Kama: memenuhi kebutuhan, kesenangan, dan cinta kasih.
Moksha: kebebasan spiritual dan kedamaian sejati.
Di Bali, keempat tujuan ini sangat terasa dalam keseharian. Contohnya, banyak warga yang bekerja di sektor pariwisata untuk mendapatkan Artha, tapi tetap ikut ngayah di pura atau bergotong royong di banjar sebagai bentuk Dharma. Mereka pun menikmati kebersamaan keluarga di sela-sela kesibukan (Kama), sambil mendekatkan diri pada Tuhan melalui upacara keagamaan (Moksha).
Kerja: Jalan Aktualisasi Diri dan Pengabdian
Kerja bukan cuma urusan mencari nafkah, tapi juga bentuk ekspresi diri. Dalam konsep Karma Yoga, kerja idealnya dilakukan dengan tulus tanpa pamrih berlebihan. Kalau niatnya benar, kerja bisa menjadi ibadah.
Di Bali, hal ini tercermin dalam gotong royong menjelang upacara besar. Saat Galungan atau Kuningan, masyarakat ramai-ramai membuat penjor, menghias pura, dan mempersiapkan banten. Semua dilakukan bersama-sama, bukan karena upah, tapi karena rasa pengabdian. Dari situ muncul kepuasan batin yang nggak bisa diukur dengan materi.
Tri Hita Karana: Harmoni yang Menyeluruh
Falsafah Tri Hita Karana jadi kunci dalam menyatukan kesejahteraan dan kebahagiaan. Ada tiga pilar utama:
Parahyangan: menjaga hubungan dengan Tuhan. Misalnya, ritual harian seperti sembahyang, membuat banten, hingga perayaan Nyepi sebagai momen introspeksi spiritual.
Pawongan: menjaga hubungan baik dengan sesama. Hal ini tampak dalam gotong royong, toleransi antaragama, dan budaya saling membantu di banjar.
Palemahan: menjaga harmoni dengan alam. Masyarakat Bali punya aturan adat (awig-awig) yang melarang eksploitasi alam berlebihan. Upacara seperti Tumpek Uduh juga jadi simbol penghormatan pada alam dan tumbuhan.