Mohon tunggu...
S Widjaja
S Widjaja Mohon Tunggu... lainnya -

Sharing ideas through writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Musashi: The Journey of A Warrior & The Book of Five Rings (16)

3 Mei 2016   23:05 Diperbarui: 2 Juni 2016   20:38 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Munisai seperti termenung. Tatapan matanya memandang kosong ke shoji yang terbuka – memerhatikan keadaan di luar. Tampak dedaunan berwarna merah yang mulai berguguran satu per satu, helai demi helai – hari ini, lebih banyak dari kemarin, ataupun hari-hari sebelumnya.

Sudah mulai musim gugur.

Seandainya dia bukan putraku. Seandainya saja dia anak seorangdaimyo, mungkin kehidupannya akan berubah. Aku tahu dia memiliki bakat dan potensi yang luar biasa. Dia juga sangat cerdas …

Ia menghela napas lalu memalingkan wajahnya menatap Dorin.

“Bennosuke …” katanya.

Dorin mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saat ini mereka berdua sedang duduk bersila di ruangan tempat ia biasa mengajarkan sejarah kepada Bennosuke. Munisai duduk di hadapannya sambil sesekali memandang ke luar. Siang hari di musim gugur, ketika hari menjelang sore, matahari akan terbenam lebih cepat dari musim sebelumnya.


Dorin menyadari kegundahan hati Munisai. Ia mengetahui Munisai memiliki harapan yang tinggi akan Bennosuke. Semenjak anak itu mampu memegang kuas dan mulai menggambar berbagai macam benda, Munisai sudah membanggakannya di hadapan Dorin. Padahal saat itu usia Bennosuke belum genap empat tahun.

Ia memuji Bennosuke sebagai anak yang cerdas dan berbakat.

“Aku ingin dia tidak menyesali kepergiannya dari rumah ini.” Munisai seperti berkata pada dirinya sendiri. “Aku ingin … dia tidak mau mengingat lagi segala hal yang ada ataupun pernah terjadi di rumah ini. Rumah ini sudah sepantasnya tidak lagi menjadi bagian hidupnya. Tidak lagi menjadi bagian masa lalunya.”

Dorin masih terdiam. Ia mengetahui hubungan yang tidak harmonis antara istri kedua Munisai – Yoshiko, dan Bennosuke membuat Munisai harus mengambil langkah ini. Tidak sedikit pun Yoshiko memperlihatkan perasaan suka kepada anak tirinya itu, boro-boro menyayanginya.

Munisai rupanya ingin Bennosuke fokus pada kehidupan barunya kelak. Jangan lagi ada hal apa pun dari masa lalu yang mengganggu anak itu – khususnya relasi Bennosuke dengan ibu tirinya.

“Kemelekatan pada kenangan masa lalu, pada hal-hal yang menyenangkan dan indah, merupakan suatu kebodohan. Apalagi pada hal-hal yang buruk dan menyakitkan. Terus mengingat sesuatu yang telah terjadi di masa lalu dan tidak akan dapat kembali lagi …” Ia membuka genggaman tangannya seolah-olah menunjukkan sesuatu pada Dorin. Sesuatu yang tampak bergerak-gerak di telapak tangan Munisai untuk kemudian terbang keluar ruangan.

Dorin terperangah melihatnya.

Lalat? Sejak kapan lalat itu ada dalam genggamannya?

Saat ini serangga tersebut memang tidak terlihat sebanyak waktu musim panas.

“Merupakan suatu kelemahan, sesuatu yang menghambat kemajuan orang untuk terus meningkatkan kemampuannya.”

Munisai menggerakkan tangan kirinya perlahan seolah menyapu lantai lalu menutup kepalannya. Ia kembali membuka genggaman tangannya itu di hadapan Dorin. Sekali lagi ada seekor lalat di telapak tangan yang terbuka itu, menggerak-gerakkan kaki-kaki dan tubuhnya sebentar, dan kemudian terbang keluar ruangan.

Dorin melirik tatami ruangan itu. Ada beberapa ekor lalat, tidak banyak, mungkin kurang dari lima ekor. Munisai mampu menangkapi lalat-lalat ini?

Gerakan tangan Munisai terkesan perlahan, lembut, seolah tanpa tenaga. Ia pun tidak melihat ke arah mana tangannya itu digerakkan. Ia seolah-olah tidak peduli dan melakukannya asal saja. Kenyataannya, ia sanggup menangkap lalat itu hidup-hidup! Ia tidak melihatnya namun mampu merasakan keberadaan serangga itu.

“Seperti dua ekor lalat itu. Kita bisa menangkap dua ekor lalat, tetapi lalat yang kedua tidaklah sama dengan lalat yang pertama. Lalat yang pertama telah terbang entah ke mana. Di luar sana, aku pun tidak mampu membedakan lalat yang pertama dengan yang kedua ataupun dengan lalat-lalat yang lain.” Munisai seperti tersenyum – namun nada suaranya terdengar getir. “Memikirkan masa lalu, mengingat-ingatnya, dan ingin meraihnya kembali – menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dikenang, tidak ada manfaatnya.”

Dorin menganggukkan kepalanya.

“Anda benar. Kita memang seharusnya ‘hidup’ di saat ini, sekarang.” Yang dimaksudkan oleh Dorin adalah menjalani keseharian, beraktivitas, berpikir, dan bertindak dengan berfokus pada saat ini. Jika lapar, makan. Jika mengantuk, tidur. Demikianlah salah satu falsafah sederhana yang dipelajarinya dari Zen. Kebanyakan orang memikirkan hal-hal lain di luar apa yang dihadapinya saat ini. Ketika sedang makan, seseorang berpikir tentang masalah-masalah yang lain. Ketika seseorang seharusnya beristirahat dan tidur, pikirannya melayang memikirkan banyak hal yang malah mengganggu dan meresahkan dirinya sehingga sewaktu terbangun keesokan harinya, orang itu malah merasa capek. Kurang tidur, begitu alasannya. Padahal semua itu berasal dari dirinya sendiri yang tidak bisa menikmati berkat yang ada saat ini. Saat ketika ia seharusnya bersyukur karena ia masih hidup dan diberikan kesempatan untuk menjalaninya.

Munisai tersenyum. “Memikirkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, kedua hal itu sama-sama tidak ada gunanya.”

Ia lalu melanjutkan, “Seperti yang Anda katakan barusan, kita memang seharusnya ‘hidup’ di saat ini. Hari ini, sekarang, waktu itulah yang sepatutnya kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Tak ada gunanya menyesali masa muda jika ketika berusia muda tidak melakukan hal-hal yang bermanfaat.”

Walaupun sepertinya ia sedang membahas masalah Zen dengan Dorin, sebenarnya Munisai menyampaikan pesan kepada biksu itu agar ia sungguh-sungguh membimbing Bennosuke untuk tidak menyia-nyiakan masa mudanya.

“Lebih banyak orang menyesali apa yang tidak mereka kerjakan di usia muda, ketimbang apa yang telah mereka lakukan di masa mudanya.”

Dorin sepenuhnya memahami perkataan Munisai.

“Aku tidak akan mengecewakan Anda. Aku akan membimbing Bennosuke sebaik-baiknya.”

“Terima kasih,” Munisai meletakkan kedua tangannya di atas pahanya lalu menundukkan kepalanya sedikit. “Baiklah kalau begitu, aku mohon diri.” Ia lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu.

Sepeninggal Munisai, Dorin memikirkan apa yang akan dilakukannya pada Bennosuke. Anak itu sudah mandiri dan boleh dibilang mampu mengerjakan segala macam tugas, pelajaran, ataupun pekerjaan yang bisa dituntaskan oleh bocah seusianya.

Ia tahu Munisai secara tidak langsung pernah menyinggung keinginannya pada Bennosuke agar bocah itu angkat kaki dari rumah ini.

Lalu, apa hubungannya dengan apa yang dibicarakannya barusan? Apa pun yang dikatakan Munisai tidak akan bisa membuat bocah itu melupakan masa lalunya, melupakan kenangan hidupnya ketika ia masih kecil, atau bahkan melupakan rumah ini – tempat ia dilahirkan dan dibesarkan hingga saat ini, seburuk apa pun hubungannya dengan ibu tirinya itu.

Berpikir demikian, Dorin menjadi termenung – persis Munisai beberapa saat yang lalu.

Aku yakin ia akan melakukan sesuatu pada Bennosuke untuk membuat bocah itu melupakan masa lalunya. Tetapi apa? Apa yang akan dilakukan Munisai?

Dorin tetap tidak mampu membaca ataupun menerka apa yang saat itu dipikirkan oleh Munisai.

-----

“Bennosuke,” panggil Munisai.

Ayah?Bocah yang sedang bermain dengan seekor kabutomushi (kumbang badak) itu menghentikan kegiatannya. Ia terkejut mendengar suara panggilan tersebut. Tidak biasanya Munisai mendatanginya ketika ia sedang bermain di pekarangan rumah. Ia menoleh dan

melihat Munisai berdiri dalam jarak beberapa langkah di belakangnya.

“Iya,” sahutnya meninggalkan kabutomushi itu lalu bergegas menghampiri ayahnya. Ia berdiri diam dengan kepala sedikit ditundukkan.

Munisai menatapnya dengan tajam. “Ikut aku,” katanya. Lalu ia berbalik dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.

Bennosuke melangkah dengan cepat mengikuti langkah-langkah panjang ayahnya. Mereka menuju dojo.

Saat itu suasana di dojo sangat sepi. Tidak ada kegiatan latihan pedang hari ini.

Munisai lalu mengambil posisi di tempat ia biasa duduk mengamati murid-muridnya berlatih. Ia lalu duduk bersila di tempat itu.

“Duduk,” perintahnya kepada Bennosuke.

Bocah itu segera duduk bersimpuh di hadapan ayahnya.

“Bagaimana pendapatmu mengenai murid-muridku?” tanya Munisai langsung tanpa berbasa-basi.

“Eh?” Bennosuke yang ditanya seperti itu menjadi terkejut dan tidak mampu menjawab. Apa maksud Ayah?

Munisai tahu Bennosuke suka membicarakan murid-muridnya dan mengkritik mereka di hadapan Dorin. Beberapa kali Munisai memergoki anak itu sedang berdiskusi dengan Dorin mengenai teknik pedang empat orang muridnya ‘yang itu’. Saking serunya, Bennosuke tidak menyadari ayahnya sudah berdiri cukup lama di belakangnya dan mendengar semua yang ia katakan. Munisai tentu saja memberi isyarat kepada Dorin agar tidak memberitahukan bocah itu mengenai kehadirannya di situ. Setelah ia merasa cukup mendengarkan apa yang dikatakan anaknya itu, Munisai segera bergegas meninggalkan kedua orang itu.

Begitulah yang terjadi, selama beberapa kali Munisai muncul dengan diam-diam dan mendengarkan Bennosuke membahas teknik berpedang empat orang muridnya ‘yang itu’ sampai akhirnya ia berkesimpulan apa yang dikatakan anak itu memang mengandung kebenaran.

Munisai mengakui pengamatan Bennosuke yang cukup tajam untuk seorang anak berusia delapan tahun. Ia bisa menduga kemampuan menganalisis Bennosuke berkembang pesat semenjak putranya itu secara teratur menyaksikan pertarungannya dengan para pendekar yang menantangnya.

Dibandingkan kemampuan bertarung mereka yang menjadi penantangku, kemampuan murid-muridku bisa dikatakan seperti orang yang baru belajar memegang pedang.

Namun demikian Munisai tidak memperlihatkan ekspresi apa pun di wajahnya. Saat ini ia memandang Bennosuke dengan tatapan mata seolah-olah menuntut bocah itu untuk menjelaskan apa yang telah dilakukannya – menilai kemampuan keempat orang muridnya ‘yang itu’.

“Bisakah kau mengalahkan salah seorang muridku? Kau bebas memilih siapa yang ingin kau jadikan lawan tandingmu.”

Pertanyaan Munisai yang tiba-tiba itu betul-betul mengejutkan Bennosuke.

Ayah! Apa maksudnya ini? Bennosuke tidak menjawab. Ia terus menundukkan kepalanya. Ia bermaksud menggelengkan kepalanya ketika …

“Jawab, Bennosuke!” Munisai berkata dengan keras.

Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berdiam diri sementara waktu. Ia harus memikirkan kata-kata yang tepat agar ayahnya mau mengubah keinginannya yang tidak masuk akal itu.

“Kalau kau memang memahami apa yang kaukatakan, dan kau memang bisa melakukannya, silakan buktikan.”

Bennosuke menatap ayahnya dengan bingung. Memangnya apa yang kukatakan? Aku tidak pernah mengatakannya pada Ayah!

Ia ingat betul selama ini ia hanya berdiskusi dengan Dorin – tidak pernah ia membahas masalah murid-murid ayahnya dengan orang lain. Dan ia percaya, Dorin tidak akan pernah mengatakan apa yang mereka bahas itu kepada ayahnya.

“Kaupilih salah satu muridku yang kau anggap paling payah. Bertarunglah dengannya,” kata Munisai seolah-olah mengingatkan Bennosuke akan apa yang barusan dikatakannya.

Bennosuke terkejut. Sepertinya Ayah serius ingin aku bertarung dengan salah seorang muridnya.

Apa yang ia lakukan sebenarnya hanyalah mengamati murid-murid ayahnya dan bermaksud mendiskusikannya dengan Dorin. Walaupun pada awalnya ia memiliki keinginan untuk melakukan latih tanding dengan mereka, toh akhirnya ia mengurungkan niatnya itu. Lagipula, bukankah hal itu juga penting baginya untuk memahami praktik teknik berpedang – bukannya sekadar teori?

Dibandingkan menilai kemampuan bertarung para penantang ayahnya, tentu saja lebih mudah menganalisis kemampuan berpedang murid-murid ayahnya.

Dia masih terdiam.

Aku memang pernah mengatakannya pada Paman Dorin kalau aku mampu mengalahkan beberapa orang dari murid-murid Ayah. Tetapi tidak sekarang, tidak hari ini, bahkan mungkin juga tidak tahun depan.

Bennosuke tidak bisa melaksanakan keinginan ayahnya.

Aku pasti kalah. Mau dilihat dari sisi apa pun – teknik berpedang, kecepatan, tenaga, apalagi jangkauan, aku pasti kalah jika aku benar-benar harus bertarung dengan salah seorang dari mereka.

Tetapi … bagaimana jika aku menang? Aku adalah putra Ayah, jadi tidak mengherankan jika mereka akan merasa sungkan ketika berduel denganku …

Ah, tidak, tidak mungkin. Aku yang sekarang masih terlalu lemah, terlalu kecil, dan terlalu pendek untuk menjadi lawan mereka. Biarpun mereka tidak mengeluarkan seluruh kemampuan mereka, aku yang sekarang tetap tidak akan mampu mengalahkan seorang pun dari empat orang murid ‘yang itu’.

Seperti mampu membaca pikiran Bennosuke, Munisai tahu putranya tidak ingin bertarung melawan salah seorang pun dari murid-muridnya – termasuk empat orang muridnya ‘yang itu’.

Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perkataannya.

“Bennosuke, melihat dan mengamati tidak sama dengan menjalaninya sendiri. Mungkin menurutmu mudah mengalahkan seseorang ketika kau melihat dia bertarung dengan lawannya. Kamu bisa menemukan banyak kelemahan yang ada pada dirinya saat itu. Karena kamu bisa melihat apa yang tidak bisa dia lihat.”

Bennosuke menundukkan kepalanya dan terus mendengarkan.

“Bertarung dengan murid-muridku yang terlatih menggunakan pedang berbeda sekali dengan apa yang kaulakukan terhadap Madajiro. Dia tidak menguasai teknik bertarung yang benar – bahkan teknik bertarung dengan tangan kosong sekalipun.” Munisai berdiam sejenak. “Ya, aku tahu kamu memahami situasi yang dihadapi seseorang saat bertarung sungguhan tentu sangat berbeda dengan situasi saat bertarung dalam latihan. Kemenanganmu atas Madajiro memang sesuatu yang di luar dugaan, tetapi tetap saja bukan sesuatu yang patut kau banggakan.”

Bennosuke memang tidak merasa ada hal yang luar biasa dalam pertarungannya dengan Madajiro karena saat itu ...

“Dia tidak bersenjata,” kata Munisai.

Bennosuke tidak menjawab. Ayah sepertinya bisa menerka apa yang kupikirkan.

“Jangan pernah menilai kemampuan seseorang jika kamu tidak mengenalnya atau tidak mengetahui situasi yang pernah dihadapi orang itu.”

Pengalaman bertarung. Itu yang dimaksudkan Ayah dengan situasi yang pernah dihadapi seseorang.

“Jangan pernah merasa kamu memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan dengan orang lain jika kamu belum betul-betul menguasai teknik berpedang dengan baik; kemampuan fisikmu – kecepatan, kekuatan, keakuratan, dan ketepatan mengarahkan pedangmu masih belum memadai; pengalaman bertarungmu masih kurang; dan … penguasaan dirimu masih jauh dari sempurna.”

Munisai menatap bocah di hadapannya yang terus menundukkan kepala itu.

“Kamu paham maksudku?”

“Saya mengerti,” jawabnya.

“Bennosuke,” panggil Munisai.

Bennosuke mengangkat wajahnya.

Munisai mengulurkan tangan kanannya ke arah Bennosuke. Ada sesuatu dalam genggaman tangan kanannya itu. Bennosuke menggeser kedua lututnya bergantian, bergerak maju menghampiri Munisai. Ia mengangkat kedua tangannya dengan telapak terbuka, siap untuk menerima apa yang akan diberikan ayahnya.

“Ini.” Munisai meletakkan sesuatu di telapak tangan Bennosuke. Sebuah koin – uang logam dengan lubang berbentuk segi empat di tengah-tengahnya.

“Perlihatkan kalau kamu memang cepat.”

“Maksud Ayah?”

“Aku ingin mengetahui kecepatan gerakan tanganmu, apakah bisa mengalahkan kecepatan tanganku.”

Bennosuke bengong. Tidak mungkin kan? Aku tidak mungkin bisa bergerak lebih cepat dari Ayah.

“Siapa yang lebih cepat, kamu menutup tanganmu dengan menggenggam koin di dalamnya atau aku mengambil koin dari telapak tanganmu sebelum kamu sempat menutupnya,” kata Munisai tersenyum. Bennosuke merasakan senyum itu seperti senyum yang meremehkan.

Tetapi bagi Bennosuke, apa yang dikatakan Munisai kedengarannya mudah sekali.

Tentu saja menutup tangan sendiri jauh lebih mudah dan lebih cepat daripada mengambil koin dari tangan orang lain!

“Kalau kau bisa mempertahankan koin itu sekali saja, kau kuanggap sudah sepadan dengan keempat orang muridku ‘yang itu’.”

Yang dimaksud oleh Munisai dengan keempat orang murid ‘yang itu’ adalah mereka yang kerap dikritik oleh Bennosuke di hadapan Dorin.

Bennosuke menahan senyum lalu menganggukkan kepalanya. Setuju!

Ternyata dalam sepuluh kali kesempatan, koin tersebut selalu berhasil diambil oleh Munisai.

Yang benar saja!

Bennosuke mengeluh. Setiap kali ia menutup tangannya, dan kemudian membukanya kembali untuk melihat apakah koin tersebut berhasil ia genggam, ia hanya menemukan telapak tangan yang kosong – terbuka namun tidak ada sesuatu pun di atasnya. Jangankan berusaha menutup telapak tangannya dengan cepat …

Bahkan melihat gerakan tangan Ayah pun aku tak mampu!

“Murid-murid Ayah itu … apakah mereka mampu …” Bennosuke bertanya – penasaran.

Munisai menatap putranya itu dengan pandangan heran.

“Tentu saja tidak. Tak ada seorang pun yang pernah berhasil mencegahku mengambil koin dari tangan mereka.”

Bennosuke menunduk dengan dongkol.

Bilang dong dari tadi!

“Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang melakukan apa yang kamu lakukan.” Munisai berkata sambil menatap tajam ke arah Bennosuke. “Mereka tidak membicarakan kelemahan orang lain di belakang punggungnya.”

Bennosuke terkejut. Aku tidak pernah bermaksud membicarakan kelemahan orang lain di belakang punggungnya!

“Kamu tahu, membicarakan hal-hal jelek tentang orang yang tidak hadir itu sangat tidak patut,” Munisai meneruskan perkataannya yang menyakiti perasaan bocah itu.

Ada apa dengan Ayah ini? Aku tidak seperti itu. Bennosuke merasa tersinggung. Aku bukan seorang pengecut. Apa salahnya membahas kemampuan seseorang – kekuatan dan kelemahannya? Bukankah itu termasuk dalam strategi untuk memenangkan pertempuran?

Bennosuke teringat akan salah satu strategi Sonshi.

Jika kita memahami kemampuan diri kita sendiri dan mengetahui kemampuan lawan, maka kita akan mampu memenangkan perang tanpa …

“Jika kamu tidak mau mengakui apa yang telah kamu lakukan itu, mungkin kamu memang tidak pantas memegang pedang. Seorang pengecut, walaupun memegang pedang, tidak akan bisa menggunakan senjata itu dengan benar – bahkan bukan tidak mungkin senjatanya itu malah akan menyebabkannya terbunuh. Senjata makan tuan.”

Bennosuke terdiam. Aku memang melakukannya, tetapi itu kan bukan sesuatu yang salah … aku membahas teknik berpedang mereka, bukannya bergosip atau hal-hal lain semacamnya. Dan aku bukan seorang pengecut!

“Mungkin kamu memang tidak layak berada di sini,” kata Munisai.

Bennosuke terkejut bukan kepalang. Ia seolah-olah mendengar suara halilintar menggelegar saat itu.

Ayah mengusirku?

Berpikir demikian, Bennosuke segera mengenyahkan perasaan marah dan kecewa yang saat itu muncul dan melanda dirinya. Ia telah berlatih meditasi cukup lama sehingga bukan hal yang sulit untuk mengkonsentrasikan pikirannya pada apa yang ingin ia pikirkan dan menyingkirkan apa yang tidak ingin ia pikirkan – sebelum pikiran buruk itu menguasai dirinya.

Munisai terus memerhatikan putranya itu. Ia menunggu. Namun ia tidak merasakan adanya upaya atau keinginan untuk melawan dari Bennosuke. Ia adalah seorang master pedang dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Ia tidak bisa dibokong atau ditikam dari belakang. Jangankan lawan yang berada di belakangnya menghunus senjata untuk membunuhnya, bahkan andaikan lawan tersebut hanya berpikiran untuk menyerangnya – tanpa menggenggam senjata apa pun, Munisai sudah bisa merasakannya. Ia mampu menghindari serangan gelap dari para pembunuh rahasia seperti ninja yang kerap bersembunyi untuk kemudian diam-diam melontarkan shuriken atau menembakkan senapan ke arahnya. Tak ada aura membunuh dari seorang pun yang bisa disembunyikan dari dirinya. Tetapi ia tidak menemukan perasaan apa pun pada diri Bennosuke.

Tidak ada hasrat untuk menyerang yang muncul ... dia anak yang patuh. Ia tidak menyanggah perkataanku ataupun ingin membantah perintahku.

Walaupun Munisai mengharapkan Bennosuke akan menentangnya, dalam hati ia berharap perilaku Bennosuke adalah seperti yang ditunjukkan kepadanya saat ini – perilaku seorang bocah yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan situasi yang dihadapi dan mengontrol emosinya. Sikap demikian adalah hal yang sangat penting, menunjukkan kematangan seseorang yang mampu menguasai dirinya dan tidak mudah terprovokasi.

Munisai tersenyum dalam hati.

Dorin telah mendidik anak ini dengan sangat baik. Aku telah melakukan hal yang benar dengan memintanya membimbing Bennosuke lebih lanjut. Apakah anak itu akan menjadi seorang master pedang ataupun tidak, biarlah ia sendiri yang memutuskan. Dorin hanya perlu mengarahkannya sesuai dengan bakat dan keinginan anak ini.

Bersambung

Bagian (20), (19), (18), (17), (16), (15), (14), (13), (12), (11) dan sebelumnya

#‎Tantangan100HariMenulisNovel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun