Mohon tunggu...
Muhamad Idris Solihin
Muhamad Idris Solihin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa UINKHAS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendidikan Islam dan Mobilitas Sosial

24 November 2023   08:20 Diperbarui: 24 November 2023   08:20 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDIDIKAN ISLAM DAN MOBILITAS SOSIAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam

Dosen Pembimbing:

Bahrul Munib, S.H.I, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Muhamad Idris Solihin (221101010051)


A. Latar Belakang

Setiap orang pasti ingin mencapai status juga penghasilan yang lebih tinggi dari yang sudah diraih orang tua mereka. Setiap orang tentu menginginkan hidup yang sudah berkecukupan, meski mungkin berlebihan. Impian tersebut merupakan hal yang wajar karena manusia pada dasarnya mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas. Seperti halnya ketika kita bertanya kepada seorang anak apa keinginannya, ia menjawab dengan pernyataan yang biasanya berkonotasi kehidupan yang baik. Yang penting adalah apakah keinginan, impian serta cita-cita seseorang sukses atau tidak sama sekali sukses sepanjang hidup seseorang.

Dalam masyarakat modern banyak kita temui fenomena impian akan status sosial dan pendapatan yang lebih meningkat. Hal ini menjadi insentif bagi masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial agar dapat hidup sejahtera. Namun pada kenyataannya, tidak hanya mobilitas sosial di masyarakat yang meningkat ke tingkat yang lebih tinggi, namun banyak juga mobilitas sosial yang menurun tanpa direncanakan.

Pendidikan pada hakikatnya ialah alat untuk membimbing anak didik mencapai tingkat kesadaran sosial yang lebih diatasnya dibandingkan sebelum mereka menjalani pendidikan. Tetapi dalam perjalanan pendidikan Islam terkadang memisahkan anak didik dari kehidupan sosial mereka. Sebab, pendidikan Islam yang ditawarkan sudah tidak sesuai lagi dengan realitas masyarakat. Namun lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan pasar. Sehingga setelah menyelesaikan pelatihannya, siswa tidak lagi peka terhadap realitas sosial, melainkan menghilang dari realitas sosial.

Melihat kenyataan tersebut, maka perlu adanya perubahan arah pendidikan Islam. Sehingga pendidikan Islam dapat memenuhi perannya sebagai motor mobilitas sosial. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam sebagai pembentukan intelektual anak didik ialah faktor yang sangat penting dalam perubahan masyarakat. Juga bisa dianggap bahwa perubahan dalam masyarakat bergantung pada pendidikan Islam para santrinya. Misalnya ketika pendidikan Islam mengajarkan bahwa komunisme, kapitalisme, dan anarkisme itu tidak baik. Jadi para siswa tidak akan mengulangi hal itu. Contohnya, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, seseorang perlu memiliki kepekaan terhadap realitas sosial, sehingga murid-murid yang dihasilkan akan selalu terlibat dalam analisis sosial.

Mobilitas sebagai satu diantara indikator berkembang atau tidaknya masyarakat kita cukup layak untuk dijadikan pedoman dalam bidang pendidikan. Sebab tanpa mobilitas sosial mustahil masyarakat dapat mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Berdasarkan uraian di atas, artikel ini mencoba membahas teori dan konsep mobilitas sosial serta akibat dan dampak mobilitas sosial terhadap pendidikan agama Islam.

B. Konsep dan Teori Pendidikan Agama Islam dan Mobilitas Sosial

Kata pendidikan berasal dari kata "paedagogy", bahasa Yunani "pae" yang berarti "anak" dan "ego" yang berarti "saya membimbing". Arti pendidikan secara harafiah adalah saya membimbing anak, dan tugas bimbingan adalah saya membimbing anak hingga menjadi dewasa. Secara singkat istiqamah mengutip Drikayarkara yang mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar peserta didik mengalami proses memanusiakan dirinya sehingga menjadi individu yang dewasa, beretika dan vital.[1]   

Dalam Islam, pendidikan pada mulanya disebut "ta'dib". Yang dimaksud dengan "ta'dib" adalah pengertian yang lebih tinggi yang mencakup seluruh unsur ilmu ('ilm), pengajaran (ta'lim), dan pola asuh yang baik (tarbiyah). Akhirnya seiring berkembangnya kata "ta'dib" sebagai istilah pendidikan hilang dari peredaran hingga para pakar pendidikan Islam menjumpai istilah tersebut dalam tarbiyah atau tarbiyah sehingga sering disebut tarbiyah. Padahal asal katanya adalah "Rabba-Yurobbi-Tarbiyatan" yang artinya tumbuh dan berkembang. 

Atiyah Abrasi meyakini pendidikan Islam adalah membina manusia agar hidup sempurna dan bahagia, cinta tanah air, berbadan kuat, akhlak yang sempurna, berfikir baik, lancar emosi, bekerja profesional, dan bertutur kata manis. Sementara itu, Ahmad D. Marimba menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan syariat Islam, yang mengarah pada pembentukan kepribadian dasar menurut standar Islam. 

Sementara itu, Syed Muhammad Naguib Attas berpendapat bahwa pendidikan adalah proses penamaan sesuatu pada diri manusia, mengacu pada cara dan sistem penamaan bertahap, serta orang-orang yang menerima proses dan isi pendidikan tersebut. 

Sementara itu, Halim Soebahar mengutip pernyataan Mukhtar Bukhari yang mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh individu atau lembaga yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Islam pada sebagian peserta didik dan segala kegiatan berdasarkan program pendidikan atau perspektif Islam dan lembaga pendidikan. nilai-nilai.

Kata "Islam" dalam "Pendidikan Islam" menunjukkan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang bernuansa Islam, dan pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang berdasarkan pada sumber Islam. Istilah yang lebih populer digunakan dalam pendidikan wacana Islam adalah tarbiyah, ta'lim, ta'dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Dalam kamus bahasa Inggris Oxford Learner's Pocket Dictionary, definisi kata education adalah training and learning (pendidikan adalah pelatihan dan pengajaran).[2]  

Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah pendidikan yang memungkinkan seseorang secara aktif mengembangkan/membimbing kehidupan untuk mencapai dan membentuk perkembangan yang maksimal dan bersumber dari ajaran Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dibagi lagi dalam bidang muamalah.[3]

Pada prinsipnya setiap warga suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya dalam struktur sosial masyarakat yang berkaitan. Ini termasuk masyarakat yang mengikuti sistem stratifikasi tidak terbuka. Hal ini sering dikatakan dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial bisa dimaknai sebagai perpindahan dari 1 kelas sosial ke kelas sosial yang lain.

Kata mobilitas berasal dari kata latin "mobilis" yang berarti "pergerakan mudah atau banyak perpindahan dari satu tempat ke tempat lain". Dalam bahasa Indonesia, istilah padanan yang wajar dipakai ialah "perpindahan", "gerakan", atau "gerakan". Oleh karena itu, sebutan "mobilitas sosial" mempunyai pengertian yang tidak berbeda dengan sebutan "gerakan sosial", "gerakan sosial", atau "perpindahan sosial". Mobilitas sosial ialah perpindahan seseorang atau kelompok dari satu status sosial ke status sosial lainnya.[4] 

Sebagai makhluk sosial, manusia tentunya tidak terlepas dari mobilitas sosial. Entah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari sebelumnya, atau hanya bergerak tanpa mengubah posisinya. Misalnya, seorang guru menjadi pemilik toko buku, atau seseorang berpindah pekerjaan karena gaji yang lebih tinggi dan kehidupan yang lebih baik, kemudian ia memulai gerakan sosial. Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena mobilitas lebih besar kemungkinannya. Mobilitas sosial merupakan gerakan masyarakat yang bertujuan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.[5] 

Nasution mengartikan mobilitas sosial dalam 2 arti. Pertama, status suatu sektor masyarakat secara seluruhnya berubah dibandingkan dengan sektor lainnya. Contohnya saja pada zaman dahulu kedudukan pendidik (guru) sangat dihormati, namun kini penghormatan terhadap guru tidak lagi setinggi dahulu. Kedua, mobilitas sosial merujuk pada kemungkinan seseorang berpindah dari satu strata sosial ke strata sosial lainnya, yang dapat dilihat di sekitar lingkungan individu tersebut.[6] 

Menurut Bagong Suyanto dari Khaidir, mobilitas sosial adalah perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lain, atau dari 1 kelas ke kelas yang lain, baik berbentuk kenaikan atau menurun dari status sosial sebelumnya, umumnya termasuk pendapatan, yang bisa dialami oleh berbagai individu, kelompok atau semua anggota kelompok.[7]  

Mobilitas sosial menggambarkan pergerakan orang yang status dan perannya dalam masyarakat berubah dari waktu ke waktu. Secara umum mobilitas sering diartikan sebagai suatu proses pergerakan, atau pergerakan individu atau kelompok melalui tingkatan atau kelas sosial. Secara umum, ada cara-cara berikut bagi orang untuk bergerak secara sosial yakni:

  • Perubahan standar hidup

Peningkatan pendapatan tidak serta merta meningkatkan status. Sebaliknya, hal ini akan mencerminkan standar hidup yang lebih tinggi. Hal ini berpengaruh dalam meningkatkan status. Mislanya: Seorang pegawai tingkat rendah, karena dia berhasil dan berprestasi, dipromosikan menjadi manager, sehingga meningkatkan tingkat penghasilannya. Jika ia tidak mengubah taraf hidupnya, misalnya ia memutuskan untuk tetap hidup sebagai pegawai rendahan, maka status sosialnya tidak dapat dikatakan membaik..

  • Perubahan tempat tinggal

Untuk meningkatkan status sosialnya, individu bisa berpindah dari tempat tinggal aslinya ke tempat tinggal yang baru. Atau merenovasi hunian lamanya agar lebih megah, indah dan mewah. Orang yang memiliki rumah mewah dengan sendirinya akan disebut kaya oleh masyarakat, hal ini menandakan terjadinya gerakan sosial vertikal.

  • Perkawinan

Kenaikan status sosial yang lebih tinggi bisa dicapai dengan pernikahan. Misalnya, Seorang perempuan dari keluarga amat biasa saja menikah dengan laki-laki dari keluarga yang terpandang di masyarakat serta kaya raya, maka perkawinan tersebut bisa meningkatkan derajat perempuan tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan terjadi mobilitas sosial vertikal..[8]  

Selain itu, terdapat pula beberapa cara lain untuk melakukan mobilitas sosial, diantaranya adalah melalui:

  • Perubahan nama. Dalam masyarakat, nama dikaitkan dengan status sosial tertentu. Gerakan sosial ke atas bisa dilakukan dengan mengganti nama seseorang menjadi nama yang menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Misalnya pada masyarakat feodal Jawa, ada kata "kang" yang merujuk pada laki-laki biasa. Jika pria tersebut diangkat menjadi kepala pamong praja, gelar "Kang" akan diubah menjadi "Raden" berdasarkan jabatan barunya..
  • Pernikahan. Status sosial dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi melalui pernikahan. Misalnya, seseorang dari keluarga yang amat biasa saja menikah dengan seseorang dari keluarga yang kaya juga terpandang di masyarakat. Pernikahan bisa meningkatkan status si perempuan tersebut.
  • Bergabung (berafiliasi) dengan asosiasi tertentu. Individu bisa meningkatkan statusnya dengan ikut serta dalam suatu organisasi tertentu. Misalnya, individu yang tidak sekolah bisa ikut serta dengan ormas tertentu. Sesudah ikut serta dengan ormas, ia mulai sadar atas kemampuan dirinya. Dia kemudian diangkat menjadi presiden organisasi tersebut serta menjadi terkenal di masyarakat. Akibatnya, status sosialnya meningkat.[9] 

Sementara itu, Sorikin mengatakan terdapat beberapa saluran mobilitas sosial:

  • Angkatan Bersenjata

TNI ialah organisasi yang bisa melalui jalur mobilitas vertikal ke atas yang disebut tahapan promosi. Misalnya, seorang prajurit yang mengabdi pada negara dan menyelamatkan negara serta menumpas pemberontakan akan diapresiasi oleh masyarakat. Meskipun ia berasal dari masyarakat kelas bawah, ia dapat memperoleh pangkat/jabatan yang lebih tinggi.

  • Lembaga Keagamaan

Lembaga keagamaan bisa meningkatkan status sosial individu, seperti pihak yang turut andil dalam pengembangan agama, misalnya ustadz, pendeta, juga biksu. Status sosial mereka akan meningkatkan di masyarakat, khususnya bagi komunitas pemeluk agama tertentu..

  • Lembaga Pendidikan

Institusi pendidikan biasanya ialah jalur konkrit bagi arus vertikal ke atas, atau bahkan dipandang sebagai elevator sosial (perangkat) yang berubah dari posisi rendah ke posisi lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi. Seorang anak dari keluarga sederhana dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Sesudah mereka lulus, ia menguasai ilmu bisnis juga mengamalkan ilmunya untuk memulai usaha dan menjadi pemhisnis sukses sehingga meningkatkan status sosialnya.

  • Organisasi Politik

Seperti halnya angkatan bersenjata, organisasi politik mengizinkan anggotanya yang setia serta mengabdikan diri untuk menduduki posisi yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan status sosial mereka..

  • Ekonomi

Organisasi perekonomian misalnya perusahaan, koperasi, juga BUMN bisa meningkatkan tingkat penghasilan individu. Dengan prestasinya yang membesar, maka semakin tinggi pula statusnya. Semakin tinggi kedudukannya maka semakin besar pula pendapatannya. Karena penghasilannya meningkat, kekayaannya pun meningkat. Terlebih lagi, seiring bertambahnya kekayaannya, status sosialnya pun meningkat.

  • Keahlian 

Sama seperti situs kerja ilmiah, individu yang rajin menulis juga memberikan ilmu kepada grup tentu akan memiliki status lebih tinggi dari rata-rata pengguna. Banyak pemikiran atau gagasan penting yang memiliki manfaat bagi pembaca serta dapat membantu menambah pengetahuan yang relevan, bahkan gagasan tersebut busa menjadi bahan atau inspirasi untuk memecahkan masalah kehidupan yang mereka hadapi. 

  • Perkawinan

Melalui perkawinan, individu dapat mengubah status atau status sosialnya. Contohnya, individu biasa saja menikah dengan individu yang kaya, otomatis status sosialnya bergerak menjadi kaya karena menikah dengan si kaya.[10]  

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pendidikan ialah saluran mobilitas sosial bagi seseorang atau kelompok sosial. Pendidikan terdapat kemungkinan terjadinya mobilitas sosial. Melalui pendidikan, individu bisa meningkatkan status sosial mereka. Pendidikan yang adil memberikan pendidikan dasar yang setara juga mempersempit ketidaksamaan antara kelompok tinggi dengan rendah. Dengan pendidikan, orang-orang yang buta huruf dapat membaca surat kabar juga majalah yang sama dan ikut berfikir mengenai isu-isu sosial, budaya, politik, agama serta ekonomi yang tidsk berbeda. 

Adapun menurut Abdullah, fator-faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial dengan penjelasan sebagai berikut:[11] 

  • Perubahan kondisi sosial. Misalnya, kemajuan teknologi bisa memberikan peluang terjadinya mobilitas sosial. Menggunakan Internet di sekolah tidak bisa dianggap hal yang aneh. Di lembaga pendidikan, banyak tenaga pendidik juga fasilitas pendukung pembelajaran mulai menyediakan layanan Internet. Perbedaan antara siswa dari latar belakang yang tidak sama mulai berkurang juga mereka bisa memakai Internet secara bersamaan. Pengetahuan mereka bertambah, membuat mereka menonjol dan akhirnya status sosialnya, seperti siswa cerdas dari keluarga kurang mampu.
  • Ekspansi teritorial dan gerak populasi. Perluasan wilayah juga perpindahan penduduk membuktikan fleksibilitas struktur berlapis serta mobilitas sosial. Contohnya saja perkembangan kota, migrasi penduduk, pertambahan juga penurunan penduduk.
  • Komunikasi yang bebas. Situasi yang membatasi komunikasi antar kelas yang berbeda akan memperkuat batasan antar kelas yang ada untuk pertukaran pengetahuan dan pengalaman serta menghambat mobilitas sosial. Di sisi lain, pendidikan dan komunikasi yang bebas dan efektif akan mengaburkan semua batasan kelas sosial dan menstimulasi mobilitas sekaligus meruntuhkan hambatan terhadap kemajuan kita..
  • Pembagian Kerja. Terjadinya mobilitas juga bisa disebabkan oleh tingkat pembagian kerja yang tersedia. Apabila tingkat pembagian kerja tinggi juga terspesialisasi, jadi mobilitas sosial akan rendah serta masyarakat sulit berpindah dari 1 kelas ke kelas lain sebab spesialisasi pekerjaan memerlukan kemampuan khusus. Situasi ini dapat mendorong anggota masyarakat untuk bekerja lebih keras untuk mencapai status sosial tersebut.
  • Tingkat fertilitas yang berbeda. Kelompok masyarakat yang latar belakang sosial ekonominya juga pendidikannya rendah akan cenderung mempunyai tingkat kesuburan yang lebih tinggi. Di hal yang lain, masyarakat dengan latar belakang kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung membatasi tingkat reproduksi juga kesuburan. Dengan hal ini, masyarakat dengan latar belakang sosial ekonomi serta pendidikan rendah memiliki peluang untuk lebih banyak bereproduksi juga meningkatkan kualitas keturunannya, sekaligus menunjukkan bahwa mobilitas sosial dapat terjadi.
  • Kemudahan dalam akses pendidikan. Jika pendidikan berkualitas tidak sulit diakses, maka masyarakat akan lebih mudah untuk berpindah-pindah dengan ilmu yang diperolehnya semasa menjadi pelajar. Di sisi lain, sulitnya memperoleh pendidikan yang berkualitas akan menyulitkan mereka yang tidak memperoleh pendidikan yang baik untuk mengubah keadaannya saat ini karena kurangnya pengetahuan.

Salah satu hal yang menjadi fokus dalam penelitian mobilitas sosial adalah hubungan antara mobilitas sosial struktural dan mobilitas sosial nonstruktural, yaitu mobilitas yang sebelumnya terjadi karena adanya perubahan berupa perubahan struktur pekerjaan (misalnya ada yang relatif terhadap kelas), kelompok status, dll) dalam masyarakat tertentu dan kemudian menuju gerakan tertentu yang melibatkan perubahan. 

Adapun faktor yang menghambat mobilitas sosial menurut Abdullah yakni:

  • Perbedaan kelas rasial. Seperti yang terjadi di Afrika Selatan beberapa waktu lalu. Saat itu, orang kulit putih sedang berkuasa juga tidak memberikan peluang kepada orang kulit hitam untuk duduk bersama sebagai penguasa di pemerintahan, maupun di sistem pendidikan. Sistem ini dikenal sebagai apartheid juga diperkirakan berakhir saat Nelson Mandela, sosok pria kulit hitam, terpilih sebagai presiden Afrika Selatan. Mirip dengan situasi kelompok Aborigin di Australia, yang tidak diberi kesempatan terbaik dalam pemerintahan dan sistem pendidikan Australia. Anak-anak Aborigin umumnya mempunyai sekolah khusus yang disebut sekolah Aborigin. Begitu pula dengan suku Mahowak di Kanada (Amerika Utara) yang agak mirip dengan suku Aborigin, mereka memiliki desa khusus dan sekolah khusus. Dipandang dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan, juga struktur politik, mereka belum menempatkan diri sejajar dengan orang kulit putih (white people).
  • Agama. Di negara yang kebanyakan penduduknya menganut agama tertentu, terkadang sulit bagi penganut agama tersebut untuk mendapat tempat dalam realitas kehidupan berbangsa, padahal secara resmi agama yang tidak banyak penganutnya mempunyai hak yang tidak berbeda.
  • Diskriminasi kelas. Dalam sistem kelas terbuka, hal ini bisa menghambat mobilitas sosial ke atas. Hal ini dibuktikan dengan status organisasi tertentu yang tunduk pada beberapa syarat juga ketentuan sehingga cuma sedikit yang bisa mendapatkannya. Contohnya, saat penerimaan siswa berprestasi dibatasi cukup pada 120 siswa penderita lupus yang berprestasi, maka Anaya termasuk di antara 120 siswa yang mempunyai kesempatan untuk bangkit di masyarakat dan menjadi siswa berprestasi di kota tertentu.
  • Kemiskinan. Kemiskinan bisa memperlambat perkembangan individu juga pencapaian status sosial tertentu. Contohnya, seorang anak memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah sebab orang tua mereka tidak mampu lagi membayari biaya sekolahnya. Oleh karena itu, anak tidak mempunyai peluang untuk meningkatkan status sosialnya.
  • Perbedaan jenis kelamin. Dalam masyarakat, perbedaan gender juga mempengaruhi prestasi, kekuasaan, status sosial, juga peluang untuk meningkatkan status sosial seseorang. Dalam bidang pendidikan, apabila terdapat situasi dimana siswa perempuan dengan siswa laki-laki lebih pintar, terkadang akan terjadi perlakuan yang berbeda, seperti mengutamakan siswa laki-laki sebagai ketua kelas.[12]   

PA Sorokin mengatakan mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi dua macam: (1) Mobilitas vertikal, mencakup (a) pendakian sosial, dari status rendah ke tinggi, dimana status tinggi sudah ada sebelum itu; juga terbentuknya kelompok status baru sebab status yang lebih tinggi. (promosi) belum ada, seperti kelompok korporasi, eksekutif, super eksekutif, dll; (b) Social sinking, turunnya kelompok tinggi ke kelompok bawah; serta peringkat kelompok menurun; (2) Arus Horisontal, yaitu perubahan linier, misalnya petani berganti pekerjaan menjadi buruh pabrik.[13] 

Gerakan sosial vertikal yang muncul mempunyai bentuk utama sebagai berikut:

  • Seseorang yang kedudukannya lebih rendah berpindah ke kedudukan yang lebih tinggi (jabatan yang sudah ada sebelumnya). Misalnya, seseorang bekerja di Kantor A serta diangkat menjadi petugas di Kantor A
  • Membentuk kelompok baru kemudian menempatkannya pada tingkat yang lebih tinggi dari individu yang membentuk kelompok tersebut. Misalnya, dengan berdirinya suatu organisasi, pemberian kesempatan kepada seseorang untuk menjadi ketua umum menandakan bahwa status orang tersebut meningkat. Pada saat yang sama, ada dua bentuk utama gerakan vertikal ke bawah:
  • Status mereka yang lebih rendah dalam hierarki menurun. Misalnya, seorang pejabat dipecat karena korupsi.
  • Menurunnya status suatu kelompok dapat mengakibatkan disintegrasi kelompok secara keseluruhan.[14] 

Peningkatan status sosial dianggap sebagai suatu hal yang baik karena menunjukkan keberhasilan karir seseorang. Peningkatan status dianggap negatif bila membuat seseorang gelisah, sombong, pamer kekayaan, mengganggu kehidupan keluarga, dan meningkatkan angka perceraian dalam keluarga. Dikatakan bahwa kenaikan status tetap dapat memantapkan semangat seseorang dan menjaga kestabilan karakternya.

Masyarakat modern menawarkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan mobilitas sosial dibandingkan masyarakat kuno. Pada masyarakat zaman dahulu dan tradisional, mobilitas sosial sangat sulit dilakukan karena stratifikasi sosial bersifat tertutup dan kaku. Misalnya dalam sistem kasta, tidak ada mobilitas sosial. Dalam sistem ini, jika seseorang dilahirkan dalam kasta terbawah, ia akan selalu berada dalam kasta terbawah. Sekalipun ia mempunyai kemampuan atau keahlian, ia tidak boleh dipromosikan ke kasta yang lebih tinggi karena kriteria stratifikasinya bersifat genetik. Oleh karena itu, tidak terjadi perpindahan sosial dari satu kelas ke kelas lain yang lebih tinggi.

Masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial terbuka mempunyai mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tidak terbuka. Di dunia modern saat ini, tidak sedikit negara berupaya meningkatkan mobilitas sosial di masyarakatnya sebab mereka percaya hal ini akan memungkinkan masyarakatnya mendapatkan jenis pekerjaan yang paling sesuai untuk mereka.

Mobilitas yang dilaksanakan individu menempatkan orang tersebut dalam suatu kelas sosial. (Stratifikasi Sosial) imi tidak sama dengan sebelumnya. Dalam stratifikasi sosial terdapat klasifikasi kelas yang dikatakan sistem kelas, yang memposisikan orang ke dalam kelas-kelas yang cocok dengan keadaan yang dimilikinya.

Jika mobilitas tinggi, meskipun individu mempunyai latar belakang sosial yang tidak sama, mereka tetap bisa merasa memiliki hak yang tidak berbeda untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Jika mobilitas sosial rendah, tentu sebagian besar masyarakat akan terkurung pada status nenek moyangnya. Jika kita membahas tentang mobilitas sosial, umumnya yang kita pikirkan adalah mobilitas dari tingkat bawah ke atas, namun nyatanya mobilitas bisa terjadi dua arah. Sama seperti orang-orang yang berhasil mencapai status tinggi, ada pula yang gagal, sementara ada pula yang tetap berada pada atau di bawah status orang tuanya. Mobilitas yang diuraikan di atas merupakan salah satu bentuk mobilitas antargenerasi, yaitu kita dapat membandingkan status pekerjaan ayah dan anak, dan lebih dari itu kita dapat melihat sejauh mana anak mengikuti jejak ayahnya dalam hal pekerjaan. Mobilitas juga dapat dipelajari dalam kaitannya dengan pergerakan "intragenerasi", yaitu kita dapat memperikan sejauh mana seseorang yang sama mengalami perubahan sosial sepanjang hidupnya. Kembali ke pembahasan sebelumnya, dalam kedua kasus tersebut kita prihatin dengan tingkat keterbukaan yang ekstrim dalam suatu masyarakat, suatu masyarakat terbuka yang mana hubungan antara pekerjaan seorang ayah dengan pekerjaan seorang anak bersifat acak. Ini ialah masyarakat di mana status didapatkan melalui prestasi, dan mengetahui karier seorang ayah tidak menolong kita memprediksi karier anak-anaknya. Di sisi lain, masyarakat yang benar-benar tertutup adalah masyarakat yang statusnya bawaan (diberikan) sejak lahir, penyapu jalan melahirkan penyapu jalan (masa depan), perawat melahirkan perawat (masa depan), pengemis melahirkan pengemis (masa depan). Namun, dalam setiap masyarakat terdapat perpaduan antara prestasi dan rasa memiliki, dan hubungan timbal balik antara upaya seseorang dan upaya generasi mendatang sangatlah kompleks dan beragam.

Pendidikan adalah jalan menuju mobilitas sosial. Pada zaman dahulu, faktor keturunanlah yang menentukan status sosial seseorang, dan faktor keturunan ini diresapi melalui sistem kelas yang ketat. Semoga kesempatan belajar yang setara akan membuka jalan bagi setiap anak untuk memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan. Sekolah wajib atau pendidikan universal; memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berbeda kepada semua anak dari semua kelompok sosial. Dengan cara ini, ketidaksamaan kelompok sosial anak bisa dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali. Faktanya, mimpi tidak mudah untuk menjadi kenyataan. 

Pendidikan membuka kemungkinan terjadinya mobilitas sosial. Dikarenakan pendidikan, status sosial seseorang meningkat. Pendidikan kesetaraan memberikan kesetaraan dasar juha mengurangi ketidaksamaan antara kelompok tinggi dengan rendah. Dengan pendidikan, setiap warga negara bisa membaca surat kabar juga majalah yang sama serta memikirkan isu-isu politik. Masyarakat dan perekonomian yang sama. 

Adapun teori dari mobilitas sosial, antara lain:

  • Teori Martin Lipset dan Hans Zetterber. Teori mobilitas sosial Lipset dan Zetterberg berfokus pada penyebab dan dimensi mobilitas sosial. Alasan pertama adalah ketersediaan lowongan dan alasan kedua adalah perubahan peringkat. Sederhananya, kita dapat membayangkan bahwa untuk setiap mobilitas ke atas dalam suatu masyarakat, pasti ada mobilitas ke bawah.[15] Mobilitas sosial menurut Lipser dan Zeesemberg terdiri dari empat dimensi, yaitu: 
  • Peringkat Karir. Pekerjaan merupakan indikator universal sertifikasi sosial. Para peneliti percaya bahwa pekerjaan merupakan faktor penting dalam membedakan kepercayaam, nilai, norma, kebiasaan, serta terkadang bahkan ekspresi emosional. 
  • Peringkat konsumsi mengacu pada gaya hidup. Orang-orang dengan gaya hidup juga gengsi yang kurang lebih tidak jauh berbeda bisa disebut berada pada kelas konsumen yang sama. Cara yang paling benar untuk menghitung indeks konsumsi kelas tidak dari total pendapatan, tetapi dari pendapatan ketenaran dan aktivitas budaya.
  • Peringkat kelas sosial. Seseorang dikatakan satu kelas dengan orang lain apabila ia menerima orang lain sebagai satu kelas dan mempunyai hubungan.
  • Pemeringkatan kekuasaan, dimensi ini mengacu pada hubungan peran yang berbentuk kekuasaan atau relasi kekuasaan yang mengikutkan posisi bawahan di satu sisi serta posisi bawahan di sisi lain. Mereka percaya jika kekuasaan adalah alat mobilitas sosial.[16]
  • Teori Ralph Turner Telaah Turner . Teori tersebut menghubungkan sistem pendidikan Amerika Serikat dan Inggris dengan mobilitas vertikal di kedua negara. Asumsi yang menjadi latar belakang pemikiran Turner ialah sistem kelas terbuka yang ditandai dengan dibukanya sekolah negeri memberikan kesempatan lahirnya mobilitas sosial vertikal. Lebih lanjut Patinasarani menjelaskan bahwa Turner menemukan ada 2 jenis mobilitas yang berdasar pada norma sosial yang terorganisir, yakni mobilitas patronase juga mobilitas lingkungan. Turner mengartikan mobilitas kompetitif sebagai institusi dimana status elit merupakan hadiah/penghargaan yang didapatkan indivifu dengan beberapa upaya dalam kompetisi terbuka di mana peserta menunjukkan kemampuan, strategi, tekad, dan bersaing secara setara. Dalam mobilitas bersponsor, pemilihan kelompok elit dan pemberian status elit didasarkan pada beberapa kriteria, yang harus didasarkan pada kualifikasi tertentu dan penetapan tersebut tidak dapat dibatalkan melalui upaya atau strategi apa pun.[17]  
  • Turner menambahkan, kedua jenis mobilitas sosial ini ialah tipe ideal yang ia gunakan untuk menjelaskan analisis penelitiannya tentang stratifikasi dan sistem pendidikan. Faktanya, mobilitas vertikal yang terjadi di semua masyarakat mencakup kedua jenis mobilitas sosial tersebut, meskipun dalam derajat yang tidak sama.[18]  
  • Teori Pitirim Sorokin Sorokin. Mengenai kesempatam mobilitas, Sorokin mengatakan jika tidak semua individu dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan yang sama dengan individu lain untuk berpindah dari 1 posisi ke posisi lain. Teori ini secara luas mengartikan mobilitas sosial sebagai pergerakan individu dalam ruang sosial. Ketika mempelajari mobilitas sosial, perhatian kita terfokus tidak cuma pada transformasi status sosial seseorang, namun juga pada dampak gerakan-gerakan tersebut terhadap kelompok sosial serta keseluruhan struktur sosial di mana gerakan-gerakan seseorang tersebut terjadi. Sorokin membagi 2 jenis yakni gerak horizontal juga gerak vertikal, gerak horizontal adalah gerak dari suatu posisi ke posisi lain pada tingkat yang sama. Sedangkan vertikalitas mengacu pada perpindahan masyarakat dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Seseorang dikatakan mempunyai mobilitas ke atas apabila mobilitas sosial berupa perpindahan orang dari kelas sosial yang lebih rendah ke kelas sosial yang lebih tinggi dan kebalikannya. Jika individu berpindah dari kelas yang lebih tinggi ke kelas yang lebih rendah, maka orang tersebut mengalami mobilitas ke bawah.[19]  
  • Teori Boudon. Teori Mobilitas Berdasarkan Ketimpangan Budaya Teori yang dikemukakan oleh Boudon menyatakan bahwa mobilitas terjadi berdasarkan latar belakang budaya, yaitu masyarakat yang hidup pada kelas sosial yang lebih tinggi lebih cenderung mencari pekerjaan elit dibandingkan kelas sosial yang lebih rendah. Teori tersebut juga berpendapat bahwa meskipun ketimpangan di sektor pendidikan menunjukkan tren menurun, ketimpangan di sektor sosial menunjukkan arah yang konstan (tidak berubah).[20] 

C. Konsekuensi dan Dampak Mobilitas Sosial Pendidikan Agama Islam

Meskipun mobilitas sosial memungkinkan orang untuk menemukan orang yang paling terampil untuk mengisi posisi dan memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk mencapai tujuan hidupnya, mobilitas sosial juga dapat menimbulkan konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti perasaan individu yang berusaha untuk maju merasa gugup. Karena dinamika antar kelompok sosial, solidaritas kelompok dapat dirusak oleh ketidakpuasan status, kegagalan, arogansi dan arogansi terhadap kesuksesan, kekhawatiran akan penurunan status, dan kekhawatiran sosial. Kita dapat menemukan contoh ekstrim dari dampak mobilitas sosial pada masyarakat kasta di atas, dimana perbedaan antar kelompok yang menduduki strata tertentu dalam masyarakat sangat menonjol dan jelas batas-batasnya. Norma, nilai, dan gaya hidup masing-masing kelompok juga berbeda secara signifikan. Oleh karena itu wajar jika kasta atas merasa cemas ketika statusnya terancam terdegradasi ke kasta bawah. Bahkan masyarakat dari kasta tertentu yang melanggar norma yang berlaku langsung dikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh kasta sendiri bahkan keluarganya.

Adapun akibat atau dampak mobilitas sosial terhadap masyarakat, ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah dapat mendorong seseorang untuk semakin maju, mempercepat tingkat perubahan sosial ke arah yang lebih baik, dan meningkatkan integrasi sosial. Selain itu, mobilitas sosial dapat memberikan insentif bagi masyarakat untuk maju dan mencapai status yang lebih tinggi.

Sedangkan dampak negatifnya adalah munculnya konflik. Kesatuan kelompok menurun dan terjadi gangguan psikologis.[21] 

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Aris Nasution bahwa mobilitas sosial dalam masyarakat menimbulkan berbagai kemungkinan terjadinya konflik, seperti konflik antar golongan, antar generasi, antar kelompok, dan lain-lain. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya solidaritas antar individu dan kelompok.[22]  

Dalam lingkungan kelas sosial yang baru, orang-orang yang baru naik status belum tentu mendapat sambutan hangat. Mereka yang tiba-tiba menjadi kaya karena memenangkan lotre atau mewarisi hadiah mungkin masih belum dianggap sebagai bagian dari kelompok elit karena cara hidup atau gaya hidup mereka tidak sama.

D. Mini Research

  • Proses-proses Mobilitas Sosial Alumni MTs 1 Watu Lempit
  • Kondisi Keluarga Asal (Class Origins)

Konsep tujuan kelas dapat dipahami sebagai kelas sosial responden pada saat penelitian dilakukan. Identifikasi dan penentuan ini mutlak diperlukan untuk memahami ada tidaknya perubahan kelas sosial dari orang tua ke responden. Namun sebelum semua itu bisa dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu memahami asal usul kelas masing-masing responden.[23]

 

NAMA INFORMAN

PENDIDIKAN

PEKERJAAN

PENGHASILAN

INFORMAN

AYAH

INFORMAN

AYAH

INFORMAN

AYAH

CN

S1

SD

WIRAUSAHA DAN GURU

BURUH

RP. 10.000,000,-

RP. 700,000,-

NM

MAN

SMP

KARYAWAN DAN WIRAUSAHA

BURUH

RP. 8.000,000-

RP. 700,000,-

AS

MAN

MI

KARYAWAN

BURUH

RP. 2,500.000,-

RP. 500,000,-

SR

S1

MTS

PEGAWAI BANK

KARYAWAN

RP. 4.000,000,-

RP. 625,000,-

Jv

MAN

MTS

WIRAUSAHA

BURUH

RP. 5.000,000,-

RP. 500,000,-

Rp

MAN

MTS

WIRAUSAHA

BURUH

RP. 30.000,000.-

RP. 600,000,-

Ff

MAN

MI

GURU DAN WIRAUSAHA

WIRAUSAHA

RP. 35.000,000,-

RP. 750,000,-

Ea

MAN

SD

WIRAUSAHA DAN KARYAWAN

BURUH

RP. 20.000,000,-

RP. 500,000,-

Rr

MAN

SD

WIRAUSAHA

BURUH

RP. 30.000,000,-

RP. 300,000,-

GZ

MAN

MI

GURU

BURUH

RP. 5.000,000,-

RP. 500,000,-

 

Seluruh alumni berasal dari keluarga kurang mampu, syarat mutlak untuk mendaftar menjadi siswa di sekolah ini adalah dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang menjadi bukti bahwa siswa MTs 1 Sekolah Watu Lempit haruslah orang-orang dari golongan kurang mampu. Mampu. Seperti yang mereka katakan dalam wawancara: 

"Sejak saat itu, saya termotivasi untuk meningkatkan taraf keluarga saya tanpa ayah, terutama ibu saya. Keahlian khusus ini saya peroleh karena sering membongkar dan memasang kembali komputer karena sekolah (SMP) dulu memiliki fasilitas komputer dan dari situlah saya tertarik. di komputer, jadi ketika saya menemukan YouTube, saya sudah mengenalnya." [24] 

Informan tersebut di atas mengungkapkan bahwa ia berhasil mencapai mobilitas sosial pada jenjang pendidikan yang sebelumnya tidak mungkin tercapai karena status quo (asal golongan), Ayahnya yang merupakan pencari nafkah keluarga meninggal dunia sehingga meninggalkan dirinya dan keluarganya. Ibunya tidak mampu menyekolahkannya namun ia mendapat bantuan karena biaya masuknya gratis dan akhirnya mimpinya untuk melanjutkan dan meningkatkan kursus pendidikannya menjadi kenyataan (Tujuan Kursus) dan ia berhasil mendapatkan pengalaman belajar di MTs 1 Watu Lempit:

"Saya berasal dari keluarga sederhana karena bapak saya baru lulus SD, dan prestasi saya di SMP adalah aktif mengikuti organisasi dan memenangkan penghargaan seperti lomba pidato, itu sangat memotivasi saya. Alhamdulillah saya bisa melanjutkan sekolah sekali lagi alhamdulillah saya sudah sampai di perguruan tinggi dan sekarang sudah punya usaha kecil-kecilan, karena di sekolah kita belajar berwirausaha. Kita disuruh buat karya dan itu diperjual belikan, ya dari situ udah dikenalin dengan cara berwirausaha".[25] 

Orang dalam tersebut di atas mengungkapkan bahwa ia juga berhasil mencapai mobilitas sosial dengan tingkat pendidikan yang sebelumnya tidak mungkin tercapai karena keadaannya saat ini (asal golongan), ayahnya hanya tamatan MT dan tidak mampu menyekolahkannya. Pasalnya biaya pendidikan saat itu cukup mahal untuk kelas ekonomi mereka, namun dengan bantuan tiket masuk gratis, impiannya untuk terus naik kelas pendidikan akhirnya terwujud (Kelas Tujuan). Orang dalam berikut juga menyatakan bahwa situasi sederhana dan latar belakang siswa yang serupa mendorongnya untuk meningkatkan status sosialnya 

"Waktu itu saya bisa bilang, latar belakang keuangan saya sangat miskin dan orang tua saya bekerja serabutan karena mereka hanya lulusan MTs dengan 5 orang anak. Motivasinya mungkin karena status sosial sebagian besar dari 33 siswa kami adalah Same (rentan). Jadi mungkin memang akan ada tingkat persatuan yang tinggi, jadi akan ada kohesi, dan kita bahkan akan membentuk sesuatu yang disebut Malawi, satu grup per kelas, dan kemudian tim futsal, tim sepak bola, kita juga melihat masing-masing sering-seringlah menjalin silaturahmi, intinya kita saling support."[26] 

Situasi yang dihadapi JV juga sangat beralasan, karena membesarkan lima orang anak plus seorang istri, tanggung jawab ayah sebagai kepala keluarga cukup berat. Horton dan Hunt) "meyakini bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat mobilitas dalam masyarakat modern, yaitu faktor struktural dan faktor individu." Fakta yang jelas, faktor struktural bukanlah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya mobilitas sosial pada alumni MTs 1 Watu Lempit, mereka bukanlah anak dari keluarga terpandang (tokoh masyarakat), dan bukan juga anak dari golongan ekonomi bawah. Dalam istilah Warner, dalam kelas bawah-atas kelompok ini terdiri dari "kelas pekerja", yang mencakup pekerja kerah biru dan pekerja manual. Fakta bahwa mereka berasal dari keluarga miskin diakui oleh narasumber seperti:

"Status keuangan saya menengah ke bawah, pekerjaan orang tua saya membuka sanggar, dan karena saya baru lulusan MI, usahanya saat itu sedang turun."[27] 

Hampir semua alumni mengkampanyekan mobilitas sosial. Kekurangan yang dimilikinya mengantarkannya menjadi siswa MTs 1 Watu Lempit. Mereka berasal dari status ekonomi yang sama (kurang mampu) dan status pendidikan yang sama. Berangkat dari status tersebut, mereka berusaha memanfaatkan pengalaman pendidikan yang ada untuk berubah, kemudian terus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Upaya semacam ini tidak terlepas dari kesan. dan motivasi. Semasa bersekolah, meskipun banyak berkembang di luar, atau setelah menjadi alumni MTs 1 Watu Lempit, mereka semua mengakui dirinya sebagai alumni yang memiliki pengalaman, motivasi dan keterampilan di bidang komputer, organisasi, latihan pidato dan seni lainnya, di luar (Setelah lulus) mempunyai kemampuan dalam mengembangkan bakat pribadinya, terlihat dari wawancara bahwa situasi kemampuan yang kurang memberikan kepercayaan diri alumni untuk terus bertransformasi menjadi manusia yang lebih baik dan kreatif.

  • Peran Pendidikan sebagai Pendorong bagi Mobilitas Sosial Alumni MTs 1 Watu Lempit

Sejak ditetapkannya dua paket peraturan Undang-Undang otonomi daerah (UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999) yang kemudian ditambahkan dengan ditetapkannya lagi dua paket Undang-Undang otonomi baru sebagai penggantinya (UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) sebagai landasan hukum pelaksanaan otonomi yang ada di daerah, maka sektor pendidikan di Indonesia juga mendapatkan dampak positif, dikarenakan sektor ini, sebagai salah satu dari enam belas bidang pemerintahan yang wajib dikelola (secara otonom) dan telah menjadi kewenangan dari daerah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1 UU No. 32 tahun 2004), sehingga pelaksana manajemen pendidikan pada era otonomi kali ini diharapkan lebih memberikan kesan demokratis serta kemandirian untuk berkembang dan memberikan peluang seluas-luasnya bagi peran serta untuk partisipasi masyarakat.

Fakta di atas membuat MTs 1 Watu Lempit bisa berkembang dengan mengedepankan mutu pendidikan dan mendidik sesuai visi dan misinya. MTs 1 Watu Lempit menjadi wadah pemenuhan kebutuhan pendidikan masyarakat dan menjadi wadah filantropis bagi seluruh siswa yang kurang mampu dan merasa hidupnya terbantu dengan hadirnya sekolah ini. Responden yang diwawancarai oleh peneliti mengakui bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam mobilitas sosial:

"Aku anak dari keluarga yang berantakan jadi kalau aku tidak sekolah aku bukan apa-apa, semua orang tidak ingin hidup seperti kemarin, mereka ingin lebih maju, mereka ingin membahagiakan orang tua mereka dan mereka ingin bisa membantu orang lain, yang ingin hidup nyaman seperti itu, itu benar sekali... Selepas MT aku melanjutkan ke MAN, kemudian melanjutkan kuliah dan menekuni hobiku, berwirausaha, dan aku mengajar disekolah-sekolah.Di MTs Whassap In Grup, biasanya kami banyak berbagi informasi tentang pekerjaan atau informasi lainnya."[28] 

Demikian pula, narasumber lain merasa bahwa kesempatan sekolah gratis yang diberikan oleh MTs 1 Watu Lempit telah membantu situasi mereka dan memungkinkan mereka memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti diungkapkan oleh narasumber berikut:

"Saat itu, saya dan orang tua saya sedang menjalani kehidupan yang sangat sulit. Rumah masih kontrakan, dan ayah saya bekerja paruh waktu. Karena kehidupan ini membuat saya berpikir bagaimana cara keluar dari resesi ekonomi yang dihadapi keluarga. .Apalagi aku anak pertama ya Kak, jadi aku harus aktif sekolah agar aku juga bisa membantu orang tuaku untuk membayar biaya sekolahku, Kak. Aku merasa ketika aku bosan sekolah, nilainya tidak sia-sia, itu selamatkan aku dari kebodohan, nah sekarang alhamdulillah aku sudah bisa memanfaatkan ketrampilan yang aku punya untuk memperbaiki keuangan keluargaku dan membuahkan hasil."[29] 

Ditambah lagi pernyataan dari AS yang mengatakan bakatnya mulai terasa saat masih bersekolah:

"Saya adalah orang miskin karena orang tua saya bercerai dan saya tinggal bersama ayah saya. Masa-masa sekolah itu memberikan dampak yang besar bagi saya dan alhamdulillah saya bisa menjadi seperti sekarang ini. "Satu hal yang pasti, lingkungan alumni sangat mendukung. dan saling mendukung, saling mendukung, bukan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang terbaik, namun memberikan yang terbaik bagi sesama alumni."[30] 

Sebagian besar alumni berasal dari keluarga miskin, bahkan ada yang menghadapi permasalahan keluarga yang sangat serius. Keadaan itu sendiri seolah menjadi motivasi untuk terus bergairah dalam menempuh dan menyelesaikan pendidikannya, apalagi saat masih duduk di bangku sekolah di MTs 1 Watu Lempit, mereka diberikan kesempatan yang besar karena bisa mengikuti pendidikan secara gratis dengan kualitas pembelajaran yang sama dengan sekolah lain. Kebanyakan dari mereka juga berkomunikasi satu sama lain dan menjalin koneksi, yang seringkali menjadi peluang bagi bisnis dan pekerjaan mereka saat ini. Memang benar bahwa pembagian kerja dalam masyarakat industri sangat kompleks, dan seperti yang dikatakan Nasution, "Mobilitas sosial ini terus terjadi di semua negara, terutama di masyarakat industri karena memerlukan tenaga teknis dan profesional dalam jumlah besar. Kelompok sosial atas tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan tersebut dan terpaksa memperolehnya dari kelas sosial bawah. Mereka yang berasal dari latar belakang kelas atas dan tidak memiliki insentif untuk memperoleh keterampilan teknis, profesional, atau manajerial secara alami akan berpindah ke jenjang sosial yang lebih rendah.[31]

Ternyata sebagian besar alumni MTs 1 Watu Lempit keluar dari dunia kerja untuk bekerja, atau menjadi pekerja industri.

Pendidikan sebagaimana dipahami secara umum adalah segala upaya terencana untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar mereka bertindak sesuai dengan bimbingan pelaku pendidikan.[32] Melanjutkan pernyataan di atas, Edie menjelaskan bahwa mobilitas sosial adalah pergerakan masyarakat menuju perubahan ke arah yang lebih baik.[33] S. Nasution berpendapat bahwa mobilitas sosial mempunyai dua makna, yaitu: pertama, perubahan status suatu departemen tertentu dibandingkan dengan departemen lain dalam masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, jabatan guru yang dulunya sangat terhormat, namun kini tidak lagi menduduki jabatan setinggi itu. Kedua, kemungkinan individu berpindah dari satu tingkat sosial ke tingkat sosial lainnya, yang terlihat dari lingkungan tempat individu tersebut berada.[34]

Pendidikan dipandang sebagai salah satu pintu gerbang menuju status sosial yang lebih baik. Hal ini memungkinkan individu untuk lebih dihormati dan diterima secara sosial karena pendidikannya, yang berarti bahwa keberadaan individu yang berpendidikan tidak bisa dianggap remeh, dan individu yang berpendidikan juga mempunyai potensi untuk berbuat lebih baik dibandingkan dengan orang yang tidak berpendidikan. Semakin berpendidikan Anda, semakin besar peluang Anda untuk mencapai tujuan ini. Dengan cara ini, peluang untuk maju ke kelas sosial yang lebih tinggi akan lebih besar. Pendidikan dipandang sebagai peluang untuk berpindah dari kelas primitif ke kelas yang lebih tinggi. Edie menilai lembaga pendidikan merupakan jalur konkrit mobilitas vertikal ke atas, bahkan dianggap sebagai elevator (perangkat) sosial yang berpindah dari posisi awal yang rendah ke posisi yang lebih tinggi.[35]

Ada yang mengatakan bahwa pendidikan adalah jalan menuju mobilitas sosial. Pada zaman dahulu, hubungan kekerabatan (darah) menentukan status sosial seseorang, hal ini sulit dilakukan karena ketatnya sistem kelas yang berlaku pada saat itu. Banyak orang di bidang pendidikan percaya bahwa pendidikan bertekad untuk mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang. Dengan memperluas pendidikan dan meningkatkan standar pendidikan, diharapkan batas-batas antar kelompok sosial dapat dihilangkan. Kesempatan belajar yang setara diharapkan akan membuka jalan bagi setiap mahasiswa untuk memperoleh bidang pekerjaan yang diidam-idamkannya. Pendidikan wajib atau tradisional memberikan pengetahuan dan keterampilan yang setara kepada semua siswa dari semua kelompok sosial. Dengan cara ini, perbedaan kelompok sosial terkikis, meski tidak sepenuhnya hilang. Kenyataannya, mewujudkan cita-cita tersebut tidaklah mudah. Mereka semua merupakan alumni MTs 1 Watu Lempit dan mempunyai mobilitas sosial mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan menengah, menurut mereka pendidikan MTs 1 Watu Lempit meninggalkan kesan positif bagi setiap alumninya.Alumni MTs 1 Watu Lempit Pendidikan adalah sebuah jalan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik saat ini.

E. Kesimpulan

Mobilitas sosial adalah perubahan atau pergerakan naik atau turun kelas sosial yang dialami oleh suatu individu atau kelompok sosial. Pendidikan agama Islam dapat menjadi sarana meningkatkan mobilitas sosial. Ketika individu memiliki akses terhadap pendidikan agama yang berkualitas, hal itu membantu mereka memperoleh pengetahuan dan nilai-nilai yang memungkinkan mereka mencapai tingkat sosial yang lebih tinggi di masyarakat.

Mobilitas sosial dalam pendidikan agama Islam juga dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, akses terhadap pendidikan agama mungkin dibatasi oleh faktor keuangan, seperti biaya pendidikan atau akses terhadap fasilitas pendidikan yang baik. Pendidikan agama Islam juga dapat berperan penting dalam membentuk nilai, moral, dan etika seseorang sehingga mempengaruhi mobilitas sosialnya. 

Pendidikan agama Islam dapat memberikan landasan bagi perilaku positif dan partisipasi aktif dalam masyarakat. Penting untuk disadari bahwa mobilitas sosial dalam konteks pendidikan agama Islam tidak selalu merata. Perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya dapat mempengaruhi akses dan peluang terhadap pendidikan agama. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memastikan seluruh masyarakat mempunyai akses yang adil dan inklusif terhadap pendidikan agama Islam sehingga mereka dapat merasakan mobilitas sosial secara merata tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. 

Hasil penelitian menemukan bahwa seluruh alumni Mts 1 Watu Lempit berasal dari keluarga tidak mampu. Dalam menjelaskan konsep mobilitas sosial tujuan kelas, informan berhasil melakukan mobilitas sosial ke atas dan melampaui prestasi orang tuanya (ayah), berhasil menempatkan dirinya pada bidang pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan, keinginan, pendapatan, dan kemampuannya pribadi.

Perubahan yang dialami alumni masa kini mengarah pada ditemukannya konsep mobilitas kelas tujuan (kategori alumni saat ini) dan pada kesimpulan tentang mobilitas pada faktor pribadi, sehingga menimbulkan perubahan seperti: kemampuan, sikap terhadap mobilitas, status sosial dan perubahan ekonomi. kondisi. Seluruh narasumber mempunyai mobilitas sosial vertikal, artinya mengalami peningkatan status dan status sosial masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Maria,  dan Supangat. WAWASAN PENDIDIKAN, Kajian Teoritik dan Faktual Pendidikan. Palembang: Rafah Press, 2020.

Bakhtiar, Nurhasanah. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2018.

Effendi, Usman. SOSIOLOGI SUATU KONSEP DASAR. Banyumas: Wawasan Ilmu, 2021.

H, Amin, Analisis Status Pendidikan Terhadap Mobilitas Sosial Masyarakat Di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut. Meulaboh: Universitas Teuku Umar, 2016.

Idi, Abdullah dan Safarina. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta:Rajawali Pers, 2011 

Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, 2014. 

Kamilatunnisa. Mobilitas Sosial Pekerja K3L Universitas Padjadjaran. Jurnal Pekerjaan Sosial 1, no. 2 (2018): 67--76. 

Kurnia, Heri. SOSIOLOGI PENDIDIKAN. KOTA MALANG: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2021. 

Kurniawati, W., & Lestari, P. Mobilitas Sosial Nelayan Di Kawasan Pariwisata Pantai. Jurnal Pendidikan Sosiologi 7, no. 1 (2018): 1--15. 

Muhaimin, dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya, 1993

 Nasution, Aris. SOSIOLOGI PENDIDIKAN: Profesionalisme Pendidikan di Sekolah. Malang: CV ISMAYA BERKAH GROUP, 2019. 

Nurainiah, Khaidir, dan Abdi Yalida. Sosiologi Pendidikan Islam. Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad Zaini, 2022. 

Nurdin, Amir, dan ahmad abrori. Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami Konsep-konsep Sosiologi. Jakarta Selatan: CV Idayus, 2019.

Pattinasarany, E. R. I. Mobilitas Sosial Vertikal Antar Generasi: Kajian Terhadap Masyarakat Kota Di Provinsi Jawa Barat Dan Jawa Timur. Universitas Indonesia, 2012.

Pattinasarany, Indera Ratna Irawati, Stratifikasi dan Mobilitas Sosial. Jakarta:  Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Rohman, Arif. Memahami Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013 

Shaleh, Muhammad. ILMU PENDIDIKAN ISLAM (MENGULAS PENDEKATAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM STUDI ISLAM & HAKIKAT PENDIDIKAN BAGI MANUSIA). Yogyakarta: K-Media, 2021. 

S, Nasution. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

S. Nasution, Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Seknun, M. Y. Pendidikan Sebagai Media Mobilitas Sosial. Auladuna 2, no. 1 (2015): 131--141

Setyawati, Rufaida, Pemberdayaan Ekonimi Kelompok Miskin Melalui Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di DIY. Tesis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2002.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Sosiologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Soekidjo, Notoarmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakata: PT. Rineka Cipta, 2003.

Suwartiningsih, Sri. Pengantar Sosiologi, Salatiga: Griya Media, 2020

Suyanto, Pendidikan Karakter Teori dan Aplikasi, Jakarta: PR. Rineka Cipta, 2010.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun