Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Muhammad ala Hazleton

3 Januari 2023   07:47 Diperbarui: 3 Januari 2023   08:31 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pustaka Alvabet


Dr. Raghib Al-Sirjani sesungguhnya telah menulis sebuah buku tipis berjudul "Lasna fi Zaman Abrahah", bukan zaman Abrahah. Buku yang menganjurkan untuk membuang jauh-jauh imajinasi tentang keajaiban (yang bersifat supranatural) dimulai sejak zaman Nabi Muhammad (saw). Bahwa zaman ketika pasukan Abrahah diguyur batu-batu api dari langit merupakan akhir dari adanya intervensi kekuatan gaib dalam takdir manusia.

Sebuah tantangan tersendiri, sebab seorang nabi butuh mukjizat demi membuktikan kenabiannya. Lalu bagaimanakah membuktikan kenabian tanpa keajaiban sebagaimana mukjizat nabi-nabi terdahulu? Adakah umat yang jahiliah itu akan percaya?

Jalannya adalah dengan mengubah paradigma akan mukjizat atau keajaiban. Kemampuan berpikir dan bertindak rasional di antara segala bentuk irasionalitas di zamannya tentu adalah suatu keajaiban. Maka dari itu, mukjizat Muhammad adalah Al-Qur'an, yang letak keajaibannya adalah dengan percaya dirinya senantiasa menantang akal manusia untuk berpikir.

Mukjizat Al-Qur'an bersifat aqliyah (yang berhubungan dengan rasionalitas)--bukan hissiyah (bersifat fisik), demikian komentar Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya "Al-Itqan fi Ulumil Qur'an", cocok dengan Nabi Muhammad yang senantiasa berkutat dengan kerasionalan, atau hidup berdasarkan akal sehat.

Namun, sejarawan mainstream dari pihak sendiri kelihatannya masih mengarahkan sejarah Muhammad berdasarkan selipan unsur-unsur mistik. Dalam pengertian ini, Muhammad adalah tokoh sejarah yang kehendaknya diarahkan sepenuhnya oleh sang maha Gaib. Selalu ada intervensi supranatural pada setiap tindakan yang akan diwujudkannya. Akhirnya Muhammad dikesankan tak punya kehendak lebih selain menuruti wahyu belaka (salah satu dampak dari penafsiran secara terkstual akan dalil, "Wa maa yantiqu anil hawa ...").

Ada cara pandang lain, di sini saya mengajukan Lesley Hazleton yang menulis buku "The First Muslim: The Story of Muhammad", yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Alvabet menjadi "Pribadi Muhammad: Riwayat Hidup Sang Nabi dalam Bingkai Sejarah, Politik, Agama, dan Psikologi".

Testimoni pada halaman-halaman awal buku itu sudah memberikan bayangan, bahwa kelak Hazleton akan membuat Muhammad jauh dari kesan dikultuskan, atau diceritakan secara apologik sebagai manusia ilahi. Muhammad malah ditampilkan sebagai manusia pada umumnya yang bukan hanya berupaya maksimal memberdayakan akalnya, tetapi juga memang manusia yang punya insting (jika keberatan dengan istilah insting, maka boleh kita ganti dengan istilah fitrah dalam pengertian Muthahhari) yang tajam. Baik secara politik, strategi dan taktik berperang, maupun dalam hal seni memainkan emosi publik.

Cara pandang Hazleton sendiri dalam hal ini tampaknya sesuai dengan apa yang diyakini oleh Gadamer sebagai manusia modern (abad ke-20)--dengan segala cara pandangnya--yang memahami kehidupan di abad ke-7. Hazleton tidak hadir untuk merekonstruksi makna asli dari zaman itu, melainkan hadir untuk mempresentasikan peleburan horizon antara Hazleton dan zaman Muhammad. Jadilah buku itu mudah kita maklumi dalam imajinasi kita yang senantiasa menuntut kerasionalan ini.

Hazleton mengawali kisah Muhammad dengan dualitas identitas, yang juga merupakan perangainya. Muhammad kecil berasal dari suku Quraisy--suku paling terhormat kala itu--namun di sisi lain ia adalah anak yang tumbuh dalam kebiasaan-kebiasaan suku Badui, suku pinggiran yang kehidupannya cukup ekstrim (Muhammad disusui oleh Halimah As-Sa'diyah, di wilayah pedalaman suku Badui, Muhammad di tangannya selama 5 tahun). Dalam terang Hazleton, Muhammad adalah "bagian dari 'mereka' sekaligus bukan bagian dari 'mereka' (Quraisy)".

Dualitas ini juga yang akan menentukan perjalan Muhammad berikutnya hingga akhir hayat. Bahkan dualitas ini yang akan mendorong ciri utama ajaran yang dibawanya, yaitu kesetaraan, keadilan; membela kaum tertindas dan menentang segala bentuk kekuasaan berdasarkan superioritas kesukuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun