Semboyan ini bukan sekadar slogan. Ia mencerminkan filosofi ekonomi yang percaya bahwa manusia akan lebih produktif jika tidak dibebani terlalu banyak aturan. Bahwa pasar akan menemukan jalannya sendiri jika tidak dikekang dengan regulasi yang berlebihan.
Adam Smith sejalan dengan semangat ini. Tapi penting untuk dicatat: Smith bukan seorang anarkis ekonomi. Ia tidak sedang menyuruh negara untuk mundur sepenuhnya dan membiarkan kekuatan pasar berjalan liar tanpa kendali. Tidak. Yang ia perjuangkan adalah peran negara yang terbatas tapi jelas dan kuat.
Dalam pandangannya, tugas negara ada tiga:
- Menjaga keamanan dan ketertiban, agar setiap orang bisa bekerja dan berdagang tanpa rasa takut.
- Menegakkan hukum dan keadilan, agar hak milik dilindungi dan kontrak dihormati.
- Membangun infrastruktur dan fasilitas umum yang tidak bisa disediakan secara efisien oleh sektor swasta, seperti jalan raya, jembatan, atau sistem pendidikan dasar.
Di luar itu? Biarlah masyarakat bergerak sendiri. Biarlah produsen dan konsumen saling mencari dan menemukan. Biarlah harga naik dan turun sesuai permintaan dan penawaran. Biarlah usaha kecil dan besar bersaing dengan inovasi, bukan dengan koneksi.
Dalam dunia seperti ini, negara bukan pusat segalanya. Ia justru menjadi wasit yang netra, menjaga aturan main, bukan ikut bermain. Ia tidak membatasi kreativitas pasar, tapi memastikan agar kompetisi berlangsung adil dan tidak merugikan masyarakat.
Itulah semangat laissez-faire yang dihidupkan kembali oleh Smith dalam konteks Inggris Raya abad ke-18, dan yang gema filosofinya terus bergema hingga hari ini, bahkan ketika dunia sudah berubah drastis.
Tapi Dunia Tak Sesederhana Itu
Tentu saja, konsep pasar bebas ala Adam Smith bukan tanpa syarat. Ia bukan resep sakti yang bisa bekerja di sembarang keadaan. Ada prasyarat penting yang kerap terlupakan: pasar harus adil, terbuka, dan kompetitif.
Bayangkan jika semua ladang gandum dikuasai satu konglomerat. Harga tepung bisa dimonopoli, petani kecil tersingkir, dan tukang roti tak punya pilihan selain membeli dengan harga tinggi. Atau, jika listrik hanya disediakan oleh satu perusahaan raksasa yang bisa menaikkan tarif semaunya tanpa pengawasan, apakah tukang roti masih bisa bertahan?
Di situ, "tangan tak terlihat" yang katanya bekerja harmonis bisa berubah menjadi "tangan yang menampar", menyakitkan dan semena-mena. Bukan karena konsep Smith salah, tapi karena fondasi yang menopang mekanisme pasar sudah runtuh: kompetisi mati, akses tak merata, dan kekuasaan ekonomi terkonsentrasi.
Itulah sebabnya, dalam dunia modern, kita tidak bisa hanya mengandalkan logika pasar murni. Kita butuh:
- Regulasi yang adil untuk mencegah praktik curang, membatasi monopoli, dan melindungi pelaku usaha kecil.
- Etika bisnis agar pelaku ekonomi tidak hanya berpikir soal untung, tapi juga dampak sosial dari setiap keputusan.
- Kebijakan redistributif agar hasil dari pertumbuhan ekonomi tidak hanya menguntungkan segelintir orang.