Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Nina Bobo Oh Nina Bobo

24 Oktober 2015   00:02 Diperbarui: 24 Oktober 2015   00:09 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki tua itu kini terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Dadanya terasa sesak untuk bernafas. Alat bantu asupan oksigen masih menempel dekat lubang hidungnya. Ia harus istirahat, benar-benar istirahat.

Lelaki tua itu kemarin waktu menanggung rasa rindu pada satu cucunya yang di seberang sana. Rindu yang teramat dalam. Hampir setengah tahun tak bertemu, semenjak cucunya yang perempuan itu berkumpul di rumahnya, saat usia baru sepuluh bulan.

Istrinya pernah bilang padanya,”Kapan-kapan kita menengok saja ke sana. Kasihan kalau dia yang harus ke sini. Lebih baik kita yang mengalah”

"Aku sudah tua.  Sudah enggan pergi jauh-jauh" balasnya kepada istri.

Suatu waktu, lelaki tua yang sudah usia kepala tujuh itu pernah meminta kepada anaknya pulang ke kampung halaman. “Cobalah diusahakan  beberapa hari saja. Pulanglah ke sini. Aku ingin sekali bertemu anakmu.”
“Bertemu?”
“Iya. Bertemu anakmu. Apa kurang keras suaraku!”

Perempuan itu sejenak terdiam dari percakapan lewat telepon genggamnya. Kemudian memberi jawaban, “Sepertinya belum bisa, untuk waktu dekat ini.”

Ia tahu, bagaimana cintanya lelaki tua itu terhadap cucunya. Namun , bukan hal mudah untuk memenuhi harapan itu. Berbagai hal harus dipertimbangkan.

Dan, beberapa kali, lelaki tua itu kembali mengungkapkan kerinduannya yang dalam. Hingga pikirannya hanya tertuju pada kehadiran si mungil dalam rumah keluarga besarnya.

Ada kegelisahan yang hinggap padanya. Sampai pada suatu waktu, kesehatannya menjadi terganggu. Hingga akhirnya harus dirujuk ke rumah sakit untuk rawat inap.

***
Enam bulan yang lalu.

Bayi sembilan bulan yang ada dalam bopongan itu menatap wajah lonjong kakeknya. Serasa berada dalam kedamaian setiap bersamanya. Lelaki tua itu mengerti, ia senyum. Dipintanya untuk segera memejamkan mata pada bayi itu. Pada bayi yang bermata bersih, yang sinarnya menembus hati saat beradu pandang.

“Bobo ya” Sesekali ia tiup dengan lembut mata bayi itu. Ia buat bibirnya menyerupai huruf ‘O’ dan menekankan sedikit udara keluar. “wus, wus”

Entah apa sebabnya, bayi perempuan itu menangis tak juga henti. Bulan masih separuh terlihat. Seperti tengah berjuang untuk menengok sang bayi. Desiran angin sesekali menerjang ranting dan daun, mencipta bunyi mengusik sepi. Memasuki setiap celah rumah, mengintai si mungil. Seakan ingin andil membantu lelaki tua itu menidurkan sang bayi.

Ibu bayi sudah membopongnya lama. Isaknya tak juga reda. Nenek pun turun tangan mengusap-usap kepala bayi yang masih tipis rambutnya.

Akhirnya, lelaki tua itu mendekat, mengulurkan kedua tangannya. Bayi itu berpindah ke dalam dekapannya. Dan sebentar kemudian ia tenang. Sang kakek, lamat-lamat bersenandung. Sebuah lagu pengantar tidur bagi sang cucu yang dikasihinya.

“Nina bobo oh nina bobo” Dan Lelaki tua itu melanjutkan lantumannya. “Kalau tidak bobo digigit nyamuk…”,

Sudah lebih dari dua puluh tahun. Rumah lelaki tua itu tak pernah lagi diramaikan tangis bayi dan bau minyak telon. Lelaki itu serasa menemukan suasana yang baru, kala anak perempuan satu-satunya, ibu bayi itu, datang dengan membawakan satu generasi penerusnya. Si cucu perempuan itu.

Sebuah rasa yang pernah ia dapat dulu, sewaktu ibu bayi itu lahir dari perut istrinya.

Bayi adalah kebahagiaan baginya. Bagi lelaki tua itu. Sebuah energi yang membarukan alam sadarnya, bahwa ada tanggung jawab yang menyertainya. Sebuah titipan Tuhan yang harus dijaga, diasup dengan kelembutan dan kasih sayang.

Ia merasa, kehadiran bayi didekatnya kini adalah cara paling bernilai memudakan jiwa. Mengisi kembali harapannya. Dan, mengencangkan doa-doa pada jeda waktunya.

“Ayah jadi ingat waktu kamu bayi” berkatalah dia pada ibu bayi itu yang ada di dekatnya.

“Kamu kerap menangis di tengah malam. Hampir setiap malam. Tak tahu, semua tak tahu mengapa demikian. Kamu, ayah emban ke luar rumah. Para tetangga sering terkejut dengan tangismu”

Sambil mengelus-elus pantat cucunya, ia kembali berkata. “Sampai umur mendekati dua tahun, kamu belum juga bisa berjalan. Terhitung terlambat dengan teman sebayamu.  Ayah dan ibumu sepakat mengikuti saran beberapa orang tua. Kamu diganti nama. Dan, selang waktu kemudian, kamu mulai menampakkan perbedaan. Akhirnya kamu bisa melangkah.”

Anak perempuannya hanya mendengarkan. Bibirnya ia rapatkan dengan sedikit ke dalam. Ia tatap anaknya yang mulai terbuai dalam ayunan kakeknya.

Bola mata lelaki tua itu bergerak ke arah kiri atas. Ia mengenang masa itu. “Betapa senangnya waktu itu. Ibumu sampai menetes air mata. Memamerkan kepada orang banyak bahwa kamu sudah bisa berjalan”

Sungguh, lelaki tua itu merasakan kebahagian yang tak terperi. Walau hanya beberapa hari berkumpul dengan anak dan cucunya itu. Baginya, tidak ada yang merepotkan untuk seorang cucu. Berapapun jumlah celana dan baju yang diompoli. Bukan alasan untuk menjadi jera menimang si kecil.

Ia sudah merasakan anugerah hadirnya bayi itu dihadapannya. Sendinya yang terasa mengering seperti telah diinjeksi pelumas. Matanya kembali penuh binar-binar, demikian pula pendengarannya, seakan awas menangkap bunyi dari kejauhan. Langkahnya pun sigap, tiap mendengar bayi itu menangis. Ia selalu terpanggil mendekat. Membopong dan mencium.
Ia menikmati aroma kulit bayi. Dan lelaki tua itu mendapat sebuah terapi yang tanpa ia sadari. Mengalihkan dari kesunyian karena sebayanya sedikit demi sedikit sudah ke alam kubur.

***
Tapi sesudahnya, rumah lelaki tua itu kini sepi. Kembali sepi seperti sebelum ada bayi di sana. Tak ada lagi tangis bayi, senyum dan ceceran pipis yang kerap kali merembas dari pakaian yang dikenakan lelaki itu.

Ia, lelaki tua itu rindu dengan suasana yang pernah didapat. Teramat rindu.

“Lina, Ayahmumu sakit. Sekarang lagi dirawat inap” kata istri lelaki tua itu menghubungi anak perempuannya.

“Sakit. Sakit apa Ibu?”
“Tekanan darahnya nggak normal, sesak nafas, gelisah. Dia selalu bilang kangen. Ingin sekali ketemu anakmu”

Perempuan yang tengah di seberang sana menarik nafas. Dihimpun olehnya kekuatan untuk menghadapi kabar itu.
“Ia kepikiran terus, sampai tekanan darahnya naik” lanjut ibu perempuan itu.

Tidak ada perkataan panjang yang bisa perempuan itu sampaikan lewat percakapan jarak jauhnya. “Aku doakan dari jauh, semoga  ayah cepat sembuh. Nanti bagaimanalah, biar bisa pulang.”

Perempuan, anak lelaki tua yang tengah terbaring sakit itu hanya bisa menahan diri. Menyembunyikan kenyataan yang tengah terjadi pada dirinya. Ia tak mau membebani pikiran orang tuanya, terlebih satu di antara mereka tengah sakit.

Ia pandangi semua di luar sana lewat kaca jendela. Asap masih pekat tak juga hilang menganggu kesehariannya. Sampai akhirnya, si kecil harus dilarikan ke rumah sakit karena gangguan saluran pernafasan.

Sudah tiga hari masa perawatannya. Sama dengan hari-hari kakeknya terbaring sakit di kejauhan sana.  (*)

 

 

_____Oenthoek Cacing-Bumi Cahyana, 23 Oktober 2015

 

 

Ilustrasi: liputan6.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun