Apakah alam semesta bisa bertahan miliaran tahun hanya dengan kebiasaan?
Apakah hukum gravitasi yang menjaga orbit planet, atau hukum termodinamika yang mengatur energi, hanyalah asumsi psikologis?
Apakah keberhasilan vaksin, pesawat terbang, hingga pemahaman kita tentang DNA, berdiri di atas kebetulan berulang?
Jawaban saya adalah: Tidak. Tegas dan tanpa kompromi: tidak.
Kausalitas bukan ilusi, bukan bayangan yang dipantulkan oleh kebiasaan empiris. Ia adalah struktur terdalam dari realitas, pola yang mengatur semesta, dan manifestasi konkret dari Logos itu sendiri. Dunia ini dapat dipahami, bukan karena kita terbiasa memahaminya, tetapi karena ia memang terstruktur secara rasional. Dunia ini masuk akal, karena ia berasal dari akal: Logos kosmik yang tertanam dalam segala hal, dari partikel kuantum hingga galaksi.
Jika kita menerima bahwa kausalitas hanyalah produk dari asosiasi mental, kita sedang menggali kubur bagi ilmu pengetahuan. Kita mencabut akar dari eksperimen ilmiah, dari hukum-hukum alam, bahkan dari moralitas yang juga berlandaskan konsekuensi rasional dari tindakan manusia. Kita menjerumuskan manusia ke dalam relativisme pengalaman, di mana tidak ada kepastian, hanya pengulangan yang kebetulan.
Maka saya menolak Hume. Saya menghormatinya sebagai intelektual besar, namun saya menolak untuk hidup dalam dunia di mana sebab dan akibat adalah ilusi, dan rasio adalah budak kebiasaan. Saya memilih berpijak pada Logos, yang menjamin bahwa apa yang kita pelajari dari dunia bukan hanya kebiasaan, tetapi refleksi dari tatanan realitas yang rasional dan konsisten.
Saya memilih percaya bahwa akal manusia bisa menyentuh hukum semesta, bukan karena kita menciptakannya, tetapi karena kita diciptakan oleh dan untuk mengenalnya. Dalam terang Logos, kausalitas adalah wajah keteraturan, dan keteraturan adalah wajah kebenaran.
Kant dan Penjara Kategori: Rasio yang Terbelenggu
Setelah skeptisisme Hume mengguncang fondasi rasionalitas, Immanuel Kant tampil seperti penyelamat. Ia ingin menyelamatkan ilmu pengetahuan dari kehancuran epistemologis, sambil tetap menghormati batas-batas pengalaman manusia. Dalam karya monumentalnya, Critique of Pure Reason, Kant menyusun proyek ambisius: menyatukan rasionalisme dan empirisme dalam suatu sistem yang ia sebut “transendental.”
Namun di balik maksud besarnya itu, Kant melakukan amputasi terhadap kemampuan rasio. Ia menyatakan bahwa yang kita ketahui bukanlah dunia sebagaimana adanya (noumenon), melainkan dunia sebagaimana ia tampak bagi kita (phenomenon), dunia yang telah dibentuk oleh struktur-struktur bawaan dalam akal, seperti ruang, waktu, dan dua belas kategori pemahaman. Realitas sejati, bagi Kant, selalu berada di luar jangkauan rasio. Dengan kata lain: akal manusia tidak pernah benar-benar menyentuh dunia, ia hanya menginterpretasinya melalui kacamata bawaannya sendiri.
Ini adalah tragedi filosofis yang memilukan: Kant memuja akal, namun menyekapnya dalam batas-batas yang tidak bisa dilompati. Ia memberikan sayap kepada rasio, namun melarangnya terbang melintasi horizon noumenal. Rasio, dalam sistem Kantian, bukanlah penakluk realitas, melainkan pengrajin tampilan, yang hanya bisa menyusun apa yang diberikan oleh pengalaman inderawi.
Namun saya bertanya: