manusia-manusia darat? Bisa jadi. Di darat, peradaban tumbuh begitu cepat, lajunya menyisakan gap-gap kepekaan dan kepedulian. Benda mati dan makhluk hidup di sekeliling kita seakan tak berbicara apa-apa jika kita terus saja terlena dengan kehidupan pribadi.

Sedemikian intens-nya kah perhatian kita terhadap benda-benda milik pribadi sehingga tidak lagi ada waktu untuk menengok ke kedalaman diri, ke alam semesta, dan kemudian kepada Tuhan (yang sesungguhnya, bukan Tuhan persepsi)?

Pertarungan adalah cara yang lain untuk mendapatkan hidup. Hemingway menunjukkan bahwa di laut, seorang nelayan seperti Santiago, lelaki tua itu adalah seorang petarung yang tangguh, dan para nelayan adalah orang-orang yang kesehariannya adalah bertarung.

Memang Hemingway sekadar mengisahkan bagaimana lelaki tua dan laut bertarung dengan ikan Marlin besar melebihi badan perahunya. Lelaki tua bernama Santiago itu luka-luka di tangan dan di punggung akibat sayatan senar pancing sebesar mata pensil, akibat bertarung dengan ikan raksasa itu. Santiago bertarung pula dengan hiu-hiu yang merampas ikannya sepanjang perjalanan pulang hingga menyisakan tulang utuh dan sedikit daging di bagian kepala Marlin tangkapannya. Tetapi belum seberapa, sebab lelaki tua itu tidak bertarung dengan badai di tengah laut. Mungkin kisah santiago ini akan lebih menarik jika pertarungan itu turut disajikan.

Sayangnya, lelaki tua dan laut tidak pula memuat tentang pertarungan antara nelayan dengan perusahaan korporasi, yang dengan limbanya mengusir ikan-ikan di perairan dekat, dan karenanya nelayan dipaksa mendayung jauh ke tengah. Sudah pasti nelayan kecil (yang perahunya tak bermesin) adalah yang paling dirugikan dalam hal ini.

Walau begitu, novel ini menggunakan bahasa yang ringan sehingga mudah dimengerti. Hemingway menyajikan novelnya tidak dengan bab-bab, hanya ada satu bab hingga akhir. Tetapi karena begitu, dan ceritanya yang memukau, pembaca semisal saya seolah enggan berhenti membacanya, disamping juga karena khawatir akan tidak nyambung jika bacaan dijeda.

Praktis dalam waktu tak sampai sehari (24 jam) novel ini berhasil saya khatamkan. Kebetulan juga  agak tipis, 143 halaman. Serta ukurannya yang mungil (ukurannya tak dicantumkan).

Novel ini adalah karya Hemingway yang kedelapan. Ditulis sewaktu ia berada di Havana, Cuba. Karya yang menghantarkan penggubahnya menjadi peraih nobel sastra tahun 1954, dan bebetapa penghargaan seperti hadiah Pulitzer 1953, dan juga Award of Merit Medal for Novel.

Ernest Hemingway, talentanya patut diakui. Jika pengarang-pengarang lain harus menyertakan kisah asmara (sebagian menyertakan yang vulgar) di dalam novelnya, ataukah sejarah, ataukah cerita bela diri, ataukah perang, ataukah mistik, ataukah politik, agar karya tidak membosankan di mata pembaca. Hemingway justru hanya memuat kisah antara si lelaki tua dan seorang anak muda.

Bahkan si lelaki tua dengan dirinya sendiri. Amazing!

***

Judul Buku: Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and The Sea)
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat
Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit: Cet I, Januari 2015
Tebal: 143 halaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun