Putriku ini, cucu tertua ayah dan ibuku. Sejak kecil, sangat dekat dengan kedua orang tuaku. Di awal- awal masa kelahirannya, putriku bahkan sempat kami titipkan untuk tinggal bersama kedua orang tuaku, untuk mendapatkan pemantauan medis dokter ahli sebab putriku sempat menunjukkan reaksi yang sangat sensitif pada imunisasi pertamanya.
Ibuku inilah yang kemudian, bersama denganku bekerja sama untuk memastikan bahwa walau aku dan bayiku terpisah jarak sekitar dua ratus kilometer, bayiku tetap bisa memperoleh ASI dariku.
Kelak di kemudian hari, saat lulus SMA, putriku diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota dimana rumah kedua orang tuaku berada . Maka kembalilah dia tinggal bersama kakek dan nenek, kedua orang tuaku.
Ayahku tak sempat menyaksikan putriku berangkat untuk kuliah ke luar negeri ini, sebab beliau berpulang beberapa saat setelah putriku menjadi mahasiswa. Maka hanya ibuku yang turut mengantarkan ke bandara.
Kutunjukkan gambar di telepon genggamku itu pada ibuku.
“ Yangti, “ kataku pada ibuku, “ Lihat, ini pesawatnya sekarang ada di atas selat ini.. “
Ibuku menatap gambar yang kutunjukkan. Walau sudah sepuh dan sampai saat ini telepon genggamnya sendiri masih menggunakan versi paling sederhana dan belum beralih ke smartphone, ibuku memahami bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan di telepon genggam kami putra- putri dan para cucu- cucunya.
“ Wah, “ komentarnya dengan gembira, “ Bisa dilihat ? “
Aku mengangguk.
“ Iya, bisa, “ kataku. “ Ini yangti, ini gambar pesawatnya, dan ini nama pilot yang menerbangkan pesawat tersebut. Ini, lihat, pesawatnya bergerak ke arah sini.. “
Ibuku tampak sangat gembira menemukan fakta bahwa kami bisa memantau pergerakan pesawat tersebut.