Mohon tunggu...
Allena Ahza Keisha
Allena Ahza Keisha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Investasi Hijau Rp278 T: Untuk Siapa Sebenarnya?

12 Oktober 2025   21:50 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:50 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, dialog intensif dengan komunitas adat, kelompok tani, nelayan, dan UMKM sejak tahap perencanaan. Jangan tunggu sampai konflik muncul. Libatkan mereka sejak awal dengan proses yang bermakna, bukan sekadar formalitas.

Kedua, terapkan mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagai standar wajib dalam setiap proyek besar. Ini bukan sekadar formalitas administratif, tapi prinsip dasar penghormatan hak masyarakat yang dijamin dalam berbagai regulasi internasional.

Ketiga, pastikan benefit sharing yang transparan dan akuntabel. Nilai ekonomi tidak boleh hanya terakumulasi di level korporasi. Harus ada mekanisme yang memastikan manfaat ekonomi benar-benar mengalir ke masyarakat lokal dalam bentuk yang terukur.

Keempat, ciptakan ekosistem pendukung di level desa. Dari pelatihan UMKM berkelanjutan, jasa transportasi ramah lingkungan, hingga skema perdagangan karbon yang melibatkan petani kecil sebagai aktor aktif, bukan sekadar penerima manfaat pasif.

Jangan Jadikan Embeddedness Sekadar Slogan

Mubyarto pernah menegaskan: keadilan sosial lebih penting daripada efisiensi alokasi semata.

ISF 2025 adalah momentum penting yang harus dimanfaatkan dengan baik. Tantangannya adalah memastikan embeddedness bukan cuma jadi jargon di seminar-seminar, sementara di lapangan implementasinya masih mengikuti pola lama: korporasi untung, rakyat tidak merasakan dampak signifikan.

Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud kalau kita berani memastikan bahwa investasi hijau benar-benar tertanam dalam nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Bukan sekadar angka Rp278 triliun di atas kertas, tapi transformasi nyata yang dirasakan hingga ke tingkat desa.

Karena pada akhirnya, pembangunan yang berkelanjutan bukan soal seberapa besar investasinya, tapi seberapa dalam akarnya menyentuh kehidupan rakyat.

Mari kita pastikan bersama bahwa transisi hijau Indonesia kali ini benar-benar berbeda: inklusif, adil, dan memberdayakan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun