Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tukang Roti dan "Invisible Hand" Adam Smith dalam Ekonomi Kapital

4 Juni 2025   22:07 Diperbarui: 5 Juni 2025   10:21 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ( Kreasi Pribadi)

Dengan kata lain, kebebasan pasar bukan berarti tanpa batas. Ia harus dikawal, diawasi, dan dilengkapi dengan nilai-nilai keadilan. Bukan untuk membatasi kreativitas, tapi untuk memastikan agar tidak ada yang tumbuh terlalu besar hingga menelan yang kecil.

Adam Smith sendiri bukan pemuja pasar yang buta. Ia seorang filsuf moral yang paham bahwa ekonomi harus berpijak pada rasa keadilan. Dalam karya sebelumnya, The Theory of Moral Sentiments, ia menekankan pentingnya empati, keadilan, dan moralitas dalam kehidupan manusia.

Jadi kalau hari ini kita bicara pasar bebas, jangan lupa: bebas bukan berarti liar. Kebebasan yang sehat justru tumbuh dalam bingkai aturan dan nilai, agar manfaat ekonomi bisa benar-benar dirasakan oleh sebanyak mungkin orang.

Penutup: Antara Roti dan Prinsip Ekonomi Kapital 

Si tukang roti dalam cerita Smith mungkin tidak pernah membaca teori ekonomi. Ia tidak tahu soal "invisible hand", apalagi paham adagium Prancis "laissez-faire". Tapi setiap kali ia membuka tokonya, menyalakan oven, dan menyambut pelanggan, ia sedang menjadi bagian dari sistem besar bernama kapitalisme pasar.

Ia bekerja demi dirinya sendiri, ingin menafkahi keluarga, membayar tagihan, menabung untuk masa depan. Tapi tanpa sadar, ia juga sedang menggerakkan roda ekonomi. Ia menciptakan permintaan, memberi pekerjaan, dan ikut memutar arus uang di lingkungan sekitarnya. Dari petani gandum hingga pedagang eceran, dari karyawan bank sampai pengantar logistik, semuanya ikut merasakan denyut ekonomi dari roti yang ia jual.

Dan di situlah kejeniusan Adam Smith: menemukan keteraturan dalam kekacauan, menemukan harmoni dalam egoisme. Ia menunjukkan bahwa saat orang bebas mengejar kepentingannya dalam sistem yang adil dan kompetitif, hasilnya bisa membentuk tatanan sosial yang lebih sejahtera.

Tentu, dunia tidak selalu berjalan seideal itu. Kita telah melihat pasar yang digerakkan oleh keserakahan, korporasi yang tumbuh tanpa batas, dan konsumen yang tak punya pilihan. Tapi justru karena itu, memahami Smith menjadi semakin penting, bukan untuk dipuja, tapi untuk dikaji dan dikritisi. Agar prinsip pasar tidak melenceng jauh dari tujuannya: menyejahterakan banyak orang.

Jadi, kalau hari ini Anda menikmati roti hangat dari warung langganan, mungkin itu bukan karena kasih atau rasa cinta dari si tukang roti. Mungkin itu karena ia ingin untung. Tapi justru karena sistem ini memungkinkan egoisme diarahkan pada manfaat bersama, itulah yang membuat ekonomi, dalam versinya yang sehat, menjadi begitu indah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun