Mohon tunggu...
S. R. Wijaya
S. R. Wijaya Mohon Tunggu... Editor - Halah

poetically challenged

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Romantisisme untuk Mozaik Warteg

8 Desember 2010   18:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiga puluh lima ribu buah warteg berserakan di megapolitan Jabodetabek. Bagi petugas sensus, adalah tugas yang nyaris tak mungkin untuk mencari satu kelurahan di mana tak ada sebiji pun warteg dalam yurisdiksinya. Yurisdiksi. Seksi sekali diksi ini.

Yurisdiksi adalah ruangan imajiner di dalam kepala dan di atas kertas. Seperti warna, ia sebetulnya tak pernah ada. Ia cuma bayangan yang melingkupi imbal-balik hak dan kewajiban di suatu wilayah yang dihuni manusia. Sekali ia diciptakan, maka para pengemban kewenangan di suatu yurisdiksi, contohnya pemerintahan provinsi, terjalin ke dalam interaksi hak dan kewajiban dengan para penghuni yurisdiksi tersebut. Jika pemerintah daerah telah menunaikan kewajibannya untuk melanggengkan kemacetan dan banjir, maka pemerintah itu berhak memungut pajak-pajak dari warganya. Ya, memang seideal itulah cara kerjanya.

.

12916524481396419372
12916524481396419372
2

Masalahnya adalah: Sejarah selalu berisi persinggungan yurisdiksi. Tiap individu juga punya “yurisdiksi” masing-masing, Saudara-saudari. Ada klausula yang berbunyi “saya berhak menikmati keuntungan lebih setelah saya bekerja keras” di dalam diri seorang pengelola warteg, misalnya. Sayangnya wilayah kedaulatan tersebut bisa-bisa tertindih oleh yurisdiksi Pemprov DKI yang tengah berniat memungut pajak makanan 10% atas warung pinggir jalan beromset lebih dari Rp. 167.000,00 per hari.

.


12916526591208463896
12916526591208463896
3

“Cih. Semua tukang pungut pajak itu putus asa banget kali, deh. Cari-cari sumber pajak baru gara-gara duit pajak lama menguap ke mana-mana. Orang kecil macam aku begini yang jadi tumbalnya entar,” kata Mbak Sihh (dengan dua buah “h”), pemilik warteg di kawasan Rawajati.

Suaminya yang orang Minang pun menimpali, “Rokok bolehlah kau cukai banyak-banyak karena bikin rusak orang senagari. Awak 'ni pelayan publik sebenar-benar karena bikin makanan murah. Macam 'ni mau kau pajaki?? Cirik jawi.”

.

Apakah jagad perwartegan dan restoran kecil akan kolaps akibat pajak 10%? Barangkali tidak juga. Sejak dahulu pewirausaha Nusantara sudah terkenal sangat mahir beradaptasi dengan situasi terburuk yang diciptakan tiran-tiran se-ngehe apa pun. Sebetulnya konsumenlah satu-satunya pihak yang kelak paling terbebani jika aturan pemajakan baru itu akhirnya betul-betul berlaku. Selalu konsumen. Tak ada lagi martir paling legawa di muka bumi ini selain konsumen gurem: Buruh pabrik, satpam, loper koran, kasir swalayan, pengumpul troli, teknisi AC, montir mobil, tukang sol sepatu, bencong Prumpung, sopir pribadi, penyapu jalan, penyedot WC, office boy/girl, tukang parkir, kusir taksi, pilot becak, masinis ojeg, nahkoda bajaj, sampai penggali kubur, dan semua manusia yang “menikahi keadaan” dalam istilah Romo Manyun. Sebab tak pelak anggota masyarakat tersebut, para penyelenggara aktivitas urban yang menyamankan hidup Saudara-saudari sehari-hari, kelak terpukul paling keras oleh rencana kebijakan sang kumpeni. Selisih antara makan siang harian seharga 10.000 dan 11.000, yang berarti 30.000 rupiah sebulan, adalah sekotak susu termurah. Adalah nyawa bayi, dan biang kekhawatiran rutin para ibu. Entah harus berapa kali lagi pihak tak beruntung itu sakit hati atas keterbatasan daya belinya. Tapi persetan. Sejak dahulu sakit hati tak pernah dimasukkan sebagai biaya dalam anggaran kekuasaan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun