Seringkali, kesalahan terjadi karena faktor lain, seperti kurangnya informasi, perubahan situasi pasar, atau kesalahan administratif yang tidak disengaja. Hal-hal ini tidak boleh disamakan dengan tindak pidana.
Penegakan hukum pidana yang mengabaikan mens rea akan merusak moral birokrat dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Dalam putusan kasasi No. 572 K/Pid./2003, Mahkamah Agung membatalkan putusan bersalah dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap Akbar Tanjung, yang dituduh menyalahgunakan dana non-budgeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. MA membebaskannya dengan sejumlah pertimbangan hukum yang sangat penting:
1. Tidak adanya niat jahat (mens rea) dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Tidak ditemukan keuntungan pribadi yang diterima dari pelaksanaan kebijakan.
3. Tidak ada kesadaran dan keinginan untuk merugikan negara.
4. Tindakan dilakukan dalam koridor jabatan dan mekanisme birokrasi formal.
Putusan ini menjadi tonggak yurisprudensi yang menjelaskan bahwa:
“Tidak semua akibat merugikan harus disikapi sebagai tindak pidana. Hukum pidana tidak bisa diberlakukan pada kekeliruan administratif atau kebijakan yang hasilnya meleset.”
Yurisprudensi ini mengingatkan bahwa negara hukum tidak boleh menjebak para pejabat ke dalam kerangkeng pidana hanya karena hasil kebijakannya tidak sesuai harapan. Karena jika demikian, maka kita sedang merancang penjara bagi siapa saja yang berani mengambil keputusan dalam birokrasi.
4. Teori Kesalahan: Pandangan Civil Law dan Common Law