Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Romantisisme untuk Mozaik Warteg

8 Desember 2010   18:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wis, jangan muluk, Bleh,” kata Damianus, salah seorang konsumen warteg. "Come what may and take the pain."

Dia memang paling bijak dalam segala soal menyangkut isu ekonomi. Ingat, “Damianus” lho, bukan demi anus. Kalau demi anus itu bunyi redaksi sumpah jabatan: Demi Anus aku bersumpah akan bla-bla-bla. Makanya pejabat-pejabat seantero negeri kadang berpolah seperti orang yang tak perlu begitu takut kepada Tuhan.

“Jangan muluk, Bleh. Setiap warga negara wajib membayar pajak. Lebih mending kita berdoa saja supaya pengusaha warteg mampu menghargai dirinya seperti Soichiro Honda,” tegas Mas Anus pula.

.

Ya. Betul juga. Tahun 1931 di kota kecil Hamamatsu, Soichiro muda, sang calon pembangun imperium otomotif Honda, ketika itu menjalankan bisnis Bengkel Art yang sedang maju pesat. Suatu pagi anak muda 25 tahun ini pergi ke halaman kantor pajak. Diambilnya selang lalu ia semprotkan air ledeng ke jendela lantai 2 di mana kepala kantor dan para staf pajak sedang bekerja.

"Hoi, bedebah pajak! Rasakan air ini biar dingin kepala ente-ente, he he he he. Biar kalian bisa berpikir cara cari uang sendiri, bukan cuma bisa ambil jatah orang lain saja, dasar tukang palak! Ha ha ha ha.” Lalu ia kabur dengan motornya sambil masih ketawa-tawa.


Honda tak takut sama sekali. Kepada adiknya ia berkata, “Jangan khawatir, aku sudah bayar pajak banyak. Aku ini pelanggan bagi mereka. Aku siram mereka karena mereka angkuh sok bergaya bos, padahal sudah dapat uang dari rajanya, yaitu para pelanggan seperti kita. Aih, betapa amat sangat lucu belaka muka orang-orang itu waktu basah kuyup.”

.

Semoga para wajib pajak punya sense of superiority seperti Honda. Termasuk pengusaha warteg jika pajak 10% itu betul-betul diterapkan per 1 Januari 2011 nanti. Hari ini, perimbangan suara pro-kontra jelas masih dimenangi kubu kontra--di tingkat akar rumput. Sedang pada meja pembahasan lain, tiada anus yang tahu ke mana isu ini bermuara. Namun peta butanya kira-kira seperti berikut. Bila para pihak ditanya haruskah pajak itu dikenakan(?), maka pemerintah provinsi menjawab: Ya. Namun para pengusaha menjawab kompak: Tai kucing. Sementara orang macam saya, yang energi keberpihakannya kepada mereka yang papa telah dikuras habis-habisan oleh konsumerisme, barangkali hanya akan menjawab dengan klise paling sering dikatakan, paling ambigu, dan paling tak ada gunanya untuk membenahi dunia yaitu: Mari kita kembalikan masalah ini kepada pribadi masing-masing.

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun