Mohon tunggu...
RUBEN PRIANTO SIBURIAN
RUBEN PRIANTO SIBURIAN Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Universtas Pendidikan Ganesha

Ruben Prianto Siburian Pendidikan Kimia Jurusan Kimia Fakultas Maatematika dan ilmu Pengetahuan Alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyelaraskan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam harmoni untuk hidup seimbang.

23 September 2025   13:45 Diperbarui: 23 September 2025   13:41 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pernah nggak sih kepikiran, apa sebenarnya bedanya kesejahteraan sama kebahagiaan? Dua istilah ini sering banget kita dengar, tapi nggak jarang dianggap sama. Padahal, meski saling berkaitan, keduanya punya makna yang berbeda.

Kesejahteraan biasanya identik dengan kondisi fisik dan materi: punya pekerjaan tetap, rumah nyaman, kesehatan terjaga, serta kebutuhan hidup yang tercukupi. Sementara kebahagiaan lebih dalam lagi, yaitu soal rasa damai, batin yang tenang, dan hidup yang penuh makna. Nah, biar makin jelas, coba kita lihat lewat kearifan lokal Bali yang terkenal: Tri Hita Karana.

Falsafah ini ngajarin manusia buat hidup seimbang dengan menjaga tiga harmoni: hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam. Kalau tiga hal ini selaras, maka kesejahteraan dan kebahagiaan bisa berjalan beriringan.

Pikiran Positif: Pondasi Awal Hidup Bahagia

Dalam ajaran Hindu, pikiran disebut sebagai "komandan" yang menentukan arah hidup. Pikiran negatif seperti iri, benci, atau amarah bisa bikin hati gelisah. Sebaliknya, pikiran yang positif membuka jalan menuju kedamaian batin.

Di Bali, kita bisa lihat praktik sederhana ini lewat tradisi canang sari yang dipersembahkan setiap pagi. Orang Bali membuat sesajen dengan penuh rasa syukur, sekaligus melatih pikiran agar senantiasa terhubung dengan hal-hal baik. Pikiran yang jernih inilah yang menjadi fondasi kebahagiaan.

Tujuan Hidup: Bukan Sekadar Mengejar Materi

Kalau ditanya tujuan hidup, banyak orang menjawab: kerja keras, cari uang, lalu menabung. Nggak salah memang, tapi kalau cuma berhenti di situ, hidup terasa kosong.

Dalam ajaran Catur Purusartha, ada empat tujuan hidup yang sebaiknya dijalani dengan seimbang:

  1. Dharma: menjalankan kewajiban dan kebenaran.

  2. Artha: mencari penghidupan dan kekayaan.

  3. Kama: memenuhi kebutuhan, kesenangan, dan cinta kasih.

  4. Moksha: kebebasan spiritual dan kedamaian sejati.

Di Bali, keempat tujuan ini sangat terasa dalam keseharian. Contohnya, banyak warga yang bekerja di sektor pariwisata untuk mendapatkan Artha, tapi tetap ikut ngayah di pura atau bergotong royong di banjar sebagai bentuk Dharma. Mereka pun menikmati kebersamaan keluarga di sela-sela kesibukan (Kama), sambil mendekatkan diri pada Tuhan melalui upacara keagamaan (Moksha).

Kerja: Jalan Aktualisasi Diri dan Pengabdian

Kerja bukan cuma urusan mencari nafkah, tapi juga bentuk ekspresi diri. Dalam konsep Karma Yoga, kerja idealnya dilakukan dengan tulus tanpa pamrih berlebihan. Kalau niatnya benar, kerja bisa menjadi ibadah.

Di Bali, hal ini tercermin dalam gotong royong menjelang upacara besar. Saat Galungan atau Kuningan, masyarakat ramai-ramai membuat penjor, menghias pura, dan mempersiapkan banten. Semua dilakukan bersama-sama, bukan karena upah, tapi karena rasa pengabdian. Dari situ muncul kepuasan batin yang nggak bisa diukur dengan materi.

Tri Hita Karana: Harmoni yang Menyeluruh

Falsafah Tri Hita Karana jadi kunci dalam menyatukan kesejahteraan dan kebahagiaan. Ada tiga pilar utama:

  • Parahyangan: menjaga hubungan dengan Tuhan. Misalnya, ritual harian seperti sembahyang, membuat banten, hingga perayaan Nyepi sebagai momen introspeksi spiritual.

  • Pawongan: menjaga hubungan baik dengan sesama. Hal ini tampak dalam gotong royong, toleransi antaragama, dan budaya saling membantu di banjar.

  • Palemahan: menjaga harmoni dengan alam. Masyarakat Bali punya aturan adat (awig-awig) yang melarang eksploitasi alam berlebihan. Upacara seperti Tumpek Uduh juga jadi simbol penghormatan pada alam dan tumbuhan.

Ketiga harmoni ini membuat hidup masyarakat Bali terasa lebih seimbang. Bahagia bukan cuma untuk diri sendiri, tapi juga dirasakan orang lain dan alam sekitar.

Integrasi: Pikiran, Tujuan, dan Kerja

Bayangkan kalau pikiran kita tetap positif, tujuan hidup jelas, dan kerja dijalani dengan ikhlas. Ketiganya saling menguatkan. Pikiran jadi pengendali, tujuan jadi arah, dan kerja jadi wujud nyata pengabdian.

Kalau sudah begitu, hidup kita nggak sekadar rutinitas, tapi perjalanan menuju kebahagiaan sejati. Tri Hita Karana memberi peta jalan agar kita tetap seimbang, nggak kebablasan ke duniawi tapi juga nggak lupa dengan aspek spiritual dan sosial.

Refleksi: Belajar dari Bali untuk Dunia

Tri Hita Karana bukan hanya milik Bali, tapi bisa jadi inspirasi universal. Dunia modern sering bikin kita terjebak dalam kesibukan mengejar materi, padahal kebahagiaan sejati ada dalam keseimbangan.

Kalau kita bisa belajar dari Bali, menjaga pikiran tetap positif, menyeimbangkan tujuan hidup, dan menjadikan kerja sebagai pengabdian, maka kesejahteraan dan kebahagiaan bisa menyatu dalam hidup kita.

Harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam adalah kunci. Dari sanalah lahir hidup yang seimbang, damai, dan penuh makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun