Pertama, dialog intensif dengan komunitas adat, kelompok tani, nelayan, dan UMKM sejak tahap perencanaan. Jangan tunggu sampai konflik muncul. Libatkan mereka sejak awal dengan proses yang bermakna, bukan sekadar formalitas.
Kedua, terapkan mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagai standar wajib dalam setiap proyek besar. Ini bukan sekadar formalitas administratif, tapi prinsip dasar penghormatan hak masyarakat yang dijamin dalam berbagai regulasi internasional.
Ketiga, pastikan benefit sharing yang transparan dan akuntabel. Nilai ekonomi tidak boleh hanya terakumulasi di level korporasi. Harus ada mekanisme yang memastikan manfaat ekonomi benar-benar mengalir ke masyarakat lokal dalam bentuk yang terukur.
Keempat, ciptakan ekosistem pendukung di level desa. Dari pelatihan UMKM berkelanjutan, jasa transportasi ramah lingkungan, hingga skema perdagangan karbon yang melibatkan petani kecil sebagai aktor aktif, bukan sekadar penerima manfaat pasif.
Jangan Jadikan Embeddedness Sekadar Slogan
Mubyarto pernah menegaskan: keadilan sosial lebih penting daripada efisiensi alokasi semata.
ISF 2025 adalah momentum penting yang harus dimanfaatkan dengan baik. Tantangannya adalah memastikan embeddedness bukan cuma jadi jargon di seminar-seminar, sementara di lapangan implementasinya masih mengikuti pola lama: korporasi untung, rakyat tidak merasakan dampak signifikan.
Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud kalau kita berani memastikan bahwa investasi hijau benar-benar tertanam dalam nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Bukan sekadar angka Rp278 triliun di atas kertas, tapi transformasi nyata yang dirasakan hingga ke tingkat desa.
Karena pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan bukan soal seberapa besar investasinya, tapi seberapa dalam akarnya menyentuh kehidupan rakyat.
Mari kita pastikan bersama bahwa transisi hijau Indonesia kali ini benar-benar berbeda: inklusif, adil, dan memberdayakan.
***