Mohon tunggu...
Allena Ahza Keisha
Allena Ahza Keisha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Investasi Hijau Rp278 T: Untuk Siapa Sebenarnya?

12 Oktober 2025   21:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:50 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Petani Makan(Sumber: Unsplash/@rdcl) 

Ketika Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 mengumumkan komitmen investasi hijau senilai Rp278 triliun, semua orang bertepuk tangan. Tapi ada pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama: Bagaimana memastikan investasi ini benar-benar menyentuh akar rumput dan tidak sekadar menjadi statistik cantik di laporan pemerintah?

ISF 2025 yang digelar di Jakarta International Convention Center (JICC) pada 10-11 Oktober lalu memang spektakuler. Lebih dari 10.000 peserta dari 53 negara hadir, 13 MoU diteken, empat inisiatif baru diluncurkan. Menteri Investasi Rosan Roeslani dengan bangga menyebut ini langkah strategis memperkuat posisi Indonesia di ekonomi hijau global.

Optimisme ini patut diapresiasi. Namun, ada pembelajaran penting dari pengalaman masa lalu yang tidak boleh diabaikan: bagaimana memastikan investasi besar ini tidak mengulang pola pembangunan yang kurang inklusif.

Embeddedness: Bukan Sekadar Jargon Akademis

Ada konsep menarik dalam sosiologi ekonomi yang relevan untuk memahami fenomena ISF 2025 ini: embeddedness.

Istilah ini bukan hal baru. Karl Polanyi dan Mark Granovetter sudah mengembangkannya puluhan tahun lalu. Di Indonesia, ekonom kerakyatan seperti almarhum Mubyarto juga pernah mengingatkan hal serupa dalam artikelnya "Meninjau Kembali Ekonomika Neoklasik" (2002).

Intinya sederhana: ekonomi itu tidak bisa berdiri sendiri. Ekonomi harus tertanam (embedded) dalam jaringan sosial, budaya, dan nilai-nilai masyarakat. Kalau tidak, yang terjadi adalah pembangunan yang timpang. Kayanya makin kaya, miskinnya tetap miskin.

Mubyarto bahkan dengan tegas menyatakan bahwa ekonomi neoklasik terlalu fokus pada produksi barang dan efisiensi pasar, tanpa peduli pada reproduksi masyarakat. Artinya, ekonomi yang sehat bukan cuma soal GDP naik, tapi juga soal kesejahteraan merata.

Nah, pertanyaannya: Apakah investasi hijau Rp278 triliun ini akan embedded dalam kehidupan masyarakat kita, atau hanya mengalir ke segelintir pihak?

Pembelajaran dari Pengalaman Masa Lalu

Mari kita jujur dan belajar dari pengalaman. Indonesia memiliki beberapa catatan penting tentang investasi besar yang perlu menjadi perhatian.

Ambil contoh kasus relokasi masyarakat untuk proyek pembangunan bendungan di beberapa daerah. Meski bertujuan baik untuk ketersediaan air dan energi, tidak sedikit komunitas lokal yang merasa proses konsultasi kurang memadai dan kompensasi tidak sebanding dengan kehilangan mata pencaharian mereka.

Atau kita bisa melihat beberapa proyek pertambangan yang meninggalkan konflik sosial berkepanjangan karena minimnya pelibatan masyarakat adat dalam tahap perencanaan. Bukan soal menentang pembangunan, tapi tentang bagaimana memastikan proses yang adil dan inklusif.

Bahkan dalam sektor energi terbarukan yang katanya "hijau" ini, ada risiko serupa jika tidak dikelola dengan baik. Bayangkan proyek PLTS terapung raksasa dibangun tanpa melibatkan nelayan lokal dalam perencanaannya. Atau program agroforestri yang menjadikan petani sekadar buruh upahan, bukan mitra yang punya suara dalam pengambilan keputusan.

Ini yang dimaksud Mubyarto: efisiensi alokasi tanpa memperhatikan keadilan sosial justru bisa menciptakan ketimpangan baru.

Seperti Apa Investasi Hijau yang "Tertanam"?

Saya punya gambaran konkret tentang investasi hijau yang benar-benar embedded:

Di sektor pertanian: Bayangkan program agroforestri yang tidak hanya mengundang petani sebagai buruh, tapi menjadikan mereka mitra. Petani dilibatkan sejak perencanaan, mendapat pelatihan berkelanjutan, dan memiliki kepemilikan atas sebagian hasil. Mereka bukan objek pembangunan, tapi subjek yang aktif.

Di wilayah pesisir: Proyek blue carbon atau konservasi mangrove yang memberikan benefit sharing transparan kepada komunitas nelayan tradisional. Bukan cuma kompensasi sepihak, tapi mekanisme ekonomi sirkular di mana nelayan juga bisa menjadi guardian ekosistem sekaligus mendapat penghasilan dari skema perdagangan karbon.

Di desa-desa: Ekonomi hijau yang benar-benar embedded akan menciptakan nilai tambah lokal. Desa tidak lagi hanya jual hasil panen mentah, tapi terlibat dalam seluruh rantai nilai: produksi organik, pengolahan dengan energi terbarukan, hingga pemasaran dengan sertifikasi berkelanjutan.

Ini bukan utopia. Model-model seperti ini sudah mulai berkembang di berbagai wilayah, meski masih skala kecil dan perlu diperluas.

Invisible Handshake vs Invisible Hand

Mubyarto pernah menyinggung konsep menarik: dalam ekonomi yang embedded, yang bekerja bukan sekadar invisible hand pasar bebas Adam Smith, tapi "invisible handshake" yaitu kerjasama berbasis kepercayaan dan gotong royong.

Ini sangat sesuai dengan karakter Indonesia.

Program gotong royong berbasis teknologi hijau bisa jadi mekanisme redistribusi pendapatan yang efektif. Mirip dengan program insentif harga gabah yang memberikan kepastian bagi petani, kebijakan ekonomi hijau yang embedded harus memberikan insentif nyata untuk efisiensi sosial, bukan sekadar kalkulasi untung-rugi korporasi semata.

Dan ini sejalan dengan nilai Pancasila, khususnya asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang sering kita lupakan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.

Peluang Besar, Tantangan Nyata

Jangan salah, prospek ekonomi hijau Indonesia sangat menjanjikan.

Proyeksi dari berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menyerap jutaan tenaga kerja baru dalam sektor hijau dalam beberapa tahun ke depan. ASEAN+3 sendiri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen ke atas pada 2025, dan Indonesia punya peluang jadi pemimpin kawasan.

Potensi energi terbarukan kita mencapai ribuan gigawatt. Dari PLTS Terapung Cirata sampai pengembangan green hydrogen, Indonesia punya modal alam yang luar biasa.

Namun, semua potensi itu akan lebih optimal jika disertai kebijakan inklusif. Keadilan akses pada pelatihan, peluang kerja hijau untuk berbagai latar belakang, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal-hal ini yang akan menentukan sukses atau tidaknya transisi hijau kita.

Apa yang Harus Diprioritaskan?

Agar investasi hijau ISF 2025 benar-benar membawa perubahan positif, beberapa hal ini perlu diprioritaskan:

Pertama, dialog intensif dengan komunitas adat, kelompok tani, nelayan, dan UMKM sejak tahap perencanaan. Jangan tunggu sampai konflik muncul. Libatkan mereka sejak awal dengan proses yang bermakna, bukan sekadar formalitas.

Kedua, terapkan mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagai standar wajib dalam setiap proyek besar. Ini bukan sekadar formalitas administratif, tapi prinsip dasar penghormatan hak masyarakat yang dijamin dalam berbagai regulasi internasional.

Ketiga, pastikan benefit sharing yang transparan dan akuntabel. Nilai ekonomi tidak boleh hanya terakumulasi di level korporasi. Harus ada mekanisme yang memastikan manfaat ekonomi benar-benar mengalir ke masyarakat lokal dalam bentuk yang terukur.

Keempat, ciptakan ekosistem pendukung di level desa. Dari pelatihan UMKM berkelanjutan, jasa transportasi ramah lingkungan, hingga skema perdagangan karbon yang melibatkan petani kecil sebagai aktor aktif, bukan sekadar penerima manfaat pasif.

Jangan Jadikan Embeddedness Sekadar Slogan

Mubyarto pernah menegaskan: keadilan sosial lebih penting daripada efisiensi alokasi semata.

ISF 2025 adalah momentum penting yang harus dimanfaatkan dengan baik. Tantangannya adalah memastikan embeddedness bukan cuma jadi jargon di seminar-seminar, sementara di lapangan implementasinya masih mengikuti pola lama: korporasi untung, rakyat tidak merasakan dampak signifikan.

Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud kalau kita berani memastikan bahwa investasi hijau benar-benar tertanam dalam nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Bukan sekadar angka Rp278 triliun di atas kertas, tapi transformasi nyata yang dirasakan hingga ke tingkat desa.

Karena pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan bukan soal seberapa besar investasinya, tapi seberapa dalam akarnya menyentuh kehidupan rakyat.

Mari kita pastikan bersama bahwa transisi hijau Indonesia kali ini benar-benar berbeda: inklusif, adil, dan memberdayakan.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun