Saya tidak ingin menjadi bagian dari arus yang menyesatkan itu.
Saya berpihak pada Logos, bukan hanya sebagai konsep filsafat, tapi sebagai jiwa dari keberadaan saya.
Dalam setiap tindakan, keputusan, dan pemikiran, saya bertanya: apakah ini selaras dengan rasio? Apakah ini pantas bagi makhluk yang diberi kehormatan untuk berpikir?
Karena pada akhirnya, hanya dengan setia pada Logos, manusia dapat benar-benar hidup sebagai manusia.
Penutup: Mengapa Ini Relevan Hari Ini?
Di zaman ketika post-truth menjadi norma sosial, ketika algoritma menentukan apa yang kita anggap benar, dan ketika opini pribadi diperlakukan setara dengan kebenaran universal, kita menyaksikan kemunduran akal sebagai fondasi peradaban. Relativisme menjelma menjadi dogma baru. Fakta dikaburkan oleh narasi. Rasio dilecehkan oleh emosi. Dunia tampak seperti panggung besar yang dipenuhi oleh suara-suara keras, tapi kehilangan makna yang mendalam.
Di tengah kekacauan ini, kita harus kembali kepada Logos. Bukan karena kita ingin melarikan diri ke masa lalu, tetapi karena nilai-nilai abadi tidak pernah kadaluarsa. Logos bukan sekadar konsep tua dari filsafat Yunani; ia adalah obor kesadaran yang menuntun kita melewati gelapnya zaman informasi tanpa hikmat.
Etika bukan sekadar hasil konsensus mayoritas, ia adalah gema dari hukum moral yang objektif, yang mengakar dalam struktur rasional alam semesta.
Hukum bukan produk kekuasaan atau konstruksi politis semata, ia adalah upaya luhur untuk menangkap keadilan yang melekat dalam Logos.
Ilmu pengetahuan bukan sekadar akumulasi data atau statistik, ia adalah bentuk tertinggi penghormatan terhadap rasionalitas, terhadap keteraturan semesta yang dapat dipahami.
Melawan Hume dan Kant bukan berarti menolak kontribusi besar mereka. Saya menghormati keberanian Hume dalam mengguncang dogma, dan saya menghargai usaha Kant dalam membangun kerangka moral yang kokoh. Tapi saya juga melihat bahwa jika warisan mereka diterima secara total tanpa kritik, kita berisiko terjebak dalam dunia yang kehilangan kepercayaan pada rasio itu sendiri.
Hari ini, kita menyaksikan manusia yang cemas tapi tidak tahu alasannya, pintar tapi kehilangan arah, terhubung secara digital tapi tercerai secara spiritual. Di tengah itu semua, satu suara kuno memanggil kita kembali: suara Logos, cahaya yang menuntun dari dalam, bukan hanya untuk berpikir, tetapi untuk hidup secara benar.