Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengadili Niat Baik : Rasionalitas Pertanggung- jawaban Pidana dalam Kasus Tom Lembong

13 Juli 2025   21:15 Diperbarui: 13 Juli 2025   22:53 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengadili Niat Baik: Rasionalitas Pertanggungjawaban Pidana dalam Kasus Tom Lembong 

1. Pendahuluan: Masalah Utama dalam Penegakan Hukum Pidana Administrasi Negara

Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Thomas Trikasih Lembong, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kembali membuka ruang diskusi yang sangat krusial dalam bidang penegakan hukum pidana di Indonesia. Lembong dituduh bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul dari kebijakan impor gula, padahal Jaksa Penuntut Umum sendiri menyatakan bahwa Lembong tidak pernah mendapatkan keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.

Kasus ini menjadi sangat penting karena berhadapan dengan dua prinsip hukum yang kerap menimbulkan konflik: perlindungan terhadap aset negara dari korupsi dan keadilan bagi pejabat publik yang bertindak dalam kapasitas jabatan dan niat baik.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dengan jernih dan rasional adalah:

Apakah setiap kerugian negara secara otomatis membuktikan adanya tindak pidana dan layak untuk dihukum?

Sejarah yurisprudensi di Indonesia dan di negara lain menunjukkan bahwa pemidanaan semata atas dasar kerugian tanpa unsur niat jahat berpotensi mencederai rasa keadilan dan menciptakan efek buruk yang luas bagi tata kelola pemerintahan.

Sebagai refleksi yang sangat relevan, putusan Mahkamah Agung terhadap Akbar Tanjung, yang membebaskan beliau dari tuduhan penyalahgunaan dana Bulog, menjadi preseden yang harus dipelajari dan dikaji ulang secara mendalam. Kasus itu mengajarkan bahwa aspek niat jahat harus menjadi perhatian utama dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana.

2. Kerangka Hukum: Apa Itu Pertanggungjawaban Pidana?

Pertanggungjawaban pidana merupakan fondasi dari sistem hukum pidana yang berkeadilan. Tidak sekadar soal akibat dari sebuah perbuatan, pertanggungjawaban pidana menuntut adanya kesalahan secara hukum dan moral yang dapat dibuktikan.

Untuk menegakkan hukum pidana dengan tepat, terdapat tiga unsur fundamental yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum:

  • Actus Reus: Perbuatan yang melawan hukum, yang nyata dan dapat dibuktikan secara objektif melalui fakta dan bukti.

  • Mens Rea: Sikap batin yang bersalah, mencakup niat jahat, kesadaran akan kesalahan, atau kelalaian berat yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan.

  • Kausalitas: Hubungan sebab-akibat yang jelas dan logis antara perbuatan dan akibat hukum yang terjadi.

Ketiga unsur ini bukan hanya teori, melainkan pilar yang menjaga agar hukum pidana tidak menjadi alat sewenang-wenang.

Dalam praktek, sering terjadi kesalahpahaman bahwa kerugian negara yang nyata cukup untuk menghukum seseorang. Padahal, tanpa mens rea, pemidanaan kehilangan legitimasi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

3. Niat Jahat (Mens Rea): Unsur yang Tidak Boleh Diabaikan

Mens rea, atau niat jahat, adalah inti dari pertanggungjawaban pidana yang adil dan manusiawi. Ia lebih dari sekadar “mau berbuat jahat”; mens rea adalah kesadaran pelaku bahwa perbuatannya salah dan berpotensi merugikan orang lain atau negara.

Dalam konteks pejabat publik, mens rea memiliki dimensi khusus, yakni:

  • Kesengajaan memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum, misalnya melalui kolusi, suap, atau manipulasi prosedur.

  • Motif tersembunyi yang tidak berorientasi pada kepentingan umum, melainkan kepentingan pribadi atau kelompok.

  • Kebijakan yang diambil berdasarkan kewenangan jabatan dan prosedur resmi, tanpa adanya niat memperkaya diri atau merugikan secara sengaja, tidak memenuhi unsur niat jahat.

Seringkali, kesalahan terjadi karena faktor lain, seperti kurangnya informasi, perubahan situasi pasar, atau kesalahan administratif yang tidak disengaja. Hal-hal ini tidak boleh disamakan dengan tindak pidana.

Penegakan hukum pidana yang mengabaikan mens rea akan merusak moral birokrat dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Dalam putusan kasasi No. 572 K/Pid./2003, Mahkamah Agung membatalkan putusan bersalah dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap Akbar Tanjung, yang dituduh menyalahgunakan dana non-budgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. MA membebaskannya dengan sejumlah pertimbangan hukum yang sangat penting:

1. Tidak adanya niat jahat (mens rea) dalam pelaksanaan tugasnya.

2. Tidak ditemukan keuntungan pribadi yang diterima dari pelaksanaan kebijakan.

3. Tidak ada kesadaran dan keinginan untuk merugikan negara.

4. Tindakan dilakukan dalam koridor jabatan dan mekanisme birokrasi formal.

Putusan ini menjadi tonggak yurisprudensi yang menjelaskan bahwa:

“Tidak semua akibat merugikan harus disikapi sebagai tindak pidana. Hukum pidana tidak bisa diberlakukan pada kekeliruan administratif atau kebijakan yang hasilnya meleset.”

Yurisprudensi ini mengingatkan bahwa negara hukum tidak boleh menjebak para pejabat ke dalam kerangkeng pidana hanya karena hasil kebijakannya tidak sesuai harapan. Karena jika demikian, maka kita sedang merancang penjara bagi siapa saja yang berani mengambil keputusan dalam birokrasi.

4. Teori Kesalahan: Pandangan Civil Law dan Common Law

Dalam membahas mens rea, kita perlu merujuk pada dua tradisi hukum besar yang memberi kerangka konseptual:

  • Civil Law (Hukum Eropa Kontinental), diwakili oleh pemikiran Hans-Heinrich Jescheck, menyatakan bahwa:

    “Kesalahan adalah penghubung moral antara pelaku dan perbuatan. Tanpa kesalahan, tak ada pertanggungjawaban pidana.”

    Jescheck menegaskan bahwa tanpa niat jahat atau kesalahan, perbuatan yang menimbulkan kerugian bukanlah tindak pidana.

  • Common Law (Hukum Anglo-Saxon), dengan tokoh seperti Oliver Wendell Holmes Jr., berpendapat:

    “Even a dog distinguishes between being stumbled over and being kicked.”

    Ungkapan ini menekankan bahwa unsur niat atau kesengajaan adalah pembeda antara tindakan yang dapat dipidana dan yang tidak.

Selain itu, Model Penal Code (MPC) Amerika Serikat mengklasifikasikan tingkatan kesalahan menjadi:

  • Purposefully (sengaja)
  • Knowingly (sadar)
  • Recklessly (ceroboh)
  • Negligently (lalai)

Hanya tingkatan tertentu yang memenuhi syarat untuk pemidanaan, menegaskan perlunya pembuktian sikap batin pelaku.

Pemahaman lintas tradisi ini memperkuat argumentasi bahwa mens rea adalah syarat mutlak dalam hukum pidana.

5. Analisis Kasus Tom Lembong: Tidak Ada Unsur Kesalahan Pidana

Dalam perkara Tom Lembong, Jaksa Penuntut Umum secara terang-terangan menyatakan:

“Terdakwa tidak memperoleh keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula.”

Hal ini merupakan fakta hukum yang sangat menentukan. Lembong menjalankan tugasnya dalam kapasitas jabatan resmi dan sesuai prosedur yang berlaku, tanpa adanya bukti kolusi, suap, atau penyalahgunaan kewenangan.

Tidak ditemukan bukti niat memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Kebijakan impor gula mungkin menimbulkan kerugian negara, namun tidak disertai dengan unsur kesengajaan atau kelalaian berat yang memenuhi unsur pidana.

Jika kita merujuk pada prinsip hukum dan preseden di atas, dakwaan pidana terhadap Lembong tidak memenuhi syarat formil dan materiil untuk dijadikan dasar pemidanaan.

Kasus ini mengajarkan bahwa penggunaan hukum pidana harus sangat hati-hati, terutama terhadap pejabat publik yang membuat keputusan strategis dengan data dan informasi yang terbatas.

6. Jika Ada Kerugian Negara, Siapa yang Sebenarnya Bertanggung Jawab?

Kebijakan impor gula memang bisa menyebabkan kerugian negara. Tapi kerugian ekonomi berbeda dengan kejahatan hukum. Kerugian ekonomi bisa bersumber dari:

- Fluktuasi pasar

- Prediksi yang meleset

- Keputusan yang didasarkan pada data yang tersedia saat itu

- Pengaruh eksternal yang tak bisa dikendalikan

Jika negara benar-benar dirugikan, maka pertanyaannya bukan siapa yang mengambil keputusan, tetapi:

- Siapa yang mendapat keuntungan tidak sah?

-Apakah keuntungan itu berasal dari pelanggaran hukum?

- Apakah ada kolusi yang terbukti?

- Apakah pejabatnya menyembunyikan fakta, mengarahkan kebijakan, atau menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pihak tertentu?

Jika tidak, maka tuduhan pidana kehilangan dasar logis dan normatifnya.

7. Refleksi Hukum: Bahaya Menghukum Niat Baik

Mengadili pejabat yang bertindak dengan itikad baik namun mengalami kegagalan atau dampak negatif dari kebijakan adalah praktik yang berbahaya dan merugikan berbagai pihak, antara lain:

  • Ketakutan sistemik dalam birokrasi: Pejabat menjadi takut mengambil keputusan yang berani dan inovatif karena khawatir akan dipidanakan.

  • Kemandekan pengambilan kebijakan strategis: Ketakutan hukum membuat pejabat memilih jalan aman yang konservatif, menghambat kemajuan dan penyesuaian kebijakan dengan dinamika zaman.

  • Penyalahgunaan hukum pidana sebagai alat politik: Tanpa pembuktian niat jahat, hukum pidana dapat dijadikan alat untuk menjatuhkan lawan politik atau melakukan pencitraan.

  • Erosi moral birokrasi: Semangat melayani publik bisa tergantikan oleh rasa takut dan pencitraan demi menghindari jerat hukum.

Dalam konteks negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, hukum pidana harus menjaga rasionalitas, proporsionalitas, dan keadilan.

8. Penutup: Saat Hukum Kehilangan Akal Sehat

Ketika hukum pidana digunakan tanpa memperhatikan unsur mens rea, ia berubah menjadi alat kekuasaan yang represif dan menindas, bukan sebagai instrumen keadilan.

Kasus Tom Lembong adalah ilustrasi nyata di mana:

“Negara mengadili niat baik dengan hukuman yang tidak layak.”

Ini adalah peringatan keras bahwa tanpa pembuktian niat jahat, proses hukum justru dapat melahirkan ketidakadilan dan menghancurkan moral aparatur negara.

Oleh karena itu, penegakan hukum di Indonesia harus kembali kepada asas fundamental:

“Nulla poena sine culpa”, tiada pidana tanpa kesalahan dan niat jahat yang terbukti.

Prinsip ini bukan hanya melindungi individu dari penindasan hukum, tetapi juga menjamin keberlangsungan birokrasi yang sehat, tata kelola pemerintahan yang rasional, dan negara yang kuat.

Keadilan akan tercapai bila hukum mampu membedakan dengan jelas antara kesalahan yang disengaja dan kesalahan yang tidak disengaja, serta antara niat jahat dan niat baik yang berujung kegagalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun