Tukang Roti dan "Invisible Hand" Adam Smith dalam Ekonomi Kapital
Pendahuluan
Bayangkan pagi-pagi buta, seorang tukang roti sudah sibuk di dapurnya. Ia menakar tepung, mencampur adonan, memeriksa fermentasi, lalu mengatur panas oven dengan cermat. Bukan karena ia mencintai kita atau ingin menyejahterakan bangsa, tapi semata mata karena ia ingin jualan rotinya laku, agar ia bisa menghidupi keluarganya dan melanjutkan usahanya. Ia tidak sedang melakukan amal, ia hanya bekerja, seperti biasa.
Terdengar egois? Tidak menurut Adam Smith, filsuf moral berkebangsaan Skotlandia yang kini dikenang sebagai bapak ekonomi klasik.
Dalam bukunya yang monumental, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776), Smith menyampaikan ide yang begitu sederhana namun revolusioner. Ia menulis:
"Kita tidak mendapatkan makan malam dari kebaikan hati tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti, tetapi dari kepentingan mereka sendiri."
Dengan kata lain, manusia memang digerakkan oleh self-interest, kepentingan pribadi. Namun justru karena itulah, masyarakat bisa makan, berdagang, bekerja, dan bertahan hidup.
Menurut Smith, saat setiap individu bebas mengejar kepentingannya dalam sistem pasar yang terbuka dan kompetitif, muncul suatu mekanisme alami yang menyelaraskan tindakan-tindakan pribadi itu menjadi hasil kolektif yang menguntungkan bagi banyak orang. Ia menyebutnya sebagai "tangan tak terlihat" (invisible hand), sebuah kekuatan tersembunyi yang membuat kepentingan pribadi bisa berbuah kebaikan sosial.
Ini adalah paradoks yang menantang intuisi kita: bagaimana mungkin keegoisan pribadi justru menghasilkan keteraturan sosial dan kemakmuran bersama? Tapi inilah inti dari filosofi ekonomi pasar bebas yang masih menjadi dasar banyak sistem ekonomi modern.
Perumpamaan tukang roti bukan sekadar cerita tentang adonan dan oven. Ia adalah jendela untuk memahami logika dasar kapitalisme, kepercayaan pada kebebasan individu dalam kegiatan ekonomi, serta keyakinan bahwa dalam kondisi pasar yang sehat, dorongan pribadi bisa menjadi motor kolektif bagi kemajuan masyarakat.
Roti dan Rantai Ekonomi
Kembali ke si tukang roti tadi. Ia memang tidak sedang berdonasi atau membagikan roti gratis. Ia hanya ingin jualan rotinya laku. Ia bekerja demi untung, demi nafkah, demi kebutuhan hidupnya sendiri.
Tapi lihatlah lebih dekat proses yang ia jalani. Untuk menghasilkan satu loyang roti yang hangat dan harum, ia butuh bahan dan alat dari berbagai pihak:
- Gandum ia beli dari petani di desa.
- Telur dan mentega dari peternak lokal atau toko kelontong di pasar.
- Gas dan listrik dari perusahaan penyedia energi.
- Bahkan alat pemanggang, mixer, loyang, dan kemasan---semuanya datang dari para produsen dan distributor lainnya.
Artinya, setiap kali ia membuat roti, secara tidak langsung ia menghidupkan rantai ekonomi yang panjang: dari petani di sawah, pedagang di pasar, teknisi listrik, sampai supir truk pengantar barang. Semua terlibat. Semua mendapatkan manfaat.
Jadi meskipun niatnya hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi, yakni mencari penghasilan, tindakannya ikut mendorong perputaran uang, menciptakan lapangan kerja, dan menyambung hidup banyak orang. Ia tidak sedang melakukan amal, tapi dampaknya terasa seperti berkah bagi orang lain.
Inilah yang disebut Adam Smith sebagai keajaiban pasar bebas. Ketika semua individu diberi ruang untuk bertindak berdasarkan kepentingannya masing-masing, dalam sistem yang terbuka dan kompetitif, hasilnya bisa seperti orkestra: teratur meski tanpa konduktor.
Smith menyebut ini sebagai "tangan tak terlihat" (invisible hand), mekanisme alami yang menyelaraskan kepentingan individu dengan kepentingan sosial. Tidak ada paksaan, tidak perlu ada rencana sentral. Yang diperlukan hanyalah kebebasan berusaha, kepastian hukum, dan keterbukaan akses.
Selama barang dan jasa bisa mengalir bebas, pelaku usaha bisa bersaing secara adil, dan hak-hak semua pihak dilindungi, maka pasar akan menemukan keseimbangannya sendiri. Harga akan terbentuk secara wajar, produksi akan menyesuaikan permintaan, dan sumber daya akan digunakan secara efisien.
Tukang roti hanyalah satu contoh kecil. Tapi dari roti yang ia panggang, kita bisa memahami mekanisme besar yang menggerakkan ekonomi modern. Sebuah sistem yang, jika dikelola dengan prinsip keadilan dan kebebasan, bisa menjadi instrumen kuat untuk menciptakan kemakmuran bersama.
Adagium Lama, Gema yang Abadi
Pemikiran Adam Smith tentang pasar bebas sebenarnya tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dari semangat zaman, dari gelombang besar Pencerahan (Enlightenment) di Eropa, di mana kebebasan individu mulai dianggap lebih penting daripada kontrol raja dan negara. Salah satu semboyan yang bergema kuat kala itu berasal dari Prancis:
"Laissez-faire, laissez-passer"
(Biarkan mereka berbuat, biarkan barang lewat)
Semboyan ini bukan sekadar slogan. Ia mencerminkan filosofi ekonomi yang percaya bahwa manusia akan lebih produktif jika tidak dibebani terlalu banyak aturan. Bahwa pasar akan menemukan jalannya sendiri jika tidak dikekang dengan regulasi yang berlebihan.
Adam Smith sejalan dengan semangat ini. Tapi penting untuk dicatat: Smith bukan seorang anarkis ekonomi. Ia tidak sedang menyuruh negara untuk mundur sepenuhnya dan membiarkan kekuatan pasar berjalan liar tanpa kendali. Tidak. Yang ia perjuangkan adalah peran negara yang terbatas tapi jelas dan kuat.
Dalam pandangannya, tugas negara ada tiga:
- Menjaga keamanan dan ketertiban, agar setiap orang bisa bekerja dan berdagang tanpa rasa takut.
- Menegakkan hukum dan keadilan, agar hak milik dilindungi dan kontrak dihormati.
- Membangun infrastruktur dan fasilitas umum yang tidak bisa disediakan secara efisien oleh sektor swasta, seperti jalan raya, jembatan, atau sistem pendidikan dasar.
Di luar itu? Biarlah masyarakat bergerak sendiri. Biarlah produsen dan konsumen saling mencari dan menemukan. Biarlah harga naik dan turun sesuai permintaan dan penawaran. Biarlah usaha kecil dan besar bersaing dengan inovasi, bukan dengan koneksi.
Dalam dunia seperti ini, negara bukan pusat segalanya. Ia justru menjadi wasit yang netra, menjaga aturan main, bukan ikut bermain. Ia tidak membatasi kreativitas pasar, tapi memastikan agar kompetisi berlangsung adil dan tidak merugikan masyarakat.
Itulah semangat laissez-faire yang dihidupkan kembali oleh Smith dalam konteks Inggris Raya abad ke-18, dan yang gema filosofinya terus bergema hingga hari ini, bahkan ketika dunia sudah berubah drastis.
Tapi Dunia Tak Sesederhana Itu
Tentu saja, konsep pasar bebas ala Adam Smith bukan tanpa syarat. Ia bukan resep sakti yang bisa bekerja di sembarang keadaan. Ada prasyarat penting yang kerap terlupakan: pasar harus adil, terbuka, dan kompetitif.
Bayangkan jika semua ladang gandum dikuasai satu konglomerat. Harga tepung bisa dimonopoli, petani kecil tersingkir, dan tukang roti tak punya pilihan selain membeli dengan harga tinggi. Atau, jika listrik hanya disediakan oleh satu perusahaan raksasa yang bisa menaikkan tarif semaunya tanpa pengawasan, apakah tukang roti masih bisa bertahan?
Di situ, "tangan tak terlihat" yang katanya bekerja harmonis bisa berubah menjadi "tangan yang menampar", menyakitkan dan semena-mena. Bukan karena konsep Smith salah, tapi karena fondasi yang menopang mekanisme pasar sudah runtuh: kompetisi mati, akses tak merata, dan kekuasaan ekonomi terkonsentrasi.
Itulah sebabnya, dalam dunia modern, kita tidak bisa hanya mengandalkan logika pasar murni. Kita butuh:
- Regulasi yang adil untuk mencegah praktik curang, membatasi monopoli, dan melindungi pelaku usaha kecil.
- Etika bisnis agar pelaku ekonomi tidak hanya berpikir soal untung, tapi juga dampak sosial dari setiap keputusan.
- Kebijakan redistributif agar hasil dari pertumbuhan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir orang.
Dengan kata lain, kebebasan pasar bukan berarti tanpa batas. Ia harus dikawal, diawasi, dan dilengkapi dengan nilai-nilai keadilan. Bukan untuk membatasi kreativitas, tapi untuk memastikan agar tidak ada yang tumbuh terlalu besar hingga menelan yang kecil.
Adam Smith sendiri bukan pemuja pasar yang buta. Ia seorang filsuf moral yang paham bahwa ekonomi harus berpijak pada rasa keadilan. Dalam karya sebelumnya, The Theory of Moral Sentiments, ia menekankan pentingnya empati, keadilan, dan moralitas dalam kehidupan manusia.
Jadi kalau hari ini kita bicara pasar bebas, jangan lupa: bebas bukan berarti liar. Kebebasan yang sehat justru tumbuh dalam bingkai aturan dan nilai, agar manfaat ekonomi bisa benar-benar dirasakan oleh sebanyak mungkin orang.
Penutup: Antara Roti dan Prinsip Ekonomi KapitalÂ
Si tukang roti dalam cerita Smith mungkin tidak pernah membaca teori ekonomi. Ia tidak tahu soal "invisible hand", apalagi paham adagium Prancis "laissez-faire". Tapi setiap kali ia membuka tokonya, menyalakan oven, dan menyambut pelanggan, ia sedang menjadi bagian dari sistem besar bernama kapitalisme pasar.
Ia bekerja demi dirinya sendiri, ingin menafkahi keluarga, membayar tagihan, menabung untuk masa depan. Tapi tanpa sadar, ia juga sedang menggerakkan roda ekonomi. Ia menciptakan permintaan, memberi pekerjaan, dan ikut memutar arus uang di lingkungan sekitarnya. Dari petani gandum hingga pedagang eceran, dari karyawan bank sampai pengantar logistik, semuanya ikut merasakan denyut ekonomi dari roti yang ia jual.
Dan di situlah kejeniusan Adam Smith: menemukan keteraturan dalam kekacauan, menemukan harmoni dalam egoisme. Ia menunjukkan bahwa saat orang bebas mengejar kepentingannya dalam sistem yang adil dan kompetitif, hasilnya bisa membentuk tatanan sosial yang lebih sejahtera.
Tentu, dunia tidak selalu berjalan seideal itu. Kita telah melihat pasar yang digerakkan oleh keserakahan, korporasi yang tumbuh tanpa batas, dan konsumen yang tak punya pilihan. Tapi justru karena itu, memahami Smith menjadi semakin penting, bukan untuk dipuja, tapi untuk dikaji dan dikritisi. Agar prinsip pasar tidak melenceng jauh dari tujuannya: menyejahterakan banyak orang.
Jadi, kalau hari ini Anda menikmati roti hangat dari warung langganan, mungkin itu bukan karena kasih atau rasa cinta dari si tukang roti. Mungkin itu karena ia ingin untung. Tapi justru karena sistem ini memungkinkan egoisme diarahkan pada manfaat bersama, itulah yang membuat ekonomi, dalam versinya yang sehat, menjadi begitu indah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI