Oleh karena itu, hukum alam bukan sekadar observasi ilmiah. Ia adalah pantulan dari keteraturan Logos. Prinsip keadilan bukanlah hasil dari kompromi politik atau norma budaya semata. Ia adalah pantulan dari tatanan moral objektif yang sudah tertanam dalam struktur semesta. Bahkan nilai-nilai etika universal, seperti larangan membunuh atau perintah untuk berlaku adil, bukan sekadar warisan sosial, melainkan refleksi Logos dalam wujud moral.
Inilah mengapa saya tidak melihat filsafat hanya sebagai disiplin akademik, dan saya tidak menganggap berpikir sebagai kegiatan netral. Berpikir adalah tindakan moral dan metafisis sekaligus. Ketika saya membaca konstitusi yang adil, ketika saya menyaksikan hakim menjatuhkan putusan yang berdasarkan nurani, saya tidak sekadar melihat produk hukum atau prosedur. Saya melihat Logos mewujud dalam kehidupan sosial manusia.
Logos mengilhami tatanan konstitusional, menjiwai gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan, dan mengalir dalam detak etis setiap orang yang menolak untuk tunduk pada kebohongan. Ia hidup dalam semesta, dan jika manusia setia berpikir jernih, mereka menjadi mitra Logos dalam membangun dunia yang rasional, adil, dan bermakna.
Di sinilah saya menempatkan diri: tidak sekadar sebagai pemikir, tetapi sebagai penyaksi dan pelaku dari Logos yang hidup—dalam realitas, dalam nalar, dan dalam nurani.
Saya Hidup dalam Logos: Sebuah Sikap Eksistensial
Saya tidak sedang menulis ini demi romantisme intelektual. Ini bukan nostalgia filsafat Yunani kuno, apalagi pelarian ke dalam menara gading akademik. Ini adalah kesaksian hidup. Ini adalah posisi eksistensial yang saya pilih, bukan karena saya ingin tampak filosofis, tetapi karena saya tidak bisa hidup tanpa Logos.
Saya hidup dalam Logos.
Saya tidak memperalat akal untuk sekadar memenangkan debat.
Saya tidak menjadikan rasio sebagai alat untuk meraih posisi atau keuntungan.
Saya menjadikannya sebagai kompas eksistensial, penunjuk arah dalam meniti kehidupan yang bermakna.
Akal, bagi saya, adalah suara batin semesta. Ia tidak hanya membantu saya menjawab soal logika atau membuat argumen. Ia menolong saya memilah yang benar dari yang salah, yang adil dari yang curang, yang murni dari yang palsu. Maka, mempertahankan akal bukan sekadar membela rasionalitas, tetapi membela martabat manusia.
Saya tidak percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya dikondisikan oleh lingkungan, budaya, atau naluri. Saya percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menembus tirai persepsi, melihat kebenaran, dan hidup menurutnya. Itulah kehormatan tertinggi kita sebagai makhluk berlogos.
Logos bukan hanya milik para filsuf. Ia adalah warisan kodrati seluruh umat manusia. Entah Anda seorang ilmuwan yang meneliti partikel elementer, hakim yang mencari keadilan dalam tumpukan pasal, guru yang mendidik anak-anak dengan nurani, atau petani yang mengatur musim tanam berdasarkan keteraturan alam, Anda sedang berpartisipasi dalam Logos. Kita semua diberi potensi untuk berpikir rasional, dan potensi itu bukan untuk dipasung oleh skeptisisme modern atau dikaburkan oleh relativisme, tetapi untuk dihidupi sebagai jalan menuju kebenaran.
Jika hari ini dunia terlihat kacau, bukan karena akal telah gagal. Tapi karena akal telah ditinggalkan. Karena manusia mulai mempercayai sensasi lebih daripada argumentasi, emosi lebih daripada prinsip, dan kepentingan jangka pendek lebih daripada nilai abadi.