Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Agama Bukan Satu-satunya Penentu Moralitas dalam The Great Disruption

30 Desember 2022   18:27 Diperbarui: 30 Desember 2022   18:42 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Awal agustus 2018 silam, K.H. Cholil Nafis berpesan bahwa dakwah mesti mempertimbangkan kebutuhan mad'u atau orang yang didakwahi, baik dari segi geografis, sosiologis, maupun psikologis. Itu disampaikan di auditorium IAIN Palu dalam kegiatan Halaqah Dakwah. Bahwa dakwah membutuhkan pemetaan, bukan hanya terhadap sasaran dakwah, tetapi juga terhadap pelaku dakwah. Sehingga menghasilkan dakwah yang efektif dan tepat sasaran.

Sebuah pesan yang tidak sederhana sebenarnya, jauh lebih rumit dari yang dibayangkan. Beberapa mubaligh barangkali berpikir bahwa mengetahui kondisi objektif masyarakat sasaran dakwah cukup dengan melakukan apersepsi, misalnya wawancara non-formal dengan kepala desa, ataukah beberapa warga.

Lebih jauh, mengenali sasaran dakwah mestinya menggunakan data secara tertulis, misalnya hasil survei tertentu, atau data tertulis dari laporan pemerintah desa. Jika skala nasional, data yang dibutuhkan minimal dari BPS terkait ekonomi, karakter sosial, ataupun standar pengukuran yang lain.

Mengapa hal ini mesti dilakukan? Sebab jangan sampai subjek dakwah merasa dakwah selamanya akan efektif hanya dengan modal identifikasi sederhana. Dakwah adalah upaya menyeru kebaikan, menyampaikan ajaran Islam dengan pelbagai cara, supaya menimbulkan perubahan moral di kalangan masyarakat, sesuai dengan yang dicita-citakan Islam.

Misi dakwah meliputi dua hal, amar ma'ruf dan nahi munkar. Amar ma'ruf, atau menyampaikan kebaikan memiliki ketersediaan cara dan metode yang melimpah. Di antaranya dapat ditilik dari kisah-kisah dalam kitab suci Al-Qur'an, atau riwayat-riwayat hadis, serta sejarah Islam. Bentuk menyeru kebaikan nyaris tidak tersekat oleh zaman. Namun berbeda dengan nahi mungkar, mencegah kejahatan, itu jauh lebih rumit, bentuk-bentuknya mesti dikenali pada setiap zamannya.

Menyangkut kemungkaran, atau dalam bahasa yang lebih umum bisa disebut sebagai kejahatan, ada baiknya kita lihat kasusnya pada buku karya Francis Fukuyama "The Great Disruption", sebuah buku yang secara pragmatis mengungkapkan kehancuran besar tatanan sosial, kejahatan, serta upaya merekonstruksi tatanan sosial tersebut.

Mengapa buku ini saya ajukan terkait dengan pembicaraan dengan tema dakwah? Tidak lain karena adanya hal-hal yang patut mendapat perhatian. Dimulai dari kejahatan itu sendiri sebagai hal yang akan diberantas dalam proses berdakwah. Kejahatan ala Fukuyama memang lebih sempit, hanya meliputi kejahatan yang ril. Ia mengkongkritkannya dalam empat jenis:

Pertama, pembunuhan. Tentu kita tahu pembunuhan adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang baik disengaja maupun tidak. Pembunuhan mempersyaratkan adanya pembunuh dan yang dibunuh;

Kedua, kejahatan properti, yaitu meliputi tindakan yang menghasilkan kerugian atas hak milik. Misalnya perilaku mencuri, merampok, membegal, pengrusakan fasilitas umum (pemerkosaan mungkin termasuk di dalamnya, Fukuyama tak membicarakannya), dan lain sebagainya;

Ketiga, kejahatan kerah putih, atau kejahatan yang dilakukan oleh pekerja kantoran, atau mereka yang ruang kerjanya di dalam ruangan, dominan lebih mengandalkan softskill ketimbang hardskill, lebih kepada pikiran ketimbang tenaga fisik--Dibedakan dari kerah biru yang berarti buruh, pekerja kasar, atau orang-orang lapangan. Kejahatan kerah putih misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Keempat, kejahatan tanpa korban. Jenis ini, sepintas bukanlah kejahatan, namun keberadaannya cukup mengganggu. Lagipula jenis ini memiliki potensi untuk melukai tatanan sosial. Yaitu gelandangan, pengangguran, pengemis, tunawisma yang menghiasi pinggiran-pinggiran jalan perkotaan. Termasuk dalam kejahatan jenis ini adalah tulisan graviti, corat-coret di tembok sebagai ekspresi menggebu-gebu dari anak muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun