Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Legitimasi Negara Hukum Sedang Diuji : Ketika Pribadi Gibran Dibela oleh Negara

8 September 2025   23:46 Diperbarui: 9 September 2025   01:06 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (HARIAN DISWAY)

Legitimasi Negara Hukum Sedang Diuji: Ketika Pribadi Gibran Dibela Negara

Di ruang sidang yang seharusnya netral, negara memilih berdiri di sisi Gibran. Jaksa Pengacara Negara menjadi perpanjangan tangan pejabat, bukan penjaga kepentingan rakyat. Gugatan Subhan menempatkan Gibran sebagai individu, namun JPN hadir seakan membela negara dari ancaman pribadi. Legal standing dilupakan, logika hukum dipaksa menunduk pada status jabatan. Publik dibuat bingung, hukum seharusnya memisahkan kekuasaan dan keadilan, tetapi kenyataan berkata lain. Negara tampak berpihak, dan hukum menjadi instrumen perlindungan elit. Apakah ini masih layak disebut negara hukum?

Subhan dan Gibran sama-sama rakyat, namun hukum memperlakukan mereka berbeda. Rakyat biasa membawa gugatan dengan kemampuan terbatas, sedangkan pejabat memperoleh kuasa hukum dari negara. Ketimpangan ini menyalahi prinsip kesetaraan di depan hukum. Penunjukan JPN mengubah persidangan menjadi arena kekuatan, bukan keadilan. Hakim harus menghadapi tekanan yang tidak terlihat, menimbang fakta dan keberpihakan lembaga negara. Publik hanya menyaksikan bayangan ketidakadilan yang nyata. Ini bukan sekadar ketidaknyamanan prosedural, melainkan pengkhianatan terhadap moral hukum.

Keadilan prosedural seakan terkubur di balik wewenang JPN. Semua pihak seharusnya setara di hadapan hukum, tetapi ketimpangan kekuatan menghancurkan keseimbangan. Hakim menjadi penyeimbang dalam badai intervensi ini. Setiap putusan akan diuji bukan hanya oleh hukum, tapi oleh persepsi publik tentang netralitas negara. Rakyat menuntut keadilan, bukan perlindungan pejabat. Dengan intervensi semacam ini, asas procedural fairness menjadi fatamorgana yang sulit dicapai. Publik mulai meragukan apakah pengadilan benar-benar benteng hukum.

Keadilan substantif pun terguncang. Gugatan terhadap Gibran tidak menyentuh kepentingan negara secara langsung, namun JPN bertindak seolah kerugian negara mengintai di setiap kata gugatan. Substansi hukum dikaburkan oleh kepentingan pribadi yang dilindungi oleh kekuatan negara. Perlakuan berbeda terhadap rakyat dan pejabat melemahkan kepercayaan publik. Hukum bukan lagi alat menegakkan kebenaran, melainkan alat proteksi bagi elit. Ketidakadilan substantif ini semakin menegaskan ketidaknetralan negara. Publik merasakan ketegangan antara hukum dan kekuasaan.

Asumsi JPN  bahwa gugatan pribadi bisa mengganggu kinerja wapres adalah logika yang dipaksakan. Gibran bisa menunjuk kuasa hukum profesional tanpa harus melibatkan negara. Aktivitas resmi tidak otomatis terganggu oleh proses hukum pribadi. Namun JPN hadir, menciptakan kesan hukum tunduk pada status sosial. Ketidaklogisan ini membingungkan publik, memperburuk krisis kepercayaan. Hukum dipersepsikan sebagai alat proteksi, bukan perlindungan rakyat. Negara menempatkan kepentingan individu di atas prinsip hukum.

Risiko preseden hukum mengintai. Pejabat lain bisa menuntut perlindungan negara untuk urusan pribadi. Ketimpangan ini melemahkan prinsip kesetaraan. Rakyat akan menghadapi hukum yang tajam hanya untuk mereka yang biasa, tetapi tumpul bagi pejabat. Negara harus menegakkan hukum, bukan menjadi pelindung pribadi elit. Preseden ini akan memperkuat ketidakadilan struktural. Negara hukum tidak boleh dijadikan alat kepentingan.

Hakim berada di pusat ujian integritas. Sebagai benteng negara hukum, mereka harus menahan tekanan dari kekuatan yang berpihak. Independensi menjadi senjata utama menghadapi ketidaknetralan ini. Keadilan prosedural menuntut kesetaraan, sementara substantif menuntut keputusan berdasarkan fakta. Tekanan aparat negara menjadi ujian moral dan profesional. Publik menunggu putusan yang mencerminkan keberanian hakim. Inilah momen penentuan legitimasi lembaga peradilan.

Dampak terhadap kepercayaan publik terasa mengerikan. Keberpihakan aparat negara mengikis legitimasi institusi hukum. Rakyat akan menilai hukum hanya melindungi pejabat. Skeptisisme terhadap penegakan hukum tumbuh subur. Ketidaknetralan ini merusak fondasi negara hukum. Publik merasakan ketidakadilan yang nyata. Hukum seakan menjadi cermin bagi ketidakadilan struktural.

Moral hukum publik dicederai secara terang-terangan. Aparat negara seharusnya menegakkan hukum, bukan melayani kepentingan individu pejabat. Intervensi dalam perkara pribadi menciptakan kesan hukum diperalat oleh elit. Ketidakadilan prosedural dan substantif menjadi jelas di mata masyarakat. Negara hukum bukan sekadar retorika, tapi tanggung jawab institusional. Publik berhak menuntut transparansi dan perlakuan setara. Hakim sebagai benteng hukum harus teguh menghadapi badai ini.

Kesimpulan provokatifnya jelas: legitimasi negara hukum sedang diuji. Penunjukan JPN untuk membela pribadi Gibran menegaskan ketidaknetralan negara. Hakim harus menegakkan hukum secara adil tanpa memihak, menghadapi tekanan politik dan kekuatan aparat. Rakyat harus terus mengawasi proses hukum dan menuntut transparansi. Negara hukum hanya dapat ditegakkan jika lembaga negara memegang prinsip kesetaraan. Perlindungan pejabat tidak boleh mengorbankan keadilan publik. Ini adalah momen reflektif bagi bangsa, menilai sejauh mana hukum benar-benar melindungi rakyat, bukan kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun